Wednesday, October 16, 2013

Kopi, Hujan dan Kamu

Hujan akhirnya turun, gumamku dalam hati. Aku tersenyum menatap jendela yang sudah mulai basah, terkena percik hujan di luar. Bulir-bulirnya membiaskan cahaya sisa senja di luar. Aku mengaduk kopi panasku berlawanan dengan arah jarum jam. Aku tersenyum seketika. Aku ingat kita yang selalu adu argumen perihal kecil mengaduk kopi.

“Kopi itu akan terasa lebih nikmat kalau diaduk searah jarum jam, Sayang”

“Tidak...tidak....semuanya sama saja. Nikmat tidaknya itu saat kamu memutuskan untuk menikmatinya atau tidak”

“Ah, sini...sini...kemarikan cangkirmu” lantas kamu menarik cangkirku, kemudian mengaduk kopiku searah jarum jam. Sambil tersenyum lembut kamu menyerahkan lagi cangkir itu padaku. Itu senyum kemenanganmu karena sudah mengalahkanku dengan caramu yang sederhana. Selalu sesederhana itu.


Kilat menyambar sesekali di luar. Hujan makin jelas terdengar di luar. Aku menghirup udara di sekitarku dalam-dalam. Bau hujan, gumamku lagi. Aku kembali tersenyum saat kilasan kisah kita di antara hujan kembali diputar ulang di otakku.

“Jangan hujan-hujanan, Sayang!” teriakku dari dalam rumah. Kamu lantas berlari begitu saja keluar. Lari ke sana kemari seperti bocah yang baru saja menemukan mainan kesayangannya. Girang.

“Kemari, aku tunjukkan kebahagiaan padamu!!” kamu menyuruhku untuk bergabung dengannya. Aku menggeleng. Tapi kamu segera menarik tanganku untuk ikut tenggelam dalam duniamu. Di antara hujan kamu menari. Berlari ke sana kemari. Aku hanya menatapmu dari tempatku berdiri, sembari menahan diri untuk tetap basah dikeroyok hujan.

“Tunggu apa lagi? Bermainlah” kamu tersenyum. Tanganmu menarikku untuk menari. Dan ya, aku ikut menari bersamamu di antara hujan. Berteriak pada langit kegirangan atas hujan yang sudah dinubuatkan untuk manusia sepertiku. Seperti kita. Aku lihat tawa bahagiamu, tawa yang menyadarkanku kalau kamu bahagia dengan cara yang sederhana. Yang tak pernah terlintas di benakku bisa semembahagiakan ini.


Aku menyesap kopiku. Secangkir kopi memang selalu meneduhkan, apalagi saat hujan seperti ini. Terdengar petir menyambar di luar sana. Tapi kali ini aku tidak bisa tersenyum, saat ingatan terakhir tentangmu menyambangi waktu minum kopiku. Ini tentang soneta yang kamu buat waktu itu, tentang hujan dan aku.

“Aku buat lagu untukmu”

“Aku ingin dengar”

“Kemari, duduk di sini bersamaku” katamu sembari berlari ke arah piano, menyisakan setengah dari bangku yang kamu duduki untukku. Aku pun duduk di sana.

“Ini tentang kamu dan hujan. Dua hal yang aku suka. Dua hal yang aku cinta.”

“Tidakkah ini terlalu rumit?”

“Tidak, Sayang. Aku sengaja. Ini mungkin bisa aku mainkan sendiri. Tapi akan lebih sempurna jika kamu disampingku, bermain denganku.”

Aku ingat senyum itu. Senyum yang sama dengan yang terakhir aku lihat saat kamu meninggalkanku.

Kini partitur lagumu itu berdebu dan tak sempurna. Jelas. Karena tak ada lagi yang menemaniku bermain lagumu. Karena katamu dengan bersama, lagumu akan terdengar lebih indah. Karena dengan bersama, kita sempurna, Sayang. Dan lagu ini tak akan pernah sempurna lagi, karena kamu tak ada lagi di sisiku.



2013
Insan Kamalia R

Monday, September 30, 2013

Sebuah Pelajaran dari Beberapa Baris Tanya Jawab

Hari ini memang sama dengan hari yang lainnya. Hari Senin pula, yang katanya banyak 'sial'-nya. Tapi tidak menurut saya. Lantas apa yang beda?

Jadi, tadi pagi saat menunggu pergantian mata kuliah di sebuah koridor sembari mengecharge laptop. Saya yang sibuk dengan laptop saya dikejutkan oleh sebuah tangan yang tiba-tiba saja terulur ke depan laptop saya. Mata saya segera menangkap sosok lelaki dengan senyum lebarnya yang berbehel serta berwajah sedikit oriental.

"Nama gue, Bibi" katanya. Saya melirik tangannya setengah kaget setengah takut dengan kedatangan yang tiba-tiba.

"Gue Insan" sembari menjabat tangannya balik.

"Lo jurusan apa?" tanyanya lagi. Masih setengah kaget, saya bahkan sampai bingung apa jurusan saya.

"Hm...gue anak IT. Lo?"

"Jurusan Management Pemasaran. Lo semester berapa?"

"Gue semester tiga, lo sendiri?"

"Gue semester satu. Tadinya gedung gue belajar ada di sini, di lantai dua. Tapi sekarang pindah ke sebelah sana" sambil menunjuk arah gedung yang ia maksud.

"Oh Gedung TGP. Sekarang pindah ke sana?"

"Iya.."

"Eh, gimana rasanya kuliah?" tanya saya mencoba lebih bersahabat.

"Enak...asik kok~" katanya sembari mengacungkan kedua ibu jarinya,"Yaudah, gue duluan ya" katanya sembari melambai, menjauhi saya. Saya melambaikan tangan balik padanya.

Lantas, bagaimana perasaan saya setelah itu? Still, feel surprised with his sudden presence, of course. Saya sendiri masih merasa 'tersesat' dengan maksud lelaki itu. Tapi yakinlah, kalau saya bilang lelaki itu adalah salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus yang mengikuti program khusus di kampus saya, mungkin kalian akan kaget dengan sikap familiarnya itu. Saya pun masih. Saking familiarnya, saya seperti berbincang dengan kawan lama. Saya merasakan sesuatu yang menyenangkan ketika berbincang dengannya meski hanya beberapa kali tanya jawab yang kami lakukan.

Dan sebelum kedatangannya, ada beberapa mahasiswa berkebutuhan khusus lainnya yang berebutan menuruni tangga dari lantai dua gedung yang saya diami itu. Tangganya tepat di dekat tempat saya mengecharge laptop. Ada tiga orang lelaki yang dengan tergesa-gesa berlarian lantas saling kejar. Tertawa. Dalam hati saya, senangnya mereka....masih bisa tertawa seriang itu. Masih bisa main kejar-kejaran di kampus sebahagia itu. Kalau mahasiswa lain, mungkin akan malu melakukannya di kampus. Selain mengingat usia mereka yang tak lagi anak-anak, mungkin rasa malu atau gengsi terhadap orang banyak (terutama lawan jenis) makin membengkak di diri. Atau mungkin mereka pikir hal itu sudah tidak layak dilakukan untuk usia mereka. Dan sesadar-sadarnya, saya mengamini hal itu.

Tidak terlintas rasa ingin merendahkan atau mendeskriminasi mereka, malahan merasa sedikit iri dengan anak-anak berkebutuhan khusus itu. Bahwa dalam kekurangan mereka, mereka masih memiliki rasa percaya diri yang besar dan kemauan untuk masuk dan menyatu ke dalam lingkungan mereka. Meski di lain waktu, mereka punya dunianya sendiri. Apa yang saya dapatkan dari Bibi salah satunya; keberanian untuk mengenal orang lain, percaya diri, dan semangat belajarnya. Entah apa saja yang ia pelajari selama di kampus, mungkin memang berbeda bobotnya dengan mahasiswa pada umumnya, tapi dari kata-kata dan mimiknya, saya mendapati bahwa ia benar-benar menikmati proses belajarnya di kampus. Dan kemampuannya dalam bersikap familiar. Saya mungkin tidak akan seberani dia dalam menyatakan keberadaan diri pada orang lain dan lingkungan, apalagi pada orang asing. Dan belum tentu orang lain juga bisa melakukan hal yang sama seperti Bibi. Dan.... bahagia milik tiga lelaki ceria itu. Mereka tidak merasa malu untuk main kejar-kejaran, selama mereka bahagia, orang lain bisa apa? Mereka melakukan apa yang mereka suka. Mereka tidak memiliki batasan. Sama seperti diri kita ketika kecil dulu. Terjatuh sekalipun, kita masih berusaha untuk bangun lagi lantas belajar berjalan, sesekali menertawai diri sendiri dan benda-benda yang kita anggap lucu disekitar kita, dulu. Iya...dulu, waktu kita kecil. Lantas, kemana diri kita yang seperti itu sekarang? Apa diri kita itu hilang dimakan waktu? Lebur bersama semua masalah yang kita hadapi ketika kita beranjak dewasa?

Kenapa saya bicara seperti ini? Saya pikir, sudah banyak dari kita yang lupa bagaimana caranya bahagia. Apalagi seiring dewasanya kita, banyak masalah pula yang datang silih berganti, menguji kita lahir dan bathin. Karenanya, kita sering lupa bagaimana caranya bahagia. Kita hanya fokus pada masalah kita, bukan pada apa yang bisa diambil dari masalah itu. Alih-alih bersyukur, kita malah mengeluh, bahkan mungkin menyalahkan Tuhan atas apa yang kita alami. Kita seringnya lupa, bahwa masih banyak manusia di luar sana yang keadaannya lebih parah dari kita tapi masih bisa merasa bahagia. Contohnya, Bibi dan teman-temannya. Mereka yang katanya berkebutuhan khusus, malah yang sebenarnya lebih mengerti arti dari hidup. Bahkan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka lebih normal dari status yang mereka sandang. Tapi kita semua yang katanya 'normal', seringkali jauh dari artian 'normal' itu sendiri. Seringkali kita mengeluh, menyalahkan Tuhan atas masalah yang kita dapati, tidak bersyukur...bukankah itu berarti kita yang 'memiliki kebutuhan khusus yang harus dipenuhi'? Kita juga sering luput akan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa disyukuri dalam hidup yang bisa membuat kita bahagia.

Hari ini, dari mereka, saya belajar bahwa bersyukur dan menikmati hal-hal kecil dalam hidup bisa jadi jalan menuju bahagia saya, meski sederhana caranya. Karena Tuhan selalu menurunkan bahagiaNya dari mana saja, meski kecil dan kadang tak terlihat. Jadi intinya, harus ikhlas menerima dan bersyukur atas hal-hal kecil. Dengan begitu, kita bisa lebih dekat dengan Tuhan lantas bahagia dengan hidup kita, meski dalam kesederhanaan.

Hari ini, Tuhan mengajarkan sesuatu pada saya lewat anak-anak itu. Terimakasih untukNya. Saya senang bisa mengenal Bibi. Mungkin lain kali, kalau kami berpapasan, saya akan menyapanya lantas berterimakasih...karena mau mengenal saya. Menjadi teman saya. Dan mengajarkan sesuatu yang tanpa ia sadari saya dapatkan darinya.




Insan Kamalia R.
Untuk para teman-teman mahasiswa yang mengikuti program khusus : Selamat datang di kampus tercinta. Semoga kalian terus belajar, dan terus menyebarkan kebahagiaan untuk sekitar :')

Sunday, September 22, 2013

Tetesan Pembelah Langit


Ketika tetes membelah langit, semua kehidupan menepi, bersembunyi.
Kecuali mereka yang harus bertahan.
Ketika tetes membelah langit, saat itulah kutahu bahwa ada kesenduan
Mungkin ia di balik seloroh cabul para remaja, mungkin ia di balik gairah para pecinta, atau mungkin di balik imaji mereka yang memejam.
Ya, akan selalu ada kesenduan di sana.
Selalu ada tempat untuk kesenduan dan selalu ada waktu yang dipinjamkan ketika tetes membelah langit

Seperti kesenduan di balik pelupuk matamu-yang bertahan di tengah tetesan
Dan kau biarkan mengalir
Meski terdampar di sana sini, namun akan jatuh juga.
Kau biarkan deras, kuyup, gemuruh membasahi kakimu - seperti kesenduan yang membilas hatimu.
Tapi tetap, sebagaimana tetesan yang membelah langit - yang menyapu semua kering - seperti itulah kesenduanmu
Yang akan membasuh rindu dan luka dibalik pelupuk tipis itu
Kau nikmati, kau peluk suaranya lekat-lekat, bagaikan sapaan dari dirinya yang kau rindukan atau bahkan sang Lelaki Hujan yang kau puja.
Dan hingga tetesan itu berhenti dan berganti membentuk rona terindah di muka bumi, dan seperti itulah dirimu bangkit

Seperti tetesan membelah langit, aku ingin menjadi dia
Yang akan menghapus keringmu, menyamarkan tetesan airmatamu, dan mengalir bersamamu
Hingga kau yakin bahwa kau akan baik-baik saja :)

 2013
Untuk Insan Kamalia Rahman, sang Penikmat Hujan
"karena jatuh cinta lantas patah hati untuk kesekian kalinya, akan selalu mengingatkanku pada mu dan hujan sehingga kita bisa mengulang sebait lagu bersama-sama - hanya untuk kita kenang"

Saturday, September 21, 2013

Wanita dengan nama 'Wanita'

Aku kenal seorang wanita yang begitu menyenangi Barbie dan warna merah jambu. Tipikal wanita feminim yang hafal betul bagaimana cara merawat diri. Mungkin tubuhnya tidak seideal tubuh wanita cantik yang jadi mindset orang kebanyakan, tapi untukku, ia cantik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Rambutnya yang hitam kecoklatan serta wajah manis dengan pipi berisi itu menurutku sesuatu yang tanpa ia sadari menjadi kelebihan yang Tuhan beri untuknya. Tawanya yang kadang terdengar diselingi korokan suara babi apalagi,.....hanya wanita itu yang punya.

Tatapannya boleh tajam seperti sedang menggertak, namun dibalik itu ia tetap wanita biasa yang bisa jatuh cinta dan patah hati. Sesekali bersedih karena cinta lantas bahagia lagi karena sahabat-sahabatnya yang jenaka. Mungkin ada bagian yang belum sempurna dalam hidupnya, tapi tak begitu saja dengan mudah mematahkan lengkung senyumnya itu. Ia masih sama seperti itu saja; tertawa dan terus berbagi. Jadi kalau ada pepatah yang berbunyi ; "Don't judge a book by its cover" itu benar adanya. Meski terlihat seperti nenek sihir sekalipun, bukan berarti ia begitu adanya. Ia mudah terharu dengan candaan yang seringkali menyinggung tubuhnya yang tidak kecil itu, alih-alih marah, ia malah kadang merajuk kadang nyinyir pada orang-orang yang melontarkan candaan itu. Tapi itu salah satu yang menyenangkan darinya.

Iya, aku memang tidak terlalu mengenalnya. Tapi dari pembicaraan yang dimulai begitu saja, aku mendapati ia punya cinta pertama yang sama denganku; Ayah. Iya, ia begitu mencintai ayahnya dan vice versa. Aku ingat waktu ia bercerita tentang betapa khawatir ayahnya waktu ia mengalami alergi. Hubungan yang manis sekali antara ayah dan putrinya. Siapa yang tidak ingin punya hubungan macam itu dengan ayahnya?

Ia wanita dengan nama yang memiliki arti 'Wanita'. Aku bisa belajar dari wanita itu bahwa : 'Penampilanmu tidak melulu bisa menerjemahkan diri yang sebenarnya. Ada hal-hal lain yang mungkin tersembunyi yang bisa didapat dari mengenali lebih jauh lagi. Tanpa prasangka. Tanpa menerka-nerka.'





2013
Insan Kamalia R.
Untuk seorang Annisa RE. yang kebetulan baru saja berkurang masa sewanya di dunia;
"Selamat mendewasa dengan rindu-rindu yang baru. Selamat belajar tentang luka-luka serta suka cita baru di lain waktu. Dan selamat berbahagia atas hidup yang Ia beri untukmu"

Wednesday, September 18, 2013

[Monolog] Lelaki Hujan

[Melihat keluar jendela] Aku selalu hafal perasaan seperti ini. Perasaan sunyi, hampa dengan atmosfer dingin seperti saat ini.[Menengadahkan tangan] Hujan, kau selalu mengingatkanku akan sesuatu. Dengan sepotong masa lalu yang masih sering mendatangiku. Kau mengingatkanku pada seseorang yang begitu mirip denganmu, ia menyukaimu.

Ia selalu bilang padaku kalau hujan punya kehangatannya sendiri, dan aku tidak akan bisa merasakannya dengan tanganku melainkan hatiku. Hm... [Merasakan rintik yang jatuh ke tangan] Tapi sekarang aku tahu apa maksudnya, aku merasakannya.

Ia lelaki yang begitu aku cintai. Lelaki dingin yang sebenarnya memiliki hati yang begitu hangat, lebih hangat dari musim panas. Ia selalu tahu kapan aku ingin menangis dan tahu kalau aku malu untuk mengeluarkan air mataku di depan orang lain, makanya ia pun selalu meminjamkan punggungnya. Tapi karena punggung itulah aku selalu menangis. Karena aku sadar, suatu hari nanti, cepat atau lambat aku akan melihat punggung itu pergi menjauh dariku. Meninggalkanku. Aku takut kehilangan lelaki itu.

Aku ingat, ketika ia seperti mendung yang tak lagi mampu menurunkan hujan—menyedihkan. Sepanjang hari ia habiskan di ranjang kesayangannya, dan tak pernah bangkit lagi dari sana. Aku selalu menyempatkan diri untuk duduk disisinya, mengusap telapak tangannya yang kasar. Dan berharap ia tahu bahwa aku ada di sisinya, menemaninya selagi aku masih punya waktu untuk itu. Aku tidak ingin kehilangan momen-momen berharga bersamanya. Aku tidak ingin menyesal karena meninggalkannya sendiri, karena dulu ia tidak pernah meninggalkan aku sendiri.

Dan sekarang, hujan kembali membawaku ke detik-detik mengharukan itu, saat seseorang meneleponku dan berteriak histeris memanggil namaku.
 “Pulang, Nak!!! Pulang!!!”

“Ada apa, Bu? Katakan!!”

“Ikhlaskan ia, Nak. Ia sudah pergi meninggalkan kita semua”

Waktu itu, aku jatuh terduduk ke atas tumpukan salju yang dingin. Aku seperti dimakan perasaan pedih yang begitu buas di dalam diriku sendiri.

“AYAH, KENAPA KAU LAKUKAN INI PADAKU? KENAPA KAU TIDAK MENUNGGUKU? KENAPA KAU PERGI KETIKA AKU TIDAK ADA DI SISIMU? KENAPA KAU MENINGGALKANKU TERLALU CEPAT? KAU BAHKAN BELUM MEMBUKTIKAN BAHWA SUATU HARI AKU BISA BAHAGIA TANPA ADA DIRIMU DISISIKU!!! MANA?? INI MENYAKITKAN. APA KALI INI KAU TIDAK INGIN MEMINJAMKAN PUNGGUNGMU HINGGA KAU PERGI BEGITU SAJA KETIKA AKU TIDAK ADA DI DEKATMU? APA KARENA ITU? BAIK, AKU TIDAK AKAN MEMINJAM PUNGGUNGMU LAGI. TAPI JANGAN PERGI!! KEMBALILAH!! AKU MASIH MEMBUTUHKANMU!! TUHAN, DENGAR AKU! KENAPA KAU MERENGGUTNYA DARIKU BEGITU SAJA? AKU BELUM JADI ANAK YANG BERBAKTI PADANYA. AKU BELUM SEMPAT MENGATAKAN KALAU AKU BANGGA MEMILIKI AYAH SEPERTINYA. AKU BEGITU MENCINTAI LELAKI ITU, TUHAN. LELAKI HUJAN ITU...AKU BEGITU MENCINTAINYA. TOLONG BAWA IA KEMBALI PADAKU, AKU MOHON”

Air mataku pun menetes saat itu. Aku menangis, tapi untuk pertama kalinya, tidak di punggung lelaki itu.
Saat ini, hanya ada aku dan dirimu, Hujan [Menengadahkan kepala ke atas] Aku merasa dunia tidak lagi menarik di mataku setelah kepergian lelaki hujan itu, sampai akhirnya aku bertemu seorang lelaki yang begitu mirip dengannya. Ia seperti berada di tubuh yang berbeda, di masa yang berbeda. Aku selalu ingin menangis ketika melihat lelaki itu, tapi tak bisa, karena tak ada lagi yang meminjamkan punggungnya untukku menangis.

Ayah, aku menemukan lelaki yang begitu mirip denganmu. Mungkin rasanya tidak sama seperti ketika aku bersamamu tapi tak apa, aku tidak mengharapkan apapun melainkan yang terbaik, untukmu juga tentunya. Jangan lupakan apapun tentangku, karena aku juga selalu ingat kata-katamu bahwa tak selamanya cerita itu berakhir bahagia, kadang ini butuh akhir yang menyedihkan untuk mengakhirinya. Tapi, masih adakah awal yang sama jika kesempatan hidup terulang?

Hujan, kalau kau ada waktu, tolong sampaikan ini padanya:

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus di sini. Entah kenapa.

Insan Kamalia R
ex XII IPA 3

NB : kalimat terakhir ialah petikan dari buku Supernova : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh milik Dewi Lestari.
Ini monolog pertama saya, yang kemudian jadi kenyataan.

Thursday, September 12, 2013

Di Bawah Hujan

Kita berdua menyaksikan perubahan langit yang biru jadi kelabu sedaritadi. Kita berdua masih terpaku di bangku taman itu.

"Hujan..." katamu sembari menengadahkan tangan.

"Lantas, kamu mau pulang?" tanyaku padamu, kamu tersenyum.

"Aku ingin menikmati hujan kali ini denganmu"

"Tapi?"

"Tak ada tapi. Aku hanya ingin kamu saja saat ini. Jangan disangkal-sangkal lagi."

"Tapi bagaimana dengan anak-anakmu? Ini waktu mereka pulang sekolah kan? Bagaimana kalau mereka kehujanan?"

"Ah, masih ada Ayah mereka untuk menjemput. Ini kan hari Sabtu, kamu lupa ya?" ia mulai mendekapku.

"Ah, iya...lantas kalau mereka menanyakanmu?"

"Aku sudah bilang aku hendak menikmati hariku sendiri di taman, tanpa ada yang mengganggu"

"Iya, tak ada yang mengganggumu. Aku tak akan biarkan siapapun mengganggumu hari ini. Kamu hanya milikku saja. Begitupun aku, hanya milikmu saja"

Dibawah hujan, kami bercumbu.


Aku Menginginkanmu untuk Jadi Cintaku, Sayang

Aku masih senang seperti ini; mengenang semua tentang dirimu. Senyummu, tawamu yang renyah, caramu menatap hujan kesukaanmu...semua darimu itu. Sembari merasa-rasa hujan di luar jendela kamarku, aku senang bisa menatapmu dari tempatku berada. Kamu tahu aku selalu jadi pengagummu. Awalnya berjarak, namun perlahan tapi pasti aku mencoba menyentuhmu lewat bagian-bagian kecil dari hidupmu. Waktu itu kita sempat bicara tentang bagaimana membunuh rindu, kamu ingat? Biar aku segarkan lagi ingatanmu.

"Aku tidak bisa lari dari perasaan macam ini, rindu-rindu yang selalu memburuku. Ini semua karena kamu"

"Tak usah lari. Rasakan saja sepenuh hatimu. Tak usah berusaha dihilangkan. Perasaan macam itu harus dipenuhi"

"Kamu yang selalu lari dariku."

"Aku tak pernah lari. Kamu yang tidak bisa menyentuhku"

"Apa yang harus aku lakukan untuk bisa menyentuhmu? Untuk bisa memasuki sebagian relungmu?"

"Kamu tahu jawabannya : tidak ada. Kamu dan aku tahu, kita berbeda dalam cinta. Tak ada yang memaksa, tak ada yang dipaksa dalam cinta. Aku maupun kamu. Aku tak pernah memaksamu untuk merasa-rasa perasaan itu. Begitupun kamu, seharusnya"

"Kamu tahu aku sudah setengah gila menahan-nahan perasaan sekian lama. Aku cinta kamu, tak tertahankan. Kamu yang memaksaku untuk mematikannya"

"Aku tidak pernah memaksamu untuk merasakannya kan? Aku tidak memaksamu pula untuk mematikannya. Aku hanya ingin kamu tahu, bukan kamu yang memenuhi relungku. Orang lain datang lebih dulu. Jangan salahkan waktu karena membawamu padaku terlambat"

"Lantas harus aku apakan rindu-rindu dan perasaan cintaku?"

"Kamu bisa menggantungnya di kamarmu. Kamu taruh di bingkai untuk mengindahkan ruanganmu. Cinta itu bisa memberikan energi positif untukmu. Mungkin dengan adanya cinta di sekitaranmu, kamu bisa berhenti mendamba apa yang tidak bisa kamu miliki"

"Tapi kamu cintaku!"

"Bukan. Tilik lagi hatimu. Kamu hanya belum bisa melihat cinta itu lebih jelas"

"Hm....lantas kalau aku sudah menemukannya dan bagaimana kalau itu kamu?"

"Yakin?"

"Bagaimana kalau itu kamu?"

"Kamu bisa berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkanku"

"Baiklah."

Semenjak itu aku berusaha memahami arti cinta sebenar-benarnya darimu. Lantas apa aku menemukannya? Tentu. Dua tahun sudah aku bersedih karena mencari-cari di mana cinta yang kamu maksud itu berada. Aku merindu amat sangat akan cintaku. Saat ini ia ada di depan mataku. Seperti yang kamu bilang waktu itu, aku harus menggantungnya di kamarku, menaruhnya di bingkai. Dan benar saja, aku bisa merasakan energi positif didiriku setelah menemukan cintaku yang sebenar-benarnya. Dan sampai saat ini aku masih senang seperti ini; mengagumimu dari tempatku berada. Tapi kini kita tak berjarak seperti dulu. Karena kamu milikku, Cintaku.

Aku senang bisa menatap bingkai dengan isi kepalamu di sana. Dan gantungan tubuhmu itu....indah sekali, Sayang.

Fiction is Another World of Mine

Writing is about actualizing an imagination out to the world.

I love the feeling when I spread out my imaginations. They struggle inside my head. They play with my mind. They build their world, become my world then. I find so much more to come when I'm writing, like words attacking me to write them down. 

Writing is also a way to escape from reality. I can make another story, a reality that I want. Yeah, writing sometimes could be a justification of all the wrong. I fix what cannot be fixed in the past through writing. It also helps me to speak. A line of words can speak up what I want to speak, something on my mind. Since I’m not a good person in speaking directly. Sometimes, honesty can be hurt. So writing helps me refine the meaning.

Writing is addicting too. Once I write, I want to write again and again. But when I stop, I feel something is lost. Yeah, I'm enjoying my world when I'm writing. I have my dreams in my words. I have my miracle on it too. It's like I can talk to another me with my words. We have a great time and adventures together.

And like I said before, writing is about actualizing an imagination out to the world. It's about how the writer could make it a reality for the readers. Not only in connotation way, but I mean it. Writing could make something out of logic happened. And it did happen to me.
Once someone said, perhaps sounds like "We never know that, perhaps, in another place, dimension, or another life, there happen story that we write. With the same characters and places. Human's mind is much mysterious than we thought. Universe has its system to work on a human's mind". And I believe it, that what we think, we write…could be happened.

Let me tell you a story about fiction that become reality :
Once, I have written a story about someone who loves rain and ice cream. She has a lovely family. And one day, she lost her father. She feels so lost, but rather than drown too deep more, she tries to move on. Instead of losing her father’s figure, she found another man who has the exact gesture of her father. She found her father on him with some differences of course. But the presence of him is to remind her of her father so much. She calls him The Man with Soft Palms. As my imagination pumping out words, they have such a sweet love story, though, in the real world, there is not much who has a good love story like in romance film or novel. Yeah, I have my reality when I’m writing. But in the end, I realize little by little, that what I write is becoming a reality. It’s like I write my life path. I found that I lost my father too after I write about it. But then a man who has a piece of my father came to my life. He has soft palms and long fingers that I love. Just like what I write. It is no longer fiction since I can touch it. I can feel him near. I even can smell the presence of him.

I love this quote from a film titled Ruby Sparks that I just watched, "It was once said of Catcher in the Rye: ‘that rare miracle of fiction has again come to pass. A human being has been created out of ink, paper, and imagination’."
Yes, this is it. It happened to me. It became a reality.
This…the power of writing; the power of imagination.

It could happen to whoever believes in their imagination. Their dreams.
I find ‘forever’ is not exist in the real world. Only in fiction that I read. If ‘forever’ does exist in fiction, then I’ll create my fiction world. I will crystallize all the people that I love, make a good story for each of them that end with ‘happily ever after’.

Perhaps some of the joy from it could be happened again and become another reality of mine? Just a wish. Another wish. Thank God, He gives me such a great mind to imagine what I write. If there is any reality that could happen from fiction, I know, it’s not human’s creation. It’s from Him. He guides people to write, to find their imagination, and in another place, another time…but He already makes it a reality. Yes, It always Him behind us. We are not alone. Even in our imagination world.

And the last, another quote to finish my post :
One may read this and think it’s magic but falling in love is an act of magic. So is writing.
-Calvin Weir-Fields

My life is a fiction. One of the other great fiction that He creates. Yes, Allah is the greatest writer. He makes all the impossible possible, just like fiction of mine.

2013
Insan Kamalia R.
I am no JD Salinger but I have witnessed a rare miracle. Any writer can attest in the luckiest, happiest state; the words are not coming from you, but through you .-Calvin Weir-Fields-



Sunday, September 8, 2013

Cinta Segiempat

Mungkin ini cinta segiempat. antara aku, hujan, eskrim dan bintang.

Mereka tidak pernah membuat patah hati sesiapa yang menikmatinya.
Hm...tunggu, mungkin tidak dengan hujan.

Mari aku ceritakan tentang mereka bertiga di dalam artian cinta yang aku punya.



HUJAN

Satu kata sederhana yang meneduhkan, meski nyatanya ia tak pernah sesenyap perasaan ketika ia datang. Ia bergemericik terkadang. Menderu diikuti angin di lain waktu.

Kata orang, hujan itu pembawa sial. Ia yang seringkali menggagalkan rencana seseorang untuk pergi menikmati hari di luar ruangan. Ia yang seringkali membuat susah mereka yang mencuci sedari malam dan untuk kemudian mencuci lagi karena baju-baju mereka basah lagi karena hujan. Ia yang kadang membuat udara begitu dingin menusuk dan menguatkan suara-suara kesedihan yang mendera sesiapa yang mendura.
Mereka selalu pupus ketika melihat mendung pertanda kedatangannya.

Kenapa tak lantas melihat sisi baik dari kedatangannya?
Hujan itu sebentuk lain anugrah Ilahi untuk bumi, kenapa kedatangannya disesali? Hujan pula penghilang dahaga atas matahari, mengganti kerontang dan panas membakar dengan sejuk mengiringi di antara udara bumi. Alih-alih disyukuri, seringnya malah dikutuki.

Untukku, hujan adalah cinta pertama. Tangisan langit, entah ia sedang senang atau sedih. Tergantung seberapa derasnya. Tapi aku yakin, entah di belahan bumi mana, ada yang sedang bersedih dan langit ikut mengiringi kesedihannya. Langit ikut menangis untuk menyamarkan air mata mereka yang mendura duka.

Untukku, hujan punya kehangatannya sendiri. Kulitku mungkin indera perasa yang paling baik di antara semua indera. Tapi kehangatan hujan tak bisa dirasa-rasa lewat kulit semata, ada indera lain yang pasti bsia merasakan kehangatannya ini. Iya, hati. Kehangatannya sama seperti teduh di hari-hari cerah di bawah pohon. Menyejukkan.

Untukku, hujan adalah pertanda baik akan datang setelah hal-hala menyedihkan datang. Aku tak ingin mengamini hal menyedihkannya. Tapi seperti yang kita tahu, tentang janji akan pelangi setelah hujan mengamini. Sama seperti hal-hal baik setelah hal-hal buruk datang. Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik dari kedatangan suatu yang kita panggil 'masalah' itu.

Mungkin hanya beberapa orang saja yang bisa menikmati kesenangan bermain di tengah hujan.
Hanya beberapa orang saja yang bisa mencintai dan meyakini hujan sebagaimana mereka percaya akan Tuhan yang selalu ada untukku mereka.




ES KRIM

Tak ada yang lebih menyenangkan dari menikmati es krim. Membiarkannya meleleh begitu saja di dalam mulut. Dingin yang manis. Dan tidak ada yang sebaik es krim dalam menghibur hati yang berduka.

Untukku, es krim tidak pernah mengecewakan. Meski rasanya sepedas lada pun, aku tetap suka. Malah es krim yang aneh rasanya seperti itu malah yang memiliki kejutannya tersendiri. Tidak melulu manis campur asam seperti es krim pada umumnya. Es krim juga lantas bisa dinikmati saat mengambang di atas cairan Moccha yang sarat aroma kopi. Ah, aku suka menikmatinya di hari hujan~

Jadi, bagaimanapun rasanya, es krim selalu bisa dinikmati. Menghibur diri saat duka, dan melengkapi kebahagiaan saat suka. Senangnya bisa mengenal es krim. Terima kasih untuk Tuhan yang sudah menciptakan sapi sebagai penghasil susu yang jadi cikal bakal dari keberadaan es krim. Tuhan selalu punya cara untuk menurunkan anugerah-anugerahnya. Dalam berbagai bentuk, berbagai tempat dan rasa. Tentu, es krim.


BINTANG


Tak perlu dihitung pun, bintang jelas ada banyak. Bahkan kalau semesta tidak bergerak melebar, mungkin semesta akan padat dengan bintang. Mereka anak-anak langit yang tersesat dengan cahayanya masing-masing, namun para makhluk mortal yang tinggal di bumi seringkali terpaku pada mereka. Seperti terperangkap oleh lukisan malam di mana ada bintang-bintang itu bertebaran, bermain di langit mereka. Syukur jika ada bulan bersama mereka untuk melengkapi, dengan senyum sabitnya seperti biasa.

Bintang memang hidupnya tak sesulit hujan yang kadang dikutuki kedatangannya, melainkan ditunggu-tunggu. Namun bintang bisa begitu saja mati. Saat usianya kian senja lantas ia meledakkan diri. Ironis? Tentu. Dan ketika ia hilang, ia hilang begitu saja. Tak ada yang mengingatnya, karena begitu  banyak yang serupa dengannya.

Kalau aku analogikan seperti seorang lelaki, mungkin ia adalah seseorang yang disukai banyak orang. Tapi tak ada yang benar-benar mengenali dirinya yang sebenarnya. Di sisi lain malam, ia membagi hanya pada sesiapa yang yakin bahwa keberadaannya ada. Lelaki yang menyinari sekitarnya tanpa sekitarnya tahu siapa yang menyinari. Ia bisa dilihat namun tak terlihat. Kalau ia di sini, mungkin aku kecupi dahinya lantas berkata,"Aku akan mengingatmu, meski nanti kau tiada"

Dan kala mentari menyapa, bintang selalu ada di sana. Terkalahkan sinarnya oleh matahari, sayangnya. Tapi ia selalu di sana. Memperhatikan dari tempat berada. Tak pergi. Tapi dilupakan.
Bintang yang menyadarkanku tentang arti sebuah keberadaan. Tak perlu cemerlang untuk terlihat, yang penting memiliki cahaya sendiri untuk dibagi. Tak perlu memaksa orang lain untuk mencintai diri kita, setidaknya kita masih punya cinta untuk dibagi kepada sesama. Terus saja mencintai, meski tidak selalu terlihat. Tapi kita nyata, senyata cinta yang kita punya.


Lantas aku merasa beruntung memiliki ketiganya, dan bisa mengenal ketiganya di dunia yang sekarang aku tinggali. Mereka semua sebagian tangan-tangan tak terlihat Tuhan yang mengajarkan sesuatu bagiku. Mereka tak sama, tapi selalu punya pecintanya sendiri yang mengagumi mereka. Yang menghargai keberadaan mereka yang kadang tak terlalu disadari esensi keberadaannya. Hujan punya pedihnya sendiri untuk dibagi meski nyatanya juga ia memiliki banyak harap untuk dimiliki sesiapa yang mengamini. Eskrim juga begitu, kadang buat ngilu karena teralu dingin, tapi ia memberikan kebahagiaan untuk hati yang mungkin berduka. Dan bintang, yang selalu ada mengamati dari tempatnya--sebuah pengagum yang tak pernah henti menggumi, yang lantas tetap setia meski tak terlihat.

Jadi, salahkah aku jatuh cinta pada ketiganya? Atau...mereka saling cinta satu sama lain?
Saat membagi cinta, tak harus melihat jenis, waktu dan bentuk, maka hiduplah mereka senyata-nyatanya cinta yang mereka punya untuk semesta.



Insan Kamalia R.
-yang akan selalu jatuh cinta pada hujan, eskrim, dan bintang.

Tuesday, September 3, 2013

Autobiography of Fikriyani Nur Rahman

This is an autobiography of my dearly young sister. I just...proud of her.

Okay,  let me be honest to you first miss, I am not good in writing. But the good news is, I can learn. So, in this miserable issue—that I cannot write as good as you expected— , I think I’ll do it in a diary-kind-of-writing. Cause I write diary a lot. Every night, since in elementary school. So, you kinda expect us to write about our self. And my second honesty to you is that, I cannot describe about myself too. Well, I’ll try on it cause you said we must improve things. I’ll try to improve my confidence in writing and describing about myself.

My name is Fikriyani Nur Rahman. But please, just call me Fiky. Fiky, with ‘F’ and without ‘C’. Cause people always think that it’s Vicky instead of Fiky. But I can handle that. I’m used to it. It began when I was in first grade of elementary when my name on absent list was Vikryani which was all wrong since that time people always think that it’s Vicky not Fiky. Actually, I cried because of that. My Mini-Me thought that it’s so unfair and so mean by writing someone’s name in a wrong way. By the way, why do I have to tell you that story? Okay,  next thing about my name is that I kind of annoyed if somebody called me Fikri. I just think that it’s a boy name and it’s so weird for a girl called by a boy’s name. And also, when I studied English at  LIA Depok, we had an English teacher for once and She called me Freakyani. And I was like, ‘Oh man! Not this time’. I know I’m weird sometimes. And I know It’s quiet obvious sometimes that I’m weird. Okay, forget it.

About me? Well, I don’t know. So rare people want to know about me. Thank you cause you want to know. I was born in Jakarta, November 1st 1995. And my mom was almost died because of giving birth to me. Really, It’s like a little secret that I’ve been keeping but I still feel such a guilty because of that. I always hate my birthday cause when it comes to me every year, there always bad things happen before or after the birthday. I’m not saying that I’m a bad luck girl. I don’t buy it anyway. But, I really fear it. Cause terrible things happen. Like at my 6th birthday, my dad carried a birthday present for me and he got accident on the way home. And also at my 7th birthday, my mom got robbed and she got hurt too. And the last was on my 17th birthday. Ah! I don’t believe in those things girls my age believe that 17th birthday is everything. My dad died right on 7 days before my birthday. I was so sad about that. I still. But I’m not anymore. Cause I’m doing things that can make me happy. Like, reading books—I’m a bookworm—, listen to the radio, listen to my cassettes—I collect cassettes so much, I can’t stop shop cassettes when I’m on the cassette shop—, post some pictures on my blog cause I’d love to remember all things that inspire me on my fancy activities,  scrapbook-ing and doodle-ing, etc. And to forget about my sadness of everything, my friends help me to do that. To be honest I don’t have so much friends that close to me. I used to be so hard on socialize especially on high school years and middle school years. So many bad things happen on those years. In the middle school, I kinda pretended to be somebody that I’m not—I wasn’t being myself and I regret it so much—cause I don’t want people to refuse me in their circle. I pretended in those full 3 years! And I also survived bullying. Seniors bullied me many times in long terms in each actions cause my older sister studied in the same school like me. I absorb the feels and didn’t tell anybody cause I thought, ‘Well,  who care! They don’t know me though. And my sister doesn’t even care about me. And she’s busy with her friends. What’s the big deal?’. I bottled myself up in this bullying issue. I through it all in my way. I did some fancy things like listen to some indie music from all over the world. I do research on the internet—There was a time when I spent my 5 hours of my day in the internet café just to do homework and do my things, believe it or not I learn algebra from the internet cause I’ve got so many times there—, I watched music demos on my space and youtube. I enjoyed it really. I’ve got friends from middle school but like I said not much. Cause people look me differently. They judge first, I don’t know they found me like I’m a freako. I wanted to be everybody’s friend but the problem is, Would they? At first it was about 10-20 friends but as the time goes by, they betrayed me, and they didn’t accept me the way I am anymore. And they left me cause they’ve got another business and I decide to do the same. I mean, I’m used to it anyway. I wanted to fix it but it always end up like they embarrassed me in front of so many people. So, my middle years end up in this situation when I got just 2 people as a friend. How shame L . That’s middle school story.
And high school, It wasn’t really different with my middle years. I’m an old-fashioned girl, did I say that already? Well, I listen to The Beatles a lot since I was a kid, I listen to old jazz music like Louise Armstrong, Dickie Valentine, Perry Como, Pat Boone, Jim Reeves, Connie Francis, Ella Fitzgerald, Nancy Sinatra, etc. I listen to folk music from old age too like Bob Dylan, Joan Baez, Nana Mouskouri, Simon & Garfunkel, etc. I listen to many more old songs like ABBA, Bee Gees, Celine Dion, Chrisye, Debbie Gibson But don’t get me wrong please. Even though I am an old-fashioned doesn’t mean I don’t do modern culture. I listen to modern songs too. Especially Indie music. I like Kings of Convenience,  Ingrid Michaelson, Teitur, Sondre Lerche, Lena Mayer Landrut, Kate Nash, Sara Bareilles, Florence + The Machines, Oren Lavie, Landon Pigg, Lucy Schwartz, Birdy, Bon Iver, Foster The People, Fun, etc. Well, Death Cab for Cutie, Feist, Imperial Mammoth, The Civil Wars, etc now I sound like teenage my age! Hahaha~ . I’ve told you that I’m a bookworm. I actually read any kinds of book. But, I love literature. Well, I’m not really good on English for that so I’d prefer to read the Indonesian version. But, I’m still learning and I expect that I can learn much from you so I can improve my English and be able to read some original versions of literature. I love Oliver Twist by Charles Dickens, and I love A Little Princess by Frances Hudgson Burnett, I love The Chronicles of Narnia Series by C.S Lewis, etc.
I watch movies a lot! I watch any kind of genre. But mostly Adventures, Classical, Romantic (I like quirky kind of love story)movies. I love to watch Dirty Dancing, Grease, Across The Universe, The Help, My Girl, Edward Scissorhands, Jane Eyre, The Stoker, The Chronicles of Narnia, Harry Potter, The Secret Garden, A Little Princess, The Curious Case Of Benjamin Button, etc. Oh my god, I used to sing "You're The One That I Want" in alien language. Cause I was just a child and I wasn't sure about things I sing.  SO, It was quiet like "wkjjjwjlqoihduwyu" I don't know...

What else? Okay, I think I already told you about my hobbies. I don’t really into TVs programs but I’m really into movies and TV series. Like Sherlock BBC, Lie To Me, Charlie’s Angels, etc. I play guitar too, and I sing along to myself whenever I feel sad. I sometimes make a theme song for my situations. I know it’s silly. But, I can’t stop myself on doing that cause it’s so automatically out from my mouth. Oh god, you should know about how much awkward things I found in my daily activities. I feel so shy and sometimes embarrassed. And when I feel that way, It's like I’m eating a lemon. It feels so sour and like I don’t want to be exist. Aaaah~. So, let’s take a leap to the next level. I have a dream to be a fashion designer. I doodle a lot and almost all of them are fashion doodle. I read fashion magazines like GoGirl! as a reference. I learn how to draw woman clothes by looking at pictures and try to adopt the lines. I want to be a fashion designer because I feel that this is what I’m into no matter what. Actually, it began when I was a child that my mom bought or sometimes made me some clothes and mostly dresses for kids. She made them for me and they're so beautiful. It made me think that it's cool to make your own dresses and make them for others. And it continued when the first time I watch TV cable and there's Fashion TV. This thing just locked in my heart. I feel like, ‘Aaah! God, I want it so bad!’. And hopefully I wish I could be an International fashion designer. I want to make Indonesia to be proud of me. And also I want to break those international perception that said Indonesia is a poor country ,stupid,  miserable, and the place where you could get professionals with cheap salary. I want to learn much in this school cause I know this institution could be bigger than now. I believe that. So, that’s all about me. I’m sorry that this is The Worst About-Me Ever. But I tried so hard. But I promise you that I’ll try harder. And I’m so sorry that things I share to you in this essay are not very good ones. I hope you don’t mind about it. I hope you’re not fall asleep while reading this. Thank you very much.

Fikriyani Nur Rahman—Desain Mode 2013—13910011—Monday/Sept 2nd 2013 11:00PM

Wednesday, August 28, 2013

Cerita di Suatu Dini Hari

Pembicaraan di suatu dini hari. Awalnya tidak hendak bersajak, tapi akhirnya kita malah mempermainkan kata sambil bercerita.

“Eh sesekali dengerin suara angin, enak loh. Apalagi pas hari terik :’)
Mungkin itu pertanda baik~"

"Dan dedaunan mulai berbisik. Membawa pilu barang sedetik”

“Lantas  apa yang kau dengar selain itu? Hanya pilu?”

“Dan genderang girang, yang saling bertalu. Mungkin saling bersahut. Seperti raja rimba yang kini terpagut. Yang tadinya tertawa. Bagai samudra yang menari-nari di bawah cakrawala”

“Ah,tapi tempatku menikmatinya tak seluas itu. Tak seramai itu pula. Ada pinus-pinus, terik matahari siang dan hari berangin yang ditata. Terik tapi tak sepanas yang kau kira. Teduh, sungguh. Seperti tanya ‘Bahagiamu sederhana bukan?’ Lalu keteduhan itu aku temukan pada sepasang mata. Seakan menjawab pertanyaan hari tadi”

"Maka biarkanlah bernyanyi. Bernyanyi hingga pagi enggan sepi. Bernyanyi hingga mentari berdansa dengan awan, bawa terbang ragammu ke tempat terindah. Ke tempat yang bahkan sukamu asing menginjaknya. Teriak sekencang-kencangnya. Hingga suaramu sendiri tak sanggup mendengarnya"

"Aku ucapkan selamat datang bahkan. Juga pada rindu-rindu yang mungkin mengintip dari sela ingatan, minta diucapkan. Senang bisa mensyukuri keberadaan seseorang dalam kesedehanaan sebuah pertemuan. Mungkin ada yang menculik jiwaku waktu itu. Bahkan aku tak sadar aku malu. Bodoh ya? Mungkin. Hanya saja hati tak pernah sejujur itu. Ah, aku bahkan tak lagi bisa bedakan mana kagum, senang, duka terbungkus cinta atau cinta yang sebenar-benarnya."

"Pembeda hanyalah fana yang membuat kita fana"

"Lantas apa? Tak perlu tahu itu apa?"

"Hanya bisa disadari. Tak mau dirasa"

"Antara takut atau bangga"

"Apa perlu kau tahu semesta ada di mana?"

"Aku rasa ada di mana-mana"

"Aku tak mau tahu"

"Aku punya. Kau juga punya. Kau tahu itu"

"Yang aku tahu aku punya semesta. Kau punya semesta. Kitalah semestanya"

"Hm, mungkinkah seperti rasa-rasa itu? Pada akhirnya melebur. Lantas mereka jadi apa kalau tak ada pembeda-beda? Tak ada yang sama bukan di dunia ini? Bahkan untuk sebuah rasa"

"Mereka hanya akan menjadi satu. Mereka akan jadi cinta. Kau mencintai rasa. Itu yang membuatmu bisa merasa"

"Tapi cinta itu warna-warni. Tak sama walau satu nama. Cinta tak punya satu makna. Dan aku tersesat di sana. Di antara rasa yang kau bilang aku rasa-rasa"

"Aku tahu jawabnya. Dan kau juga pasti tahu"

"Ah, aku tak tahu..........atau mungkin aku sedang pura-pura tidak tahu ya? Atau aku sengaja tersesat?"

"Tak mengapa. Cinta itu juga kerap pura-pura"

"Pura-pura seperti ingin tapi tak ingin? Mungkinkah karena sesuatu harus pura-pura? Mungkin karena tabiat manusia yang seringkali menikmati sensasi, atas diri sendiri. Termasuk saat ia tersesat dan berusaha untuk tak sadar. Tak ingin sadar, bahkan"

"Memang lebih baik seperti itu. Biarkan saja, jangan hentikan kesenangan itu"

"Makanya manusia senang mabuk, ya kan?"

"Ya. Karena mereka tak ingin sadar. Mereka tak ingin sadar kalau mereka mencintai hidupnya"

"Itu salah satu bentuk kebahagiaan bukan? Mungkin harus kita amini konsep 'Bahagia itu Sederhana'."

"Ya, aku setuju. Dan artinya, cinta juga sederhana"

"Harusnya"






Insan Kamalia R.

Tuesday, August 27, 2013

Teriak

KENAPA PERGI MENGHIBUR DIRI BISA TAPI MEMBIARKAN SAYA SENDIRI BEGITU SAJA?!

JADI CUMA PEDULI DENGAN DUNIAMU SENDIRI?

LANTAS AKU INI SIAPA?!

MENDENGARKAN PUN KAMU TIDAK, APALAGI MENGERTI?!

Mungkin nanti atau entah kapan, pelan-pelan aku pergi. Tanpa kamu sadari.



NB : kalau kamu terus begini.

Teduh dan Terik

Hari ini hari pertamanya masuk kuliah setelah sekian lama ia menikmati banyak waktu-waktu sendiri di dalam kamar. Hari ini hari pertamanya bertemu dengan teman-teman lagi serta junior yang tahun ajaran ini baru menyandang status sebagai 'Mahasiswa Baru'. Tapi bukan masalah itu yang hendak aku ceritakan tentangnya.

Ini tentang bagaimana ia mencuri dengar tentang kebahagiaan kecil yang akan ia dapatkan hari itu dan konsep kesederhanaan dalam bahagia itu sendiri.

Siang tadi.
Terik. Berangin. Semua campur satu. Antara panas dan teduh beradu, minta lebih unggul terhadap satu sama lain. Ia menunggu sahabatnya di depan sepetak tanah parkiran yang lebih mirip hutan karena banyak terdapat pohon pinus di sana. Orang-orang memanggilnya 'Parkiran Hutan'.

Hari itu memang panas. Tapi anginnya menyejukkan. Senangnya bisa menghirup udara setenang itu. Lalu.....wush~
Anginnya menerpa dedaunan pinus yang mulai bergemerisik. Orang biasa mungkin akan mendengarnya sebagai terpaan angin semata, tapi tidak dengan wanita itu. Ia mendengarkan sesuatu di sana, seperti bersenandung. Bukan sendu, hanya hal lain yang menenangkan, mungkinkah rindu? Ah, jangan bicara rindu sekarang.

"Kamu dengar itu?" tanyanya pada sahabatnya yang sedang susah payah mengeluarkan motornya dari parkiran yang jalannya berundak karena ada akar pinus di sana-sini.

"Apa?" sahabatnya mematikan motor, mencoba lebih awas akan pendengarannya,"Suara angin?"

"Bukan. Lebih dari itu. Aku dengar nyanyiannya bahkan" ia memejamkan mata barang sesaat. Mungkin sedang merasa-rasa akan sesuatu.

Aku pernah merasa seteduh ini. Dulu, waktu aku mengagumi seseorang.
'Kapan?
Dulu, sudah lama.
'Hm, bahagia sederhana kan?'
Mungkin...

"Temani aku dulu beli file holder. Lalu aku antar kamu pulang" kata sahabatnya mengusik tanya-jawabnya dengan diri sendiri.

"Tentu" ia naik ke jok belakang.

Tapi selalu ada saat di mana kita tidak bisa menentukan apa-apa saja yang harus kita lihat, rasa dan sesali.
Sepasang mata dari arah arus berlawanan menatap tepat pada matanya. Mata yang tak asing lagi untuknya. Mata yang dulu ia perhatikan dari jauh dalam jarak. Mata yang berdiam di balik kacamata bening yang memperlihatkan tatapannya yang masih sama.

Sepersekian detik ia sadar lalu buang muka begitu saja.

 Aha, mungkin hari sudah menjawabnya dengan lantang pertanyaan dirinya tadi.

'Bahagia sederhana kan?'

Aku tahu, saat itu juga ia ingin berteriak,"Ya"

Desauan tadi pertanda rupanya. Ia yang sudah membawa rindu-rindu yang terlupakan atas perasaan kagum yang pernah ada.

"Kamu lihat orang itu?" tanyanya setengah histeris pada sahabatnya,

"Siapa?"

Ia hendak mengatakan siapa. Tapi urung. Ah, sudahlah. Ia ingin menikmati bahagianya yang singkat itu dengan cara yang sederhana; merasa-rasa. Bahkan dulu, lelaki dengan tatapan itu pernah ada dalam hidupnya. Memberi sedikit teduh di harinya yang terik. Mungkin masih hingga kini. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya.

Tapi saat mereka berdua berlalu, aku lihat wanita itu masih terpaku. Tersenyum. Mungkin sedang mengamini, bahwa bahagia itu sederhana. Tatatapan mata yang bertemu. Ya, bahagianya sesederhana itu.



Insan Kamalia R

Monday, August 26, 2013

The Power of Admiring : Ketika Kamu Mengagumi

Saya pernah singgung mengenai hal ini sebelumnya : Mengagumi seseorang.

Mungkin orang lain yang tidak pernah tahu rasanya letupan-letupan perasaan semacam itu akan berkata, "Oh...itu" atau "Yak elah lu..."
Tapi, menjalaninya tidak semudah mengatakan "Oh...itu" atau "Yak elah lu...". Butuh usaha ekstra dan kesabaran tingkat dewa untuk bisa menjalaninnya, ditambah...beberapa skill untuk bisa berhasil menjadi seorang pengagum yang berbudi luhur tentunya. Dan yang paling utama adalah mental sekuat baja untuk bisa menerima kenyataan (yang seringnya) pahit.

Ada plus minus dari kegiatan yang satu ini.

Sisi positifnya jadi pengagum itu :
- Melatih rasa keingintahuan kita. Kita akan selalu ingin tahu mengenai sesuatu (apalagi tentang orang yang kita kagumi itu), seperti saat kita begitu ingin tahu tentang kehidupan orang yang kita kagumi. Kita bisa mencari tahunya lewat akun social media yang ia punya. Hanya dengan mengetik namanya di Google, kita bisa langsung mendapatkan data-data yang kita inginkan lewat social media yang ia ikuti (dengan sortir data terlebih dulu tentunya)

- Dengan meningkatkan keingintahuan akan sesuatu, kita akan menjadi lebih jeli dalam hal menganalisa. Apa-apa yang kita temukan dari data-data tadi, kita bisa simpulkan satu persatu dan membuat catatan sendiri mengenai seseorang yang kita sukai. Dari tanggal lahir sampai ukuran sepatu pun mungkin bisa didapatkan lewat hasil menganalisa. Bahkan kita bisa membuat timeline sendiri tentang kejadian-kejadian yang di alami orang yang kita kagumi itu.

- Kalau sudah berhasil membuat catatan dari hasil menganalisa, kita akan mampu mengkritisisasi kejadian di sekitar kita dan tidak bertindak semena-mena tanpa pikir panjang. Kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi lewat analisa kita pada data-data sebelumnya. Kita pun tidak akan semena-mena jika terjadi kabar miring tentang orang yang kita kagumi.

- Selain ketiga kemampuan di atas, kita juga bisa mengasah kemampuan berakting kita. Jika orang yang kita kagumi adalah seorang yang dekat dengan kita, kita bisa berpura-pura tidak memiliki perasaan apa-apa, meski nyatanya setengah mati kita senang berada di dekatnya. Tapi sebisa mungkin, kita ingin terlihat cool di depan orang itu dengan bertindak senatural mungkin, seapa-adanya diri kita sendiri (seperti pada saat tidak memiliki perasaan apapun pada siapapun).

Namun dari hal positif di atas, menjadi seorang pengagum pun memiliki sisi negatifnya seperti :
- Karena terlalu fokus dengan 'riset', kita bisa lupa terhadap diri sendiri. Kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk mencari kegemaran dan apapun yang berkaitan dengan orang yang kita kagumi, tapi di saat yang bersamaan kita mengabaikan diri sendiri untuk bahagia. Bahagia dalam arti kata benar-benar menyenangkan diri sendiri dengan membuat quality time atas diri sendiri. Sesekali kita bisa berhenti (bahkan butuh berhenti) demi menciptakan me-time dengan kualitas terbaik. Kita bisa menghargai diri sendiri atas usaha kita sejauh ini dengan sekotak besar es krim, mungkin?

- Karena terlalu banyak keingintahuan kita, kita bisa saja berkutat dalam jangka waktu yang lama dengan 'riset' tersebut. Ini sama saja dengan tidak produktif. Padahal, sebenarnya masih banyak hal di luaran sana yang butuh kita kerjakan dan kita perhatikan. Come on, kita punya dunia juga. Untuk apa menghabiskan waktu terlalu banyak untuk hal yang (bisa saja) sia-sia di lain waktu?

- Karena terlalu gigih dalam melakukan 'riset' kadang juga membuat impact yang sedikit 'ih' buat orang lain, (terutama) mungkin untuk mereka yang kita kagumi. Well, di sini kita harus pintar-pintar menempatkan diri. Kita memang pasti melakukan 'riset' secara terang-terangan tapi hormati ruang pribadi orang lain ya, guys. Sesuka apapun kita sama seseorang atau sekagum apapun itu, usahakan (sebisa mungkin) untuk menghormati ranah pribadi orang lain. Jangan sampai dicap psycho karena saking seriusnya melakukan 'riset'

Well, yeah...as you see. Selalu ada plus minus dari apa-apa yang kita kerjakan. Mungkin bagi kita hal itu sangat amat penting untuk dilakukan tapi mungkin tidak untuk orang lain. Lagi-lagi, kita harus pintar-pintar menempatkan diri. Mengagumi orang itu nggak salah kok, cuma kadang yang salah itu caranya. Sekali lagi, kita harus ingat-ingat bahwa orang lain pun butuh privasi. Jadi jangan terlalu ngudek-ngudek kalau orangnya tidak mengizinkan. Toh, informasi bisa kita dapatkan dari mana saja bukan?

Saya sendiri yakin, yang namanya pengagum itu pasti melakukan segala cara untuk meng-kepo-i orang yang ia kagumi. Selama masih dalam batas wajar, it's okay. Yang bahaya itu kalau sudah menganut paham 'menghalalkan segala cara'.

Jadi, kalau ada yang bertanya, "Lantas apa yang dimaksud dengan The Power of Admiring?"
Mungkin jawabannya ini :
Karena dengan mengagumi, kita bisa sampai melakukan hal-hal tersebut di atas. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita bisa membuka potensi diri kita tersebut untuk hal-hal lain yang lebih positif, seperti menuntut ilmu, menjalani hobi dan lain-lain. Bahkan sampai lupa diri sendiri pun bisa terjadi pada siapa saja karena alasan mengagumi seseorang. Padahal kita bisa melakukan hal itu (melakukan riset tentang apa yang orang lain suka dan tidak suka), kenapa tidak kita implementasikan pada diri kita sendiri terlebih dahulu? See...kita bisa melakukan banyak hal baik dari mengagumi.
Perasaan campur aduk macam ini yang membuat saya merasa senang melakukannya :) Selain itu, saya juga bisa belajar menyayangi seseorang dari jauh. Hal apa lagi yang lebih menyenangkan dari menikmati perasaan sayang dan bersyukur atas keberadaan seseorang yang kita kasihi? Yep, The Power of Admiring.

Selamat Mengagumi lebih jauh lagi. Selamat Bersyukur lebih banyak lagi atas diri sendiri!!


Insan Kamalia R.
For those admirers out there. We share the same spirit in ourself :') Keep loving, keep admiring. XOXO.


Sunday, August 25, 2013

Aku habisi hari ini dengan tenang tanpa harus memikirkan sesiapa akan 'mengganggu' hariku. Tapi hanya seorang saja yang buat aku rindu.

"Hai, kamu" sapaku lewat chat saat lihat namanya online.

"Kamu di tempat biasa?" ia menjawab sapaanku dengan pertanyaan. Aku tahu ia punya banyak pertanyaan tentang bagaimana aku bisa online di jejaring sosial ini saat aku tidak punya cukup modal untuk menghubunginya dan laptop adikku yang baru saja ia ambil kembali dariku.

"Iya. Kenapa?"

"Pulang jam berapa?" ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya.

"Kira-kira jam sepuluh. Kenapa?" tanyaku lagi.

"Ah, padahal aku mau telepon. Huh, gak jadi deh" rajuknya di sana.

"Ya sudah, besok pagi aja" kataku mencoba memberikan pilihan.

"Gak usah. Aku besok mulai kuliah" mungkin kalau ia bicara saat ini, aku tahu nada dan intonasi seperti apa yang ia gunakan.

"Aku juga besok ke kampus. Memang kenapa gak telepon besok aja?"

"Aku mau cerita sekarang. Ya sudahlah, aku cerita sama orang lain aja" aku merasa tidak bisa berada di tempat dan waktu yang tepat dengannya. Aku tahu, ia malas menggangguku saat di keramaian macam ini. Ia juga hafal betul aku bukan seorang multitasker sejati. Tapi aku juga tidak rela kalau ia punya tempat bercerita dan berkeluh kesah selain aku.

"Siapa?"

"Ya siapa aja yang bisa aku hubungi. Kamu gak ada dalam daftar" katanya nyinyir.

"Ih, kok gitu banget sih" aku mencibir.

"Ah, padahal aku harap kamu bisa jadi temen ngobrol aku sekarang. Tapi kamu begitu; selalu mematahkan ekspektasiku. Terima kasih banyak ya" lagi-lagi ia bicara dengan majas ironi.

"..."

"Ya sudah, nikmati saja sisa malammu ya. Selamat malam, Lelakiku" katanya, lalu offline. Aku menghela napas. Aku baru saja akan mengetik, "Maaf ya" tapi aku rasa ia sudah terlalu banyak makan maafku.

Lantas, malam ini aku habisi dengan menyesapi sedikit rasa bersalah. Tapi ah, mungkin perasaannya sedang kacau. Aku tahu ia selalu butuh waktu untuk meredakannya terlebih dulu sebelum nantinya menceracau panjang lebar padaku. Tentang apapun itu.

Andai ada satu kali pesan yang bisa aku kirimkan padanya saat ini :

Selamat malam, Wanitaku. Maaf ya aku tidak bisa meminjamkanmu telingaku. Aku tahu apa yang sebagian ingin kamu katakan. Iya, aku juga rindu.



Insan Kamalia R,

Friday, August 23, 2013

Jangan Ceritakan Lagi Tentang Ayah

Jangan ceritakan lagi tentang Ayah.

Aku sudah cukup  muak mendengarnya. Lagi-lagi sendu, lagi-lagi rindu. Hatiku bisa membusuk kalau isinya cuma rindu dan sendu. Aku ingin sekali-sekali merasakan tawa lagi tanpa yang lalu-lalu diingat-ingat lagi. Aku ingin ikhlas untuk hidup tanpa ada lagi hitung-hitungan dengan Tuhan tentang kehilangan. Aku memang merasa kehilangan. Tapi Ayah bukan milikku. Ayah hanya satu dari berjuta titipan Tuhan padaku.

Ibu mungkin wanita yang kuat. Tapi tidak sekuat ketika ditinggal Ayah.

Aku lihat Ibu menangis.

Seumur hidup, aku jarang melihat Ibu menangis. Tapi yang kali ini saja, yang buat Ibu terlihat bak Juliet yang ditinggal Romeonya. Seperti Bella yang kehilangan Edward-nya. Macam roman picisan yang aku tonton di depan mata. Aku tidak pernah suka cerita cinta macam itu.

Tapi aku belajar sesuatu yang baru tentang cinta ; Mereka mencintai dalam diam, cemburu dalam diam.

Aku tak pernah lihat Ayah Ibu saling memuji satu sama lain. Tak pernah semanis seperti yang di film-film roman yang aku tonton. Apalagi Ayah seperti itu, tak pernah bisa serius. Ada saja lelucon darinya. Dan aku tumbuh dengan lingkungan cinta yang seperti itu. Tanpa pujian. Aku sempat bertanya-tanya kenapa Ayah Ibu tak pernah mengatakan hal-hal semacam "Aku sayang kamu" sekalipun pada anak-anaknya di suatu kesempatan. Tak aja juga lontaran perasaan bangga. Hingga aku ragu mana yang harus aku hargai dan mana yang tidak.

Setelah Ayah pergi, Ibu baru banyak cerita tentang Ayah. Sesempurna apa Ayah di mata Ibu. Aku tahu, Ibu sangat menyayangi Ayah. Bahkan sampai Ayah meregang nyawa dengan sakitnya pun Ibu tetap disisinya. Aku rasa, cinta macam itu yang bisa disebut sejati. Sampai Ibu bilang, Ibu tidak ingin bertemu sesiapa lagi selain Ayah di surga-Nya. Ibu ingin bertemu Ayah di sana.
Dan belakangan pun aku tahu, Ayah sering cemburu pada Ibu.

Aku tidak pernah berpikir untuk mencari lelaki macam Ayah sebelumnya. Tapi aku baru sadar, kalau lelaki yang aku sukai akan memiliki jejak-jejak Ayah di dirinya. Dan akan selalu begitu. Karena sedari dulu, aku hanya terpaku pada satu lelaki, yaitu Ayah.


Sekarang, hanya ada aku, Ibu dan dua orang adik perempuan di rumah. Tanpa Ayah.

Ada banyak hal datang setelah kepergian Ayah. Aku yakin Ayah tahu apa yang kami alami setelah Ayah pergi. Ada yang mengolok kami, ada yang tiba-tiba baik pada kami. Tapi ah, persetan tentang itu semua. Yang penting kami masih bisa hidup dengan uang halal, sisa jerih payah Ayah selama ini. Ibu pun mati-matian banting tulang untuk aku dan adik-adik. Iya, kami tahu...Ayah mewarisi seorang malaikat penolong untuk kami. Wanita itu yang sekarang mati-matian menghidupi dan membela kami saat ada yang mencoba mengganggu kami.

Tangan tak terlihat Tuhan pun turut serta di dalamnya. Aku merasa semakin terlindungi. Apa Ayah titipkan kami pada Tuhan sebelum Ayah pergi? Mungkin. Tolong sampaikan saja rasa terima kasihku pada-Nya, karena sudah menjadikanmu seorang ayah bagiku dan Ibu sebagai wanita yang aku panggil 'Ibu' untukku. Dan tolong sampaikan juga pada Tuhan, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Dari sakit hati, luka-luka, tawa hingga suka cita yang ada. Itu sebagian bahagiaku dariNya. Apapun itu. Karena aku yakin, Tuhan ingin mendewasakanku untuk menjadi seorang wanita yang kuat seperti Ibu, bahkan lebih baik darinya lewat keadaan yang seringkali kami persalahkan.

Sudah. Jangan ceritakan lagi tentang Ayah.

Kepergian Ayah memang bukan akhir dari hidupku, hidup kami. Ini awal yang baru untukku. Nanti aku akan tumbuh jadi wanita yang tak lagi merajuk. Aku akan jadi wanita yang bisa mandiri tanpa Ayah. Iya, hidupku akan membaik seiring dengan mendewasanya aku oleh waktu.

Tapi asal Ayah tahu, semuanya tidak akan lagi sama. Baik aku, Ayah atau lingkungan di sekitar kita.

Iya, aku cukupkan.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti ada lagi sendu dan rindu-rindu lainnya dariku untuk Ayah.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti hatiku yang membusuk karena membiarkan lagi Ayah hidup, dipikiranku.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti aku makin rindu. Aku ingin bertemu.



Insan Kamalia R.
Terima kasih karena sudah menyisipkan namamu di akhir namaku. Biar aku bawa, sampai nanti, sampai mati.

Be The Light


I listen to this song lately. It always be my bestfriend when I'm writing. It sounds like; 

"Hey, you still have a God to wish for. So, why should you feel so sad like you have nothing left? Actually, something worse sometimes happen in our life path but It's not a reason to stop or to say it's our final. No, not yet. We always have choices, we can decide how to live in tomorrow."

Taka’s intro to Be The Light from Jinsei X Kimi



Just the thought of another day
How did we end up this way
What did we do wrong, God?

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

Always weighing on my shoulder
A time like no other
It all changed on that day
Sadness and so much pain

You can touch the sorrow here
I don’t know what to blame
I just watch and watch again

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

What did it leave behind?
What did it take from us and wash away?
It may be long
But with our hearts start a new
And keep it up and not give up
With our heads held high

You have seen hell and made it back again
How to forget? We can’t forget
The lives that were lost along the way
And then you realize that wherever you go
There you are
Time won’t stop
So we keep moving on

Yesterday’s night turns to light
Tomorrow’s night returns to light
Be the light

Always weighing on my shoulder
A time like no other
It all changed on that day
Sadness and so much pain

Anyone can close their eyes
Pretend that nothing is wrong
Open your eyes
And look for light

What did it leave behind?
What did it take from us and wash away?
It may be long
But with our hearts start a new
And keep it up and not give up
With our heads held high

You have seen hell and made it back again
How to forget? We can’t forget
The lives that were lost along the way
And then you realize that wherever you go
There you are
Time won’t stop
So we keep moving on

Yesterday’s night turns to light
Tomorrow’s night returns to light
Be the light

Some days just pass by and
Some days are unforgettable
We can’t choose the reason why
But we can choose what to do from the day after
So with that hope, with that determination
Let’s make tomorrow a brighter and better day


It gives such a spirit to move on. Thanks for the writer of this song. I'll let Valerie listen to this song too. Hope she like it.


Insan Kamalia R.
Wonder if Novus has such a song like this.

Dialog Malam

Aku berdialog dengan malam atas sepi-sepi yang selama ini aku alami. Mungkin kira-kira begini :

"Haruskah aku salahkan diri sendiri hingga sejauh ini?"

"Untuk apa?" ia menyesap kopinya agar tetap terjaga. Ia tahu, pagi belum saatnya datang.

"Karena selalu merasa sepi." aku memainkan pasir di bawah kakiku.

"Lantas kamu hendak menepi?" aku mendengarnya menghela nafas, hingga awan-awan yang menutupi bulannya berarak menjauh.

"Mungkin. Atau terlebih dulu pergi lalu kembali."

"Buang waktu kalau begitu kamu selama ini."

"Kenapa? Salah aku mencari tempat berpulang yang tepat?" aku sedikit meninggikan nadaku.

"Apakah 'tepat' yang kamu maksud itu untuk kamu sendiri? Wanita terkadang bisa bertindak seperti ia yang selalu kalah, nyatanya ia yang selalu memenangkan diri atas lelaki." lalu aku dengar ia tertawa sinis. Aku dengar malam bisa begitu sinis padaku. Apa ia  seorang lelaki?

"Nyatanya memang aku yang selalu diam. Mendengarkan lebih banyak. Daripada hanya sekedar berucap sepatah dua patah."

"Mari kita tilik ke dalam hatimu, sudahkah kamu mengikhlaskan diri?" ia menghela nafas lagi, hingga lagi-lagi awan berarak menjauhi bulannya. Aku merasa lebih terang sekarang.

"Ikhlas untuk apa maksudmu?"

"Ikhlas untuk benar-benar membagi diri. Sudahkah? Pernahkah kamu merunut satu-satu darinya lagi? Apa-apa yang sudah ia bagi..."

"..."

"Aku tahu kamu menangis paling banyak. Menyendiri paling lama dan menyakiti diri paling sering. Tapi kamu ingat kan frase, 'Apa-apa yang datangnya dari hati, pasti bisa menyentuh hati yang lainnya'. Sudahkah kamu membebaskan diri untuk mencintai lebih panjang lagi? Lebih dalam lagi?"

"Kamu tahu, nampaknya aku masih butuh waktu. Untuk diriku sendiri. Untuk mengenali yang mana yang harus aku beri atau aku simpan sendiri."

"Dari awal, kamu memang kurang dewasa dalam menyikapi hal ini."

"Tak berhakkah meminta seorang pendamping yang memahami?"

"Kamu sendiri belum memahami dirimu sendiri, Sayang. Sampai-sampai kamu belum tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Sudahlah...pikiranmu itu terlalu berakar dan merambat ke mana-mana. Bebaskan...bebaskan dirimu sendiri dalam mencintai. Di sakiti dalam hal ini adalah hal yang wajar. Yang penting kamu sudah mencintai sepenuhi hati, tanpa takut tersakiti.

"...kamu tahu, aku tahu. Kita tahu hal itu." kepalaku tertunduk dalam.

"Aku paham betul. Meyakini diri untuk mempercayai orang itu memang tidak mudah. Tapi tidak ada yang mengatakan itu tidak bisa dilakukan. Dirimu itu lebih kuat dari yang kamu pikir. Bahkan aku tidak pernah berpikir kalau kamu bisa menjalaninya hingga sejauh ini. Dengan siapapun itu"

"Sudah layakkah aku untuk berbagi?"

"Selama kamu punya cinta, kenapa tidak?" ia mengacak-acak rambutku.

"Jadi aku harus meyakini diriku terlebih dulu, lalu mencintai, begitu?"

"Seperti itu. Dan....jangan pernah takut untuk berbagi. Kamu tidak akan rugi sama sekali. Tuhan itu Maha Melihat. Ia tahu apa-apa yang sepadan bagi makhlukNya. Ia pun seorang pecinta ulung yang selalu mengasihi meski seringkali dicacimaki oleh makhluk yang Ia sayangi. Lantas kenapa kamu tak mampu?"

"Aku bukan Tuhan. Sabar berbatas"

"Bukan perkara sabar. Kamu itu diciptakan dari secuil Dirinya. Di dalam sana ada kasih Illahi yang ia turunkan lewatmu untuk dunia disekitarmu. Kenapa tak kamu gunakan itu?"

"..." aku tertawa miris.

"Hm....manusia memang tempatnya lupa. Aku tahu itu...ehm, kita tahu itu"

"Iya...kamu benar. Aku yang masih takut mencintai. Aku yang masih takut memberi sepenuh diri. Bukan karena takut merugi, melainkan takut tersakiti."

"Akhirnya kamu tahu masalahmu di mana"

"Jadi..." aku mendongak menatapnya.

"Mulailah mencintai, sepenuh hati. Sepenuh diri, atas dirimu sendiri terlebih dulu. Lalu kamu beri orang lain sama banyaknya dengan yang kamu beri pada dirimu. Mencintai tak pernah sesulit ini saat kamu mengikhlaskan diri. Semesta tahu apa yang kamu cari. Laki-laki itu ada, ia hidup di belahan dunia mana...hanya belum menemukanmu. Mungkin" malam mengakhirinya dengan senyum yang tersungging lewat bulannya.

"Dan aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Terjaga hingga pagi datang membutakan mata dengan mataharinya."

"Kamu, wanita malam kesayanganku....lekas tidur!" malam mengusirku dari ujung jemari waktunya," Jangan lupa..."

"Apa?"

"Aku sayang kamu." katanya lagi, kali ini dengan terang bulan yang memancar lembut menyunggingkan senyum yang lagi-lagi ingin aku kulum bulat-bulat.

"Andai saja kamu lelakiku..."

"Jangan. Nanti kita tidak bisa bersama seperti ini lagi. Nanti siapa yang menemaniku menunggu pagi?" tanyanya manja seperti takut kehilangan.

"Aku akan selalu bersamamu. Dalam lelap ataupun terjaga. Aku sayang kamu." aku balas tersenyum.


Dan aku berakhir di sini sekarang. Di atas ranjang. Sebenarnya, aku masih belum ingin berpisah. Aku masih ingin merasakan sendu pilu. Tapi malam urung membiarkanku. Tak apa. Aku tahu, ia ingin mengecupku dalam lelap seperti kemarin-kemarin. Kalau ada hujan saat ini, mungkin aku akan berbisik padanya; "Aku takut ada cinta segitiga antara kita, aku, kamu dan malam yang selalu merajam. Aku cinta kalian. Tapi kalian bukan milikku seorang."

Selamat, Malam. Kamu punya sebagian dari cintaku. Dan akan selalu begitu.