Cerita
tentang Atap Bocor, Tangga dan Kehidupan di Dalamnya
Siang ini,
tiba-tiba aja ada rembesan air di tangga menuju lantai dua, padahal ga ada
sesuatu yang tumpah di sana. Ibu saya langsung ngecek atap lantai dua. Kebetulan
memang sebelumnya ada masalah dengan pipa air dari toren jadi ibu langsung
ngecek atap yang di atasnya ada toren. Masalah sebelumnya adalah pipanya
kesumbat sampah-sampah gak jelas (padahal torennya di atas atap lantai dua dan
itu tinggi banget, jadi kayaknya ga mungkin ada orang yang iseng-iseng
lempar-lempar sampah ke sana). Dan bener aja, ada rembesan di bagian atap yang
di atasnya ada toren.
In case
Ayah saya sudah nggak ada, jadi nggak ada laki-laki di rumah yang bisa ngecek ke
atap. Kebetulan tukang-tukang kepercayaan Ibu lagi pada pulang kampung jadi
nggak ada yang bisa dimintain tolong buat naik ke atap. Mau nggak mau salah
satu dari kami (re : ibu, saya dan dua adik saya) harus ada yang naik ke atap
untuk ngecek pipa toren. Spekulasi saya nggak mungkin Ibu saya yang naik,
karena beliau fobia ketinggian dan tempat yang sempit. Jadi yang naik antara
saya dan dua adik saya. Waktu percobaan pertama saya masih di lantai satu dan
adik saya yang naik. Karena adik saya yang kedua, Tata, yang badannya paling
kecil takut untuk naik ke atas. Akhirnya yang naik adik saya yang pertama, Fiki,
dia sudah hampir sampai di ujung atas tangga waktu saya sampai di TKP (re :
kamar Tata tempat akses menuju atap berada). Dia lagi ngegeser papan yang nutupin akses
menuju atap di internit kamar. Yang saya kagetin adalah tangga yang dipakai itu
tangga lipat which is fragile di bagian lipatannya itu. Saya yang lihat dia di
ujung tangga ikut deg-degan gegara di bagian lipatan tangganya itu
goyang-goyang tiap kali dia bergerak. Kan serem juga kalau lagi di ujung tangga
atas terus tiba-tiba engsel lipatan tangganya itu nggak kuat nahan beratnya. Sakitnya
nggak nanggung kalau jatuh. Hiiii~
Ibu saya
terus ngasih semangat ke adik saya yang antara takut dan perasaan
mau-gimana-lagi-udah-terlanjur-di atas untuk naik ke atas internit. Masalahnya
adalah untuk menuju atap tempat toren berada kita harus lewat celah kecil yang
undakannya rada tinggi di atas internit dan untuk bisa dengan mantap melewati
celah itu kita harus berdiri di atas kayu penyanggah internit yang rapuh. Di
atas internit cuma ada satu batang kayu tebel untuk pegangan kita dan celah
kecil itu sendiri yang dindingnya dari batu bata. Kebayang dong deg-degannya
kalau-kalau salah injek dan bertumpu pada tempat yang salah. Fiki merasa nggak
sanggup untuk mencapai batang kayu tebel itu dan memilih untuk turun. Akhirnya
giliran saya yang nyoba untuk naik. Adrenalin saya mulai terpacu waktu itu.
Saya naik satu anak tangga dan entah kenapa waktu kaki satunya hendak bertumpu
di anak tangga kedua rasanya berat banget. Saya sempet membatu beberapa detik.
Saya ngeliat engsel lipatan si tangga goyang-goyang. Aish~ Imajinasi yang
nggak-nggak mulai hadir sekelibat di kepala saya. Gimana kalau nanti pas
diinjek itu engsel terus patah? Nanti saya jatoh. Nanti jatohnya saya banget. Gimana kalau patah tulang? Well, rada lebay memang
imajinasinya. Ibu saya sama Fiki udah semangatin tapi saya merasa nggak mampu.
Jadi saya turun lagi. (Payah! Baru satu anak tangga tapi udah takut -_-) Saya
takut saya keberatan dan engselnya jadi patah makanya saya turun lagi.
Fiki akhirnya
mencoba naik untuk kedua kalinya. Dia meyakinkan saya kalau dia lebih berat
dari saya dan nggak ada yang terjadi dengan tangganya. Dia juga meyakinkan saya
kalau awalnya dia mengalami ketakutan yang sama dengan saya tapi akhirnya dia
bisa memberanikan diri untuk sampai ujung atas tangga. Yang masih dia takutkan
adalah dia nggak mampu menggapai kayu dan berdiri di atas penyangga internitnya
itu. Dan untuk kedua kalinya juga dia turun dan nyuruh saya lagi yang nyoba.
Ibu saya pun kode-kode biar saya yang naik dan bilang, “Nanti gimana kalau Fiki
udah berangkat ke Perancis? Siapa lagi yang bisa bantuin Mama kalau bukan kamu?”
Di keluarga
saya memang Fiki yang paling bisa diandalkan dalam mengurus rumah. Apik banget
orangnya. Jadi wajar kalau Ibu
saya wondering apa jadinya nanti pas
Fiki sudah berangkat ke Perancis karena yang sering beliau minta tolongin
adalah adik saya yang satu ini. (nb : Fiki sudah keterima di univ di
Perancis dan sebulan lagi berangkat).
”Kamu harus bisa
diandalkan sama Mama, Kak, pas ngga ada aku.” JEGER! Sebagai anak sulung, tanggung jawab dan
kewajiban membantu ibu lebih besar dari adik-adik saya. Saya sadar itu.
Akhirnya dengan keinginan dan tekad menjadi anak yang sholeha dan bisa berguna
untuk keluarga saya memberanikan diri untuk mencoba sekali lagi.
Hap. Hap.
Saya naik dua anak tangga. Dan waktu kaki saya hendak bertumpu di anak tangga
ketiga, engsel lipatan tangga goyang-goyang lagi. Saya membatu lagi beberapa
detik. Nafas saya tercekat. Tiba-tiba ibu saya dorong-dorong dari belakang yang
membuat engselnya makin bergoyang-goyang dan makin membuat saya panik. Ngerti
sih saya maksud Ibu saya, cuma kan nggak harus di dorong-dorong juga kali, Bu~ -_-“
Saya
mencoba rileks sebentar. Saya coba untuk bertumpu tapi masih kaku kaki saya.
“Kamu nggak
usah takut. Goal kamu sampe atas tangga sana. Kamu gak usah pikirin engselnya”
kata Fiki dari balik punggung saya.
”Iya. Kamu
nggak usah liat ke bawah. Kamu lihat ujung tangga aja. Yang penting kamu sampe
atas sana” tambah Ibu.
Tetiba saya
merasa mendapat kekuatan untuk saya menguatkan kaki saya naik satu demi satu
anak tangga. Saya fokus ke ujung atas tangga dan yang saya inget cuma kata-kata
mereka tadi. Goal saya adalah sampai
ujung. Saya ulang-ulang kata-kata itu di kepala saya. Dan akhirnya tangan
saya berhasil menyentuh internit. Di bawah sana Fiki dan Ibu bersorak. Lalu
memberikan instruksi
selanjutnya kepada saya untuk naik ke atas internit.
Saya geser
papan yang nutupin celah di internit itu. Pelan-pelan. Saya lihat batang kayu
yang Ibu saya maksud. Susah payah tangan saya narik beban tubuh saya dan
akhirnya saya bisa duduk di kayu penyanggah internit. Tapi tiba-tiba Ibu
histeris dari bawah.
“Kakak!
Jangan didudukin! Nanti jebol!” Deg!
Saya
sebenernya antara takut sama mau ketawa karena bahkan saya nggak berani buat
natap ibu saya di bawah pas Ibu histeris. Sempet mau nangis karena takut untuk
berdiri di atas internit waktu inget kata-kata ibu barusan dan lagi-lagi
vision-vision aneh kembali hadir di kepala saya. Tapi saya sudah terlanjur di
atas. Kepikiran minta tolong ibu sama Fiki untuk ngegeser kasur buat tempat
pendaratan darurat saya, biar empuk, tapi saya enyahkan pikiran itu karena
tujuan saya selanjutnya di atas sini belum terpenuhi. Susah payah saya berdiri
dengan pegangan di satu batang kayu tebel itu. Tangan saya yang lain bertumpu di celah kecil yang
ibu maksud. Dan….HAP! Akhirnya saya berhasil berdiri di kayu-kayu penyangga
internit yang rapuh namun masih cukup kuat untuk menopang beban saya meski
beberapa kali saya ngerasa ada bunyi KREK di kaki saya. Rasanya saya pengen
bisa melayang detik itu. Saya nggak tau gimana mendeskripsikan perasaan di mana
saya butuh untuk berpijak tapi saya nggak yakin dengan apa yang saya pijak,
tapi saya harus berpijak. Gimana dong ? :( Jadi saya menguatkan pegangan saya pada
dinding bata (re : celah kecil) dan batang kayu tebelnya. Dan bener aja, celah
kecil yang ibu maksud itu beneran kecil. Celahnya itu bentuk persegi, ukurannya
sekitar 1x1 meter tapi celahnya kebagi dua dengan bentuk segitiga (persegi dibagi
dua dengan garis diagonal). Celah yang satu untuk ke internit ruangan sebelah
kamar adik saya yang kebetulan kamar mandi dan yang satunya baru celah menuju
keluar yaitu ke atap. Celahnya ditutupi terpal plastik, mungkin untuk meminimalisir
air hujan yang tampias ke ruang kosong antara internit dan genting tempat saya
berdiri saat itu.
Ibu menginstruksikan
saya untuk lewat ke celah itu. Saya buka terpal lalu ngecek keadaan di luar.
Dan bener aja, udah ada genangan air di sekitar toren. Ini sudah bisa
dipastikan kalau ada sesuatu yang menyumbat pipanya. Tapi saya nggak bisa lihat
pipa yang tersumbat itu karena terhalang dinding. Jadi misi selanjutnya adalah
keluar lewat celah kecil itu dan ngecek pipa yang dimaksud. Tapi lagi-lagi
timbul masalah. Celah kecil itu tempatnya rada tinggi, sekitar seperut saya.
Jadi untuk bisa lompat keluar saya harus bener-bener berpijak pada kayu
penyangga internit yang nggak seberapa lebarnya (mungkin sekitar ukuran pipa
air yang diameternya 3-5cm) sedangkan daritadi saya udah ngerasaain ada bagian
yang rapuh dari kayu di pijakan kaki saya. Ibu saya di bawah meyakinkan saya
untuk lompat keluar tapi Fiki merasa itu nggak memungkinkan berdasarkan
deskripsi keadaan saya di atas. Saya nyoba untuk memperhitungkan langkah yang
saya untuk lewat celah kecil itu. Pertama saya harus naik ke dinding bata yang
jadi pegangan saya lalu keluar lewat celah kecil itu. Ibu bilang gentingnya
kuat untuk saya injek-injek tapi ngeliat keadaan dibalik genting, saya sanksi.
Saya gabisa keluar karena pijakan dinding bata itu terlalu tinggi untuk saya
menaikkan satu kaki saya ke sana dan bertumpu hanya dengan satu kaki di kayu
penyangga internit yang gak seberapa lebarnya. Fiki di bawah mencoba meyakinkan
ibu saya kalau itu adalah suatu misi yang sulit untuk diselesaikan oleh saya.
Akhirnya Ibu saya nyuruh saya turun. Dan lagi-lagi dengan susah payah, saya
mencoba kembali menjejakkan kaki saya di tangga-yang-goyang-engsel-lipatannya
itu. Rasanya saat itu saya ingin meniru adegan Rambo yang bergelantung di atap
dan lompat ke tanah dengan anggunnya. Wait. Tapi saya sadar saya bukan Rambo.
Salah-salah nanti kaki bisa kecengklak. Untung-untung kalau nggak patah. Jadi saya
urungkan niat untuk bergelantung di internit dan lompat dari sana. Menjejakkan
kaki lagi di tangga-yang-goyang-engsel-lipatannya itu adalah pilihan yang mau
nggak mau saya ambil.
Hap. Satu anak
tangga saya pijak. Tangan saya masih pegangan kuat-kuat ke batang kayu dan
dinding bata. Pelan-pelan saya pijak tangga kedua di bawahnya dan pegangan ke
kayu penyangga internit. Satu tangga lagi saya pijak. Sampai akhirnya saya
berhasil menjejakkan kaki di lantai kamar. Rasanya saat itu ada backsound orchestra
yang mengiringi keberhasilan saya kembali menjejakkan kaki di lantai kamar
dengan selamat. Sendi saya rasanya lemas. Kaki saya rada kaku. Tapi saya
seneng.
Ibu
memutuskan untuk meminta bantuan kenalan tukang lainnya besok.
Saya pun melipir
ke lantai satu sambil masih nggak percaya saya selamet.
Di sini
saya dikasih pencerahan. Saya merasa saya lebih hebat dari yang saya pikir.
Sebelumnya saya meng-underestimate diri saya sendiri untuk bisa mampu naik ke
atas sana. Pikiran saya dipenuhi dengan ketakutan. Takut tangganya patah karena
nggak kuat menopang beban saya. Takut saya jatuh. Takut saya patah tulang dan
takut ketinggian. Tapi nyatanya saya bisa sampai ujung atas tangga, bahkan saya
sampai bisa berdiri di atas penyangga internit meski kaki saya gemetaran di
atas sana selama beberapa menit. Setidaknya saya sudah mampu mengalahkan rasa
takut saya sendiri. Apalagi saya bisa mengganti ketakutan saya itu dengan
sugesti tujuan akhir saya yaitu ujung atas tangga. Saya merasa harus mendorong
batasan saya demi bantu Ibu saya.
Saya
merenung di sana. Mungkin Allah mau
ngasih tau saya, kalau dari sekarang saya harus belajar jadi kakak yang
bertanggung jawab, yang bisa diandalkan ibunya. Saya harus berani dan belajar
mengatasi rasa takut saya itu. Allah mau ngasih tau saya untuk fokus terhadap
tujuan hidup saya meski saya tau ada hal-hal buruk yang bakal terjadi di perjalanan
saya nanti. Saya harus berhasil, karena saya nggak sendiri. Saya punya ibu dan
adik-adik saya untuk dukung saya terus dari belakang. Kayak yang baru aja saya
lakuin. Dan Allah juga mau ngingetin saya untuk nggak underestimate diri saya
sendiri, nggak boleh minder. Karena kalau saya mau dan punya tekad yang kuat, saya pasti bisa :’D
Kejadian
siang ini bakalan jadi pengingat saya kalau Allah baik. Allah ngajarin beberapa
hal penting yang sering saya lupa.
Di
detik-detik berakhirnya bulan suci ini, saya diingatkan Allah. Semoga bisa
membuatt saya jadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Aamiin.
Semoga kamu juga
belajar dari apa yang saya dapat siang ini :)
Fokus.
Tekad yang kuat dan ikhtiar. InsyaaAllah berhasil :D
2015
Insan Kamalia
No comments:
Post a Comment