Aku tidak pernah mengira kalau rindu bisa sememilukan ini.
Ini catatan ketiga ratus delapan puluh enam yang aku tulis
untukmu. Semoga perasaan yang aku tuliskan ini bisa sampai padamu.
Mungkin untuk kesekian kalinya aku akan menanyakan kabarmu.
Apa kabar? Apa rindu sudah menjalar di nadimu? Kalau aku sudah. Jauh sebelum
aku menuliskan catatan ketiga ratus delapan puluh enam ini untukmu. Aku tidak
sedang ingin mengeluh tentang hal-hal yang aku lewati seperti hari-hari
kemarin. Hari ini aku ingin cerita bagaimana aku merasa bahagia sekaligus
kehilangan akan seseorang yang jauh di belahan bumi lainnya.
Malam ini hujan, biasanya aku akan duduk di dekat jendela
menatapi bulir-bulir hujan yang mengalir di jendela. Lantas akan ada seseorang
yang mendekap leherku, membagi kehangatannya denganku. Kami tak perlu banyak
kata untuk menikmati hujan. Kami hanya perlu sebuah genggaman tangan atau
sebuah pelukan.
Di pagi hari, biasanya ada yang protes karena aku mandi
terlalu lama atau minta dibikinkan segelas kopi ekstra untuk mengawali harinya.
Kadang minta tambah nasi goreng untuk sarapannya. Ia selalu keliru memadankan
warna kemeja dengan dasinya, lantas aku akan menyuruhnya memilih salah satu
yang ingin ia pakai dan aku yang cari padanannya. Setelah ia mendapatkan saran,
biasanya aku dihadiahinya sebuah kecupan. Dan aku merasa jatuh cinta untuk
kesekian kalinya.
Kalau aku sedang sedih, ia pasti langsung mengambil gitarnya
di sudut kamar dan memainkan sebuah lagu untukku. Suaranya memang tidak terlalu
bagus, tapi aku menghargai upayanya untuk menghilangkan sedikit bebanku.
Sesekali ia menceritakan sebuah cerita lucu yang ternyata tidak lucu sama
sekali untukku. Tapi aku tertawa, menertawakan kegagalannya melucu namun
berhasil menghiburku. Dan untuk kesekian kalinya aku jatuh cinta lagi padanya.
Ini hari ketiga ratus delapan puluh enam ia tidak ada
disisiku. Ia sedang mengejar cita-citanya di belahan bumi lain. Aku turut
bahagia untuknya. Karena setelah sekian lama, ada kebahagiaan masa kecilnya
yang bisa ia wujudkan di hidupnya. Aku bahagia karena semua yang ia lakukan
selama tidak sia-sia, ada hasilnya. Meski aku tidak bisa menemaninya dan
berbagi kebahagiaan di tempat yang sama dengannya saat ini, tapi cukup dengan
melihatnya bahagia aku pun merasakan hal yang sama.
Kami berdua percaya,
cita-cita itu utama. Meski sudah berumahtangga tapi aku selalu ingin melihatnya
melakukan hal-hal yang ia cintai sepenuh hati dan mengejar cita-cita yang
sempat ia kubur dalam-dalam di hati. Ia sempat mematahkan mimpinya. Tapi aku
meyakinkannya bahwa tidak ada salahnya dengan memiliki cita-cita. Meski sudah
berumahtangga, masing-masing individu punya hak untuk memiliki cita-cita dan
mewujudkannya. Aku pun yakin begitu, makanya aku meneruskan studiku ke jenjang
yang lebih tinggi lagi. Aku menanamkan pada diriku sendiri untuk menjadi wanita
yang cerdas dan berpendidikan bukan semata karena gengsi. Kelak, aku mau jadi
seorang ibu yang bisa mendidik anaknya dengan baik. Makanya aku harus menimba
ilmu lebih banyak lagi. Dan ia pun begitu, aku mau ia meneruskan cita-citanya
yang sempat ia tundanya. Supaya kelak ada yang bisa ia banggakan ketika jadi
seorang ayah.
Tapi di luar itu semua aku pun merasa kehilangan. Karena
kini tak ada yang menemaniku menikmati hujan dan memberikanku sebuah pelukan.
Tidak ada lagi yang protes kalau aku mandi terlalu lama. Tidak ada yang minta
segelas kopi ekstra ataupun tambahan nasi goreng untuk sarapannya. Kalau aku
sedih, tidak ada yang memainkan sebuah lagu dengan gitarnya untukku. Padahal,
belakangan aku sedih karena ketidakhadirannya di setiap momen yang biasa kami
lakukan bersama. Meski begitu, aku masih jatuh cinta berkali-kali padanya.
Aku boleh terus terang kan? Aku rindu laki-laki itu melebihi
yang bisa ia bayangkan. Aku bisa terlihat biasa saja di depannya ketika
kami melakukan video call di sela-sela kesibukan kami. Mungkin sesekali bilang
rindu, tapi sudah....setelah itu aku menjalani hidupku seperti biasanya, tanpa
dirinya. Meski begitu, nyatanya rindu meradang di hati. Aku tidak bisa
pura-pura kalau rindu tak ada. Jarak sejauh ribuan kilometer dan waktu selama
tiga ratus delapan puluh enam hari yang memisahkan ini ternyata bisa terasa
memilukan. Aku butuh pelukan. Tapi aku tidak bisa memintanya. Aku bahagia
sekaligus merasa kehilangan di waktu yang bersamaan. Iya, aku rindu pada lelaki
itu. Tak usah kamu tanya siapa. Kamu yang paling tahu lelaki itu. Iya, siapa
lagi lelaki yang bisa buat aku rindu sampai setengah mati begitu kalau bukan
kamu? Jangan tertawa. Ini menyedihkan.
Aku pikir aku bisa berdamai dengan jarak yang membagi kita
berdua—aku dan kamu. Awalnya iya, rasanya aku yang paling berhasil menjalani
ini semua. Tapi aku terlalu angkuh dengan waktu yang aku lupakan. Waktu
menghukumku dengan rindu yang makin terasa memilukan karena tak belum juga
diamini dengan sebuah pertemuan.
Aku ingin memintamu sesekali pulang. Duduk
di sampingku lagi untuk menikmati hujan dan beri aku sebuah pelukan. Kamu bisa
minta berapapun gelas ekstra untuk kopi pagimu atau tambahan nasi goreng untuk
sarapanmu. Ketuk pintu kamar mandi dan protes aku karena aku mandi terlalu
lama. Mainkan sebuah lagu lagi untukku. Semua hal-hal kecil itu...cukup dengan
itu semua aku sudah bisa jatuh cinta padamu lagi dan lagi. Dan sekarang, aku
sedang menabung rindu untuk aku habiskan nanti denganmu ketika kamu pulang.
Aku akan mendewasa bersama jarak dan waktu, untukmu. Tenang
saja, aku pun tidak berhenti belajar untuk cita-citaku dan untuk menjadi
seorang ibu sekaligus pendamping hidup yang baik untukmu.
Mungkin aku harus cukupkan catatan ketiga ratus delapan
puluh enamku ini. Karena kalau aku teruskan, kamar ini bisa banjir air mata.
Jadi, apa kabarmu? Apa rindu sudah menjalar di nadimu? Aku
sudah. Jauh sebelum aku menuliskan catatan ketiga ratus delapan puluh enam ini
untukmu. Tapi aku bersyukur masih memilikimu sampai saat ini, untuk berbagi
cinta dan kebahagiaan lainnya. Aku rindu kamu. Aku harap kamu pun begitu.
Salam Sayang,
Perempuanmu
Inspired Song by
RAN – Dekat di Hati
Requested by
Siti Zubaidah
No comments:
Post a Comment