Tiba-tiba panggilan private masuk ke
MC-ku. Itu Neo.
"Valerie, dimana kau sekarang?”
"Di bilikku. Kenapa?"
"Aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan sebuah quest"
"Aku? Kau serius, Neo?"
"Ayolah, Vale. Kau pasti akan dapat bagiannya nanti. Kita harus segera
menyelesaikannya."
"Aish...memang quest apa yang
kau dapat?”
"Kau segera datang ke portal, aku, Viren dan Homoco menunggu. Cepat,
Valerie. Kita sedang dikejar deadline”
Aku segera bergegas ke tempat yang
Neo maksud. Aku melihat ia di sana bersama teman-teman seangkatannya; Viren dan
Homoco.
“Memang quest seperti apa yang kau
ambil?”
“Lima puluh hati Red Haired Splinter,
Vale. Deadline-nya tiga hari lagi” tukas Viren. Aku terbelalak melihat ke arah
Viren lalu melemparkan pandangan ke Neo. Neo bodoh mengajakku pergi ke sarang
Red Haired Splinter.
“Oh sial. Neo, apa kau benar-benar yakin
aku yang akan kau ajak? Bahkan aku belum mampu mengalahkan seekor Assasin
Builder A”
“Hm…aku rasa aku tidak punya pilihan
lain. Kalau aku punya pilihan lain yang lebih baik darimu, jelas aku akan
langsung mencoret namamu dari daftar pilihan”
“Ew…itu terdengar jahat sekali, Neo”
Homoco menimpali. Tapi tatapannya mengejek padaku. Aku memicingkan mata ke
arahnya.
“Heh, apa maksudmu?” aku menunjuk
wajah Neo.
“Sudah…sudah…yang jelas saat ini yang
kita punya hanya Valerie, Neo. Kita butuh disena, dan sebaiknya kita cepat.
Tiga hari lagi dan perjalanan menuju daratan Outcast itu butuh waktu minimal
tiga hari lamanya, ingat itu” Viren menepuk pundak Neo,” Valerie, nanti di sana
jangan pergi jauh-jauh dari kami bertiga atau kau mati muda” aku sedikit
bergidik mendengar kata-kata terakhir Viren. Itu bukan pilihan yang bagus sama
sekali.
Kami pun segera pergi menuju tempat
yang dimaksud di mana sarang Red Haired Splinter berada.
Ini perjalanan pertamaku melakukan
sebuah quest di daerah yang jauh. Jujur aku belum pernah menjejakkan kakiku di
tanah Outcast yang—katanya—gersang dan berdebu itu. Untuk bisa sampai ke
Outcast, kami harus melewati banyak tempat yang rawan ditemukan oleh bangsa
lain, karena itu bukan daerah kekuasaan bangsa Cora. Dari Padang Sette, Volcanic
Couldron, Hutan Buas dan berakhir di daratan Outcast. Ketika berada di Padang
Sette, kami bertemu dengan pedagang yang hendak pergi ke Hutan Buas. Ia meminta
perlindungan dari kami dan dengan imbalannya kami bisa ikut menumpang di
keretanyahingga Hutan Buas. Setidaknya ini bisa menghemat waktu kami menuju
daratan Outcast.Meski begitu, ini tetap tidak mudah bagiku yang notabene wanita
satu-satunya di kelompok ini. Dan bagian mandi serta buang air adalah yang
tersulit karena aku harus benar-benar memastikan bahwa aku aman dari
penglihatan para lelaki itu.
Tempat-tempat itu bukan tempat yang
familiar dan jauh lebih buruk dari bayanganku sebelumnya. Aku jadi rindu Spire.
Lighthalzen. Aku rindu doom, Ibu dan adik-adikku.
“Hidupmu bukan sebuah permainan dimana kau bisa hidup kembali di tempat
kau melakukan binding location terakhirmu. Perang bukanlah sebuah permainan.
Ini tentang hidup dan mati. Kalau kau kurang cermat dengan lingkunganmu,
bersiaplah untuk mati detik itu juga di tangan orang lain. Ingat, kau sudah
memilih bagaimana cara kau mati. Sebelum kau mau untuk itu, pertahankan hidupmu
sebisamu. Sekuat tenagamu. Karena Alliance belum tentu mengingat orang-orang
yang sudah mengorbankan nyawanya demi mereka. Kau bisa saja berjuang bersama
Alliance—atas nama Alliance—tapi kau akan mati sendiri. Jadi tolong jangan
main-main dengan hidupmu”
Tiba-tiba saja aku teringat kata-kata
Reginsha—adik pertamaku—di surat pertamanya untukku. Ya, tempat-tempat yang aku
lewati selama melakukan perjalanan ini memang jauh dari Spire. Jauh lebih
mengerikan dan lebih mencekam. Kemungkinan untuk ditangkap di tengah jalan
selalu ada. Belum lagi ancaman akan para monster yang berkeliaran.
Tepat di hari ketiga, kami sudah
menjejaki dataran Outcast. Tapi waktu yang kami miliki sangatlah singkat karena
kami harus sudah berada di Markas sebelum besok pagi untuk menyerahkan apa yang
Muni minta. Kalau apa yang ia inginkan belum ada sampai besok, bisa-bisa
bayarannya pun turun sangat jauh dari apa yang dijanjikan. Dini hari kami sudah
menyusuri daratan Outcast, menuju ke tempat di mana RHS berada.
“Neo, kau saja yang melakukan debuff.
Kami akan menunggumu di sini” kata Viren sembari mencari RHS terdekat yang bisa
di-debuff.
“Kau serius, satu lawan empat? Apa
tidak akan makan waktu? Sebaiknya satu ekor dua orang, itu akan lebih menghemat
waktu”
“Aku tidak begitu mahir dalam
melakukan debuff” kata Viren,”Aku juga” tambah Homoco. Lalu tatapan terakhir
mereka mengarah ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum lebar,”Maaf..” hanya itu
yang keluar dari mulutku. Mereka bertiga menghela nafas panjang.
“Sebaiknya salah satu dari kalian ada
yang harus mulai belajar melakukan debuff dengan baik. Valerie, kau ikut aku. Ingat, jangan
jauh-jauh dariku” kata Neo. Kami pun berpencar mencari RHS terdekat yang bisa
di-debuff.
“Kau sudah belajar melakukan summon?”
tanya Neo melirik tongkat di tanganku.
“Aha, aku pakai Hecate” kataku.
”Wah, sudah diajarkan mengeluarkan
Hecate? Waktu itu, aku baru diajarkan mengeluarkan Inana di bulan kedelapanku,
tapi kau sudah bisa melakukan summon Hecate di bulan kedelapanmu?? Sinting”
“Ha-ha, jangan remehkan aku wahai
senior” aku merasa lebih hebat darinya. Aku mengeluarkan Hecate-ku. Aku belum
memberikan nama pada Hecate-ku sejauh ini seperti yang dilakukan Tuan Shedir
pada Inana-nya.
“Tunggu di sini, usahakan berada jauh
dari RHS yang mendekat” kata Neo sembari menjauh dariku. Ia hendak melakukan
debuff pada RHS yang terlihat dari sini.
“Vale, bersiaplah. RHS-nya mendekat.
Jangan lakukan skill area, lakukan single hit” Neo datang diikuti seekor RHS
yang dimaksud. Wow, makhluk itu besar sekali. Aku pun mengeluarkan force yang
aku ingat secara random; Blaze Pearl, Chain Lightning, Meteor Swarm, Poison
Breath, Frost Nova dan Rock Blade secara berturut-turut. Sementara Hecate-ku
pun ikut melakukan serangan.
“Hoi, jangan gunakan skill area,
Bodoh!!” teriak Neo sembari terus melakukan skill pada RHS itu.
“Memang iya? Aku menggunakan force
yang aku hafal saja Neo”
“Sampah! Single hit, Valerie!! Prism
Beam, Electric Bolt, Ice Beam, Vain Fall…” kini Neo yang menjadi pusat serangan
RHS itu,”Cepat lakukan!!!”
Astaga, semua itu skill Basic. Aku
lupa itu semua. Sebentar, Neo, sebentar. Aku akan mengingat-ingatnya dulu.
“VALERIIEEE!!!! AKU SUDAH TERKENA
DEBUFF MAKHLUK SIALAN INI!! APA YANG KAU TUNGGU??!!!” Neo berteriak—aku bahkan
tidak bisa membedakan itu sebuah teriakan atau jeritan. Aku bergegas melakukan
serangan dari belakang. Aku melakukan semua yang Neo katakan tadi, dan itu
membuat makhluk itu memusatkan serangannya padaku. Sial, aku tidak bisa
melakukan keempat force ini saja secara berturut-turut. Aku melirik Neo tidak
bergerak.
“Neo, apa yang kau lakukan?!” kataku
sembari terus focus pada RHS di depanku.
“Lakukan Flame Arrow, Electric Bolt,
Frost Arrow, Rock Blade, Blaze Pearl dan Rage of Wave!!! Sekarang!!!”
teriaknya. Ah itu Force Elite. Aku masih ingat itu semua. Tanpa pikir panjang
aku langsung menyerang makhluk itu secara bertubi-tubi,”Jangan berhenti atau
kau akan terkena debuff-nya!!!” teriak Neo lagi. Jujur saja, aku kewalahan mengalahkan
makhluk ini tanpa Neo. Staminaku sepertinya mulai berkurang dan tentu saja
kekuatanku untuk mengeluarkan Force ikut berpengaruh. Semua force yang aku
keluarkan semakin melemah kekuatannya, kecepatannya pun berkurang. Sial.
“Neo, kekuatanku!!! Aku butuh
potion!!” dan di saat itu pula Hecate-ku menghilang pertanda ia pun sudah
kehilangan kekuatannya untuk terus melakukan serangan. Sial, sekarang aku
benar-benar sendiri.
“Cepat, ambil potion-mu!!!” Neo
kembali melakukan serangan untuk mengalihkan perhatian makhluk itu. Aku sedikit
menjauh, meminum semua potion yang aku punya. Sebelum aku kembali
menyerang, aku melakukan Force support pada Neo dan melakukan Heal Animus pada
semua Animusku.
“Sepertinya ada yang sedang
kewalahan” Homoco dan Viren datang dan membantu kami menghabisi RHS yang satu
itu.
“Kami pikir mengalahkan satu RHS
bersama-sama akan lebih menghemat waktu” teriak Homoco. Viren mengangguk,”Kita
bisa saling melakukan cover jika ada yang terkena debuff”
Setengah jam kemudian, kami sudah
menghabisi sepuluh ekor RHS. Kami tidak punya banyak waktu untuk memburu empat
puluh ekor sisanya. Sepertinya dengan melakukan ini bersama-sama memang lebih
menghemat waktu. Dan aku merasa tidak berguna dalam kelompok ini.
“Sepertinya aku tidak terlalu berguna
di sini” kataku pada panggilan private MC pada Viren. Aku melihatnya tersenyum
sembari masih terus melakukan serangan pada RHS yang baru saja Neo kenakan
debuff.
“Ini salah satu yang bisa menaikkan
hunting experience-mu, Vale. Bertahanlah. Lakukan sebisamu”
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar
suara dentuman keras.
“Suara apa itu?” teriakku. Fokus kami
semua mulai berkurang pada RHS yang berada di depan kami.
“Sial. Itu Accretia. Cepat, minta
bantuan!!” kata Neo. Aku menjauh dari mereka semua dan membiarkan hanya
Hecate-ku yang melakukan serangan.
“Ada sekitar lima ekor—ehm, apapun
itu—Accretia di daerah Threat’s Passage!! Tolong kami, kami sedang dalam
pertarungan!!” aku hampir menjerit histeris pada operator, panik.
“Kalian seorang siswa akademi?”
“Iyaaa!!! Cepatlah, Nona!! Kami tidak
ingin mati muda di sini!!”
“Bantuan segera datang” aku segera
kembali membantu mereka semua. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja tiga
orang prajurit muncul, melakukan teleportasi ke tempatku. Aku hampir saja
memukulkan tongkat ke arah prajurit muda yang tepat berada di sampingku.
“Mana Para Mesin Bobrok itu?” tanya
prajurit muda di sampingku itu. Wajah mereka rasanya familiar untukku. Dua
orang dari mereka segera membantu mengalahkan RHS itu hanya dengan satu kali
serangan. Sial. Mereka kelewat hebat kalau begini caranya.
“Di sana, Tuan. Sepertinya tadi
mereka menghabisi seorang Bellato dengan MAU-nya” ucap Homoco sembari menunjuk
ke arah yang dimaksud.
“Sepertinya kita memang harus
melakukan cover untuk anak-anak ini” kata seorang wanita sembari melipat
tangannya.
“Quest apa yang sedang kalian
jalani?” tanya seorang lelaki yang lain lagi. Dibandingkan dengan lelaki yang
satunya, sepertinya usia lelaki berkacamata ini lebih tua. Hm,
sekitar…tigapuluhan mungkin?
“Lima puluh hati RHS, dan deadline
kami besok pagi di Markas, Tuan” kata Viren.
“Kenapa kalian mengambil quest dengan
deadline mepet seperti itu, hah!!” kata prajurit muda tadi. Aku melihat ketiga
temanku itu hanya tertunduk, sepertinya ragu untuk menjawab. Aku hendak menjadi
penyambung lidah untuk mereka tapi aku pun ragu—kalau-kalau aku salah bicara.
“Hm…aku mengerti. Sepertinya masalah
disena” kata si wanita. Yes, akhirnya ada yang mengerti kami tanpa perlu kami
katakan,”Sudah berapa buah yang kalian dapatkan?” tanyanya lagi.
“Dengan yang satu ini jadi dua belas
buah, Nona” kini Neo yang angkat bicara.
“Biar aku yang mengambil hatinya,
Neo” kata Homoco sembari melakukan ‘pembedahan’ pada perut RHS dengan pisaunya.
“Sisa waktu kurang dari dua setengah
jam, dan masih harus membunuh tiga puluh delapan ekor lagi. Hm, tugas kalian
sepertinya berat” kata lelaki berkacamata.
“Sebaiknya cepat, karena bisa saja
Para Mesin Bobrok itu menemukan kita semua”
“Haruskah kita memanggil dua orang
lagi agar man-to-man?” kata si wanita.
“Tidak usah, aku yakin anak-anak ini
bisa diandalkan” kata lelaki berkacamata itu. Entah kenapa lelaki berkacamata
itu terlihat lebih keren setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Sangat
berwibawa. Sementara aku masih bertanya-tanya siapa orang-orang ini sebenarnya.
Aku melirik ketiga temanku, wajah mereka juga terlihat lebih cerah setelah
mendengar perkataan prajurit berkacamata itu. Bayangkan saja, kami yang masih
menjadi siswa akademi dipercaya untuk mengalahkan bangsa lain. Itu sesuatu
sekali—seperti kata biduan terkenal asal Spire, Syahar Aini.
“Aku dan Hervy akan melakukan
patroli. Kau bantu mereka menyelesaikan quest” kedua orang itu pergi dari hadapan
kami.
“Baik. Ayo, biar aku yang tarik RHS
itu untuk kalian” Prajurit muda itu pergi menjauhi kami untuk mengenai debuff
pada RHS, tapi ia kembali dengan dua ekor RHS yang mengikutinya,”Ahahaha, dua
ekor tidak masalah kan untuk kalian?” tanyanya sembari tertawa. Orang itu aneh,
aku rasa tidak ada yang harus ditertawakan. Neo, Viren dan Homoco sudah
melakukan kuda-kuda untuk melakukan serangan, begitu pun aku dengan Hecate-ku.
Sejam kemudian kami sudah
mengumpulkan lima puluh hati RHS. Beruntung prajurit muda ini membantu kami.
“Hosh…hosh…akhirnya, sudah lima
puluh…” Neo terengah-engah. Begitu juga yang lain. Aku mengusap peluh yang
sedaritadi merambati wajahku. Aku tidak menyangka membunuh RHS bisa sebegini
melelahkannya. Wajar Valerie, kau bahkan belum lulus dari akademi.
Tiba-tiba, dentuman terdengar lagi
beberapa meter jauhnya dari tempat kami berkumpul.
“Sial!! Itu para Accretia!!”
Next part:
disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO
No comments:
Post a Comment