Kami
berhamburan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Aku lari ke arah Hutan
Buas. Aku diam sejenak di antara lebat belukar dan kelakar pepohonan di sana.
Aku sendiri di sini, itu masalahnya, terlebih aku tidak tahu di mana tepatnya
aku berada sekarang. Tiba-tiba sebuah tembakan dari sebuah launcher mengenai
pepohonan di sisiku. Sial, aku masih di kejar. Yang ada dipikiranku saat ini
hanya 'jangan sampai tertangkap dan tetap
bertahan hidup, apapun caranya'.
“Tolong aku!! Aku sedang dikejar
oleh Accretia di daerah Hutan Buas"
“Ada berapa Accretia yang
mengejarmu?"
“Sekitar empat buah.
Cepatlaaaahhh!!! Aku belum bisa melawan merekaaa!!!" aku hampir saja
berteriak pada operator Markas.
“Vale, kau di mana?" tanya
Viren.
“Empat buah Besi Bernyawa itu
mengejarku. Menembakiku dengan membabi butaaaaa!!! Aaaarrrgggghhh!!!" dan
tembakan yang terakhir meleset namun tepat membakar tangan kananku. Sial. Aku
lebih memilih tanganku digigit oleh Villain Cannibal daripada tertembak seperti
ini.
“Kau baik-baik saja, Vale?"
“Aku rasa kau tahu jawabaannya,
Viren; sangat tidak baik sekali" aku benci menjawab pertanyaan macam itu.
Tiba-tiba aku terperosok dan sukses terguling di tanah yang landai. Tak usah
tanya apa itu sakit atau tidak, terlebih tanganku terkena serangan launcher.
Dan akhirnya berhenti, tepat di sisi sebuah jurang. Itu hampir saja. Tubuhku
rasanya tak berbentuk lagi. Aku bahkan lupa kalau aku masih bisa bergerak. Aku
telentang begitu saja di sana. Aku mencoba menghububungi Markas tapi—ini hal
yang paling kubenci—MC-ku rusak. Harapanku hanya satu, yaitu agar mereka tidak menemukanku—baik
dalam keadaan hidup atau mati. Aku menengok ke bawah jurang; ada sebuah sungai
yang mengalir dan pepohonan lainnya yang rimbun menutupi apa yang ada di
bawahnya. Jurang itu memang tidak terlalu dalam—mungkin setinggi bangunan dua
atau tiga lantai—tapi cukup untuk bisa meremukkan tubuh bila terjatuh. Aku
merasakan dahaga saat melihat aliraan sungai tapi ini bukan saatnya untuk
memikirkan air. Aku mencoba menikmati rasa sakit dan nyeri yang aku alami saat
ini, tapi gagal. Ini benar-benar bukan hal yang bisa aku nikmati. Sial. Aku
terdiam. Hening. Hanya ada suara jangkrik dan cicit burung senja. Aku bersiul
dengan memainkan sebuah nada. Lalu terdengar suara siulan yang sama. Ah, itu
pasti Mocking Bird—burung yang bisa menirukan nada yang didengarnya. Setahuku
para pendahulu menggunakannya sebagai alat untuk mengetahui adanya bahaya atau
musuh di dekat perbatasan. Burung itu bisa menjadi alat komunikasi dalam
peperangan.
“Ke mana lagi kita harus mencarinya?
Ia menghilang membawa semua data penting kita" aku mendengar suara
seseorang dari bawah sana. Aku menengok ke bawah. Ah, itu orang-orang dari
Markas. Entah kenapa rasanya harapanku untuk tetap hidup lebih lama makin besar
semenjak melihat orang-orang itu. Baru saja aku hendak berteriak untuk meminta
bantuan, aku melihat dua buah Accretia mendekati mereka. Aku hampir saja
berteriak untuk memperingati mereka sebelum akhirnya aku tahu kedua Accretia
itu malah berbicara dengan mereka. Pemandangan itu cukup janggal untukku.
“Iya, kita harus menemukannya
sebelum tengah malam. Tuan Keavy membutuhkan data itu secepatnya" kata
seorang Cora yang lainnya. Aku memang tidak bisa mengerti bahasa para Accretia
itu tapi dari apa yang aku dengar sepertinya ada sesuatu yang dicari oleh kedua
ras itu. Tuan Keavy? Rasanya aku baru mendengar nama itu. Apa ia salah seorang
Panglima Besar? Apa kedua Accretia itu salah satu mata-mata Cora? Ada yang
janggal dari ini semua.
“#%&@#&@&*@*##&*%*#!%&"
“Ada seorang Cora di sekitar
sini?" tanya seseorang dengan nada tidak percaya.
“Jangan-jangan Markas mengirimkan
orang untuk membuntuti kita" kata seorang yang lain.
“%@!&*@%&#*#&*#/@#*%@&"
“Armor itu dipakai oleh siswa
akademi. Jangan sampai ia menemukan kita disini. Ayo cepat, kita harus kembali
ke Markas"
“Kalau kalian menemukan siswa itu,
bunuh saja. Siswa akademi tidak ada yang berguna untuk dibawa ke Markas"
yang lain menambahkan. Seketika itu pula harapanku untuk hidup kembali menyusut
bahkan berkurang hingga titik nol persen. Jantungku berdegup makin kencang dari
sebelumnya. Mereka mata-mata Accretia. Dan kali ini rasanya makin sesak
nafasku.
“Hei.." seseorang tiba-tiba
saja ada di sampingku. Aku sudah berteriak kalau saja ia tidak membungkam
mulutku,"Sssttt...kau harus diam kalau masih ingin hidup" katanya
sembari setengah berbisik padaku. Ia menengok ke bawah, melihat keadaan di
sana.
“Kau mendengar semuanya?" tanyanya.
Aku melihat mata orang itu. Aku berpikir apa yang harus aku katakan. Rasanya
saat ini aku tidak bisa mempercayai orang lain. Bisa saja kan prajurit muda ini
salah satu dari mereka lalu membunuhku begitu saja jika aku bilang 'ya'.
“Sebentar, kau tidak mengira kalau
aku bagian dari mereka kan?" ia melepaskan bungkaman tangannya. Aku masih
mencari-cari kebohongan di matanya.
“Siapa saja, saat ini bisa
membunuhku kan?"
“Aaarrgghh...sudah aku
bilang..."
KKKRRRAAAKK. Dari atas sana
terdengar suara kayu yang patah. Lelaki itu segera membantuku untuk bersembunyi
di sebuah celah yang berasal dari kayu pohon yg sudah tua. Celah itu tidak
terlalu besar untuk kami berdua dan dengan susah payah kami duduk bertumpuk
disana. Aku sedikit risih dengan posisi seperti ini; aku duduk di atas
pangkuannya. Sial. Awas saja kalau ia macam-macam.
Aku masih merintih kesakitan. Aku
baru sadar kalau kakiku juga patah. Lagi-lagi ia membungkamku tapi kali ini aku
menggigit tangannya—aku butuh sesuatu untuk menahan rasa sakit. Kali ini ia
yang mengaduh tapi (hampir) tak bersuara.
“Kau wanita tak tahu diri. Baru kali
ini aku menemukan orang yang aku tolong malah menyakitiku. Sial" ia
menatap tangannya yang merah dan ada bekas gigitanku disana.
“Sakit..." aku masih merintih,
kali ini aku menggigit bibirku sendiri.
“Hei...jangan gigit bibirmu, Bodoh.
Sudah cedera malah menambah luka lainnya. Idiot sekali kau!" Ia menyentil
dahiku.
“@#%*@&#&@*#*!@&@%%&"
“@%*#&@%*%&" terdengar
suara gemeresak dedaunan yang diinjak di atas celah dimana kami bersembunyi.
“Ssssttt..mereka sedang mencarimu.
Tahanlah sebentar rasa sakit itu, aku mohon. Kau tidak ingin mati muda
kan?" bisiknya dekat di telingaku. Aku menahan nafasku.
“@#!?%&*@?%&#*%!@%?&"
“@%?*%*@!%&*%?!&%"
Lalu hening beberapa saat.
“Sudah..mereka sudah pergi"
katanya, masih berbisik. Aku pun menghembuskan nafas lega,"Sebentar, biar
aku yang periksa" ia keluar untuk melihat keadaan sekitar apakah sudah
aman atau belum,“Kemarikan tanganmu, aku bantu kau keluar" Ia menarik
tubuhku dengan susah payah lalu mengambilkan tongkatku. Ia menekan sesuatu di
alat navigasinya lalu aku melihat ia mengeluarkan alat navigasi khusus—itu alat
untuk mengetahui keberadaan bangsa lain di sekitar sini.
“Hei..hei..apa yang kau
lakukan?" tiba-tiba ia membopong tubuhku.
“Jangan cerewet. Pegang tongkatmu
dengan benar"
Ia membawaku ke tempat di mana
pepohonan tidak terlalu rimbun, lalu aku melihat sebuah pesawat mendarat dari
celah-celah pepohonan itu. Ia membantuku untuk naik ke sana dengan susah payah.
Pesawat itu adalah pesawat dengan hanya dua awak saja.
“Kau mau membawaku ke mana?”
tanyaku.
“Kau mau aku membawamu ke mana,
hah?” tanyanya.
“Kau…prajurit Markas bukan?” tanyaku
takut-takut. Aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
“Suntikkan cairan ini ke kakimu. Ini
akan mengurangi rasa sakitmu untuk sementara” Kemudian ia membuka bagasi
pesawatnya yang berada tepat di belakang tempat dudukku. Ia mencari-cari
sesuatu di sana,”Ah, ini dia” Sebuah papan kayu dan perban. Ia membalut kakiku
dengan papan kayu itu terselip di antara balutan perban dan kakiku,”Ini akan
membuat tulangmu tidak terlalu bergeser dari tempat seharusnya. Aku harap kau
bisa bertahan sementara dengan ini. Dan…tanganmu, apa kau bisa tahan? Aku tidak
memiliki perban lebih” ia jelas melihat darah masih bercucuran dari tangan
kananku. Aku mengangguk perlahan, menahan tangis karena kesakitan. Aku tidak
ingin menyusahkan orang lebih jauh dari ini, bisa ditolong dan ditemukan
laki-laki ini saja aku sudah beruntung.
“Baiklah, yang ini biar aku yang
menyuntikkannya” ia mengeluarkan lagi sebuah pope lalu menyuntikkannya di
tangan kananku.
Selama di perjalanan kembali ke
Markas, tidak ada yang memulai pembicaraan di
antara kami. Yang aku perhatikan hanya punggung bidangnya dari kursi
penumpang di belakangnya. Dan…langit yang berada di luar jendela pesawat, ini
lebih luas dari yang aku pikir selama ini. Untuk pertama kalinya aku melakukan
perjalanan dengan sebuah pesawat. Entah aku harus bersyukur atau meratapi apa
yang aku alami hari ini.
Malamnya, kami sudah sampai di
Markas. Ia membawaku ke rumah sakit—tentu saja yang ada di dalam Markas. Ini
memang tidak sebesar dorm prajurit tapi cukup besar untuk rumah sakit yang
dibangun di bawah tanah. Selama perjalanan menuju rumah sakit, kami berdua jadi
objek menarik yang bisa dilihat.
“Turunkan aku..." bisikku.
“Kalau aku mau, aku sudah melemparmu
dari tadi. Hanya saja...mana mungkin aku membiarkan wanita terluka dengan kaki
patah pergi sendiri ke rumah sakit dengan darah bercucuran. Markas bisa kotor
oleh darahmu" katanya tanpa memandangku. Aku pikir ia hendak berkata
layaknya seorang pria yang hendak melindungi seorang wanita. Ternyata...ergh.
Next part:
disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO
*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition
“RF Online Indonesia”
*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition
No comments:
Post a Comment