III.
Pandanganku
masih kosong ke langit siang itu. Pikiranku mengawang jauh ke medan perang dan
daerah-daerah konflik. Di belahan dunia ini pasti ada saudara-saudaraku yang
sedang bertahan dari gempuran bangsa lain. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya kalau Daratan Spire—desaku—menjadi daerah konflik karena
perang.
Aku
ingat cerita para pejuang selamat yang kembali ke desa ini, mereka membawa
cerita dari medan perang untuk dibagi, meski bagiku beberapa cacat yang mereka
alami sudah cukup bercerita banyak tentang kekejaman perang merenggut semuanya.
Andai saja ada cara lain untuk bisa mewujudkan keinginan Decem, aku ingin
memilih pilihan lain jika pilihan itu ada. Tapi jika memang harus, aku akan pasang
badan untuk melindungi mereka yang aku sayangi. Keluargaku, desaku dan
bangsaku. Ini tanah kelahiranku, aku tidak akan menyerahkannya pada siapapun—meski
itu nyawa taruhannya.
Angin berhembus. Ini seperti alam
menyambutku. Semoga...semoga saja aku bisa melakukan hal yang terbaik yang bisa
aku lakukan. Tapi sebisa mungkin aku tidak ingin membunuh siapapun. Tidak
seorang pun. Sebisa mungkin.
Tiba-tiba
sebuah pesawat kertas mengenai dahiku. Aku membuka pesawat kertas itu lalu
menemukan sebuah tulisan : Angin yang
membawaku, dan takdir yang membawa angin untukmu. Ah, itu kata-kata dalam
kitab Decem : bangsa itu yang membawamu, dan takdirKu yang membawa
bangsa itu untuk alam semesta. Aku
mencari seseorang yang menerbangkan pesawat kertas ini, lalu aku menemukan
seseorang. Ia tersenyum sembari melambaikan tangannya.
“Ice!!!”
aku bangkit dari posisi telentangku, berdiri menyambutnya.
“Apa
kabar, Wanitaku?” ia merentangkan tangannya, aku pun menyambutnya dengan suka
cita.
“Lama
sekali aku tidak bertemu denganmu. Kau jahat, tidak pernah memberiku kabar” aku
merajuk. Ia tertawa.
“Kau
masih sama rupanya seperti Valerie yang dulu, hah. Rupanya selain buah dadamu,
tidak ada lagi yang berkembang” ia menunjuk-nunjuk dahiku.
“Kurang
ajar kau, Ice!” aku hendak menendang tulang keringnya, tapi gagal karena kakiku
pun ditendangnya,”Aw!”
“Kali
ini bisa aku baca. Gerakanmu pun tidak ada yang berubah, Vale” katanya sembari
melipat tangan.
“Aku
tak pernah berubah, tentu saja. Masih seperti ini saja; melihat langit di
padang Spire dan memikirkan banyak hal” aku melihat jauh ke ujung padang hijau
Spire.
“Apa
masih selalu memikirkanku?” tanyanya dengan tatapan menggoda. Aku meliriknya
lalu tertawa.
“Otakku
sudah terlalu penuh untuk menyisipkanmu di antara pikiranku, Ice. Tolong
berhentilah bermimpi” aku meninju pundaknya pelan.
“Tapi...kalau
aku masih berharap tentang apa yang aku utarakan dulu, apa kau masih mau
menerimanya?” tanyanya, kali ini tatapannya serius. Ah, aku benci berada di
keadaan seperti ini.
“Mungkin
lain kali aku akan menjawabnya. Yang jelas...aku rindu kau, Brengsek!!” aku
meninjunya berkali-kali,”Aku harap kau mau membagi kisahmu selama berada di
sana. Kau berhutang banyak cerita padaku. Ingat itu!!!” kami berdua tertawa.
“Hei...apa
kau punya keinginan untuk pergi ke medan perang?” tiba-tiba saja aku merasa
pembicaraan ini berubah ke arah yang lebih serius.
“Entahlah.
Aku merasa hidupku saat ini baik-baik saja. Kau tahu, dari dulu aku benci
dengan perseteruan” aku duduk kembali di tanah Spire yang hijau karena
rerumputannya. Angin semilir masih menerpaku—kami berdua tepatnya.
“Tapi
hanya dengan ini kita semua bisa mewujudkan apa yang Decem inginkan”
“Tapi
menurutku, pengabdian pada Decem tidak hanya dengan menghunuskan pedangmu dan
pergi ke medan perang semata. Lagipula, apa kau tahu alasan yang membuat perang
terus terjadi? Apa kau tidak pernah berpikir ada hal lain yang menjadi latar
belakang dari semua perseteruan ini?”
“Tentu
saja ada tapi semua itu kembali pada satu hal”
“Apa?”
“Semua
yang berawal dan memiliki akhir adalah milik Decem semata. Perang ini pun
seperti itu, kalau kau urutkan dari awal, semua berawal dari keinginan Decem.
Karena Decem, kita semua ada untuk berjuang. Dan semua alasan yang
melatarbelakangi pun selalu berakhir pada alasan bahwa Cora ada untuk Decem.
Titik. Dan itu harga mati untuk kita semua”
“Tapi
aku yakin Decem menginginkan kita semua bersatu untuk satu hal. Kita semua.
Novus dan jagat raya. Tapi aku masih belum menemukan alasan untuk itu”
“Kau
masih sama ya. Masih sama idealisnya seperti yang dulu. Masih terlalu munafik
dan naif, Valerie” katanya, melirikku. Aku meringis.
“Aku
anggap kata-katamu itu sebagai pujian untukku, Ice. Dan selalu ingatkan dirimu
kalau wanita ini tak akan pernah berubah. Kalaupun suatu hari aku berubah,
mungkin aku sudah memiliki alasan untuk itu. Kalaupun aku harus berubah, itu
pasti karena sesuatu yang sangat berharga bagiku”
“Apa
aku bukan alasan yang cukup kuat untukmu berubah? Apa kau tidak ingin pergi ke
medan perang bersamaku? Kita akan berjuang bersama untuk tanah kelahiran kita.
Untuk bangsa kita, Valerie” kali ini ia menatapku lebih lekat dari sebelumnya.
Aku
ingat tatapan itu, tatapan yang sama seperti tatapan lima tahun yang lalu saat
ia memutuskan untuk menjadi seorang pejuang di usia yang amat belia. Mungkin
karena ia berasal dari keluarga prajurit, yang mana menjadi seorang pejuang
Cora adalah suatu kewajiban sebagai wujud pengabdian. Ia sempat menanyakan hal
yang sama padaku untuk pergi ke medan perang bersamanya sebelum ia pergi. Untuk
berjuang bersama dengannya. Tapi aku tidak pernah menjawab pertanyaan itu,
karena untuk melihat punggungnya pergi menjauh pun aku tidak mampu. Lelaki ini,
yang saat ini ada di sampingku adalah sahabat kecilku sekaligus cinta pertamaku.
Ia alasan kenapa aku harus hidup lebih lama, aku ingin bisa hidup dengannya,
lebih lama lagi. Sampai-sampai aku berpikir untuk menunggunya sampai kapanpun.
Dan kini ia kembali. Aku senang, tapi entah kenapa hanya sebuah perasaan
senang, tak ada yang lain. Mungkinkah perasaan bisa memudar seiring dengan
jalannya waktu? Mungkinkah perasaanku padanya tertiup angin? Lalu ke mana
sisa-sisa perasaanku sekarang? Kalau ada yang bertanya apakah aku masih
menunggunya, aku akan mengatakan ‘Ya’ karena aku memang masih menunggunya. Tapi
entah kenapa, meski ia ada di hadapanku, aku selalu merasa dirinya jauh.
Tanganku mungkin bisa menyentuhnya, tapi hatiku tidak. Aku pikir ada yang salah
dengan perasaanku. Tapi apa? Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan
saat ini padanya.
“Mungkin belum saatnya aku untuk
berubah, Ice. Dan belum saatnya aku pergi bersamamu ke medan perang. Tapi
yakinlah, aku selalu berdoa untuk kembalimu. Aku berdoa agar kita bisa berjuang
bersama membela bangsa kita, tanah kelahiran kita. Percayalah, suatu hari aku
akan menjemputmu di sana. Di medan perang” aku ragu mengakhiri kalimatku dengan
kata itu. Tapi semoga saja, Ice, semoga aku bisa berjuang di tanah yang sama
denganmu.Next part :
[Rising Force] The Beginning to The New World part III
disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO
*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition “RF Online Indonesia”
No comments:
Post a Comment