VI.
Hari itu
Four pulang ke dome-nya, dan kamarku kembali sunyi seperti biasanya.
Siang-siang begini biasanya Four sedang melakukan eksperimen membuat resep
masakan baru yang bisa ia praktekan di Markas, “Aku butuh yang sederhana,
sehat, bergizi, mengenyangkan dan murah” selalu seperti itu kata-katanya. Tapi
kebanyakan dari resep-resep yang ia buat adalah sebuah kegagalan besar. Aku
rasa ia memang tidak berbakat di dapur. Mungkin keputusan untuk menjadi seorang
pejuang Cora yang turun ke medan perang memang yang paling baik untuknya. Ia
terlihat lebih hebat dengan armor marun dan Hora Sword-nya ketimbang dengan
sebuah apron.
Siang itu
rasanya begitu hampa sehingga aku mencoba menyibukkan diri dengan membuka kembali
jurnal Dr.Dohyeon, membacanya untuk yang kesekian kalinya. Yang bisa aku
rangkum sejauh ini adalah sesuatu yang buruk yang berkenaan dengan kemanusiaan
di dunianya juga terjadi di sektor Novus dan suatu bentuk kejahatan dilakukan
pan-Earth Union atas nama proyek kemanusiaan yang baru. Dan dari kalimat yang
menceritakan tentang dua orang koleganya, sepertinya mereka dijadikan kelinci
percobaan. Mereka berubah menjadi “monster” tapi monster yang bagaimana;
monster dalam arti sebenarnya atau suatu senjata pembunuh? Dan satu lagi, bahwa
Herodian merupakan bangsa yang mencoba menghancurkan peradaban manusia dan
mereka menggunakan virus Arcane untuk itu, tapi virus yang seperti apa Arcane
itu? Dan apa maksudnya bahwa Holimental bisa mengontrol mereka?
Sebentar,
kenapa cerita tentang Herodian itu mirip seperti bangsa yang hidup di Vega?
Pikiranku membentuk jawabannya sendiri. Aku kesal karena yang bisa aku lakukan
saat ini hanya menerka-nerka. Aku sudah mencari semua yang berkenaan dengan isi
jurnal Dr.Dohyeon di semua literatur yang berhubungan dengan apa yang ia
tuliskan. Tapi aku tidak menemukan hal yang berarti yang bisa menyatukan
semuanya.
“Erie!!!
Ada tamu untukmu!!” tiba-tiba suara Ibu menghancurkan semua pemikiranku. Aku
turun ke bawah melihat siapa yang datang.
Aku
menemukan orang itu adalah Ice. Aku menyambutnya dengan hangat dan mengajaknya
untuk pergi ke atas. Tapi ia menolak untuk itu, ia hendak mengajakku pergi ke
pantai. Sebenarnya aku malas sekali jika sedang melakukan sesuatu yang menyita perhatianku
tiba-tiba ada yang mengganggunya, tapi karena aku jarang—dan mungkin untuk
beberapa waktu ke depan tidak akan bisa memiliki waktu—bertemu dengannya, jadi
aku mengiyakannya.
“Aku akan
kembali besok pagi” katanya tiba-tiba. Aku meliriknya,”Mungkin ini akan jadi
kesempatan terakhirku bertemu denganmu tahun ini. Aku harap di tahun-tahun
berikutnya aku masih bisa bertemu denganmu, Vale” aku tersenyum tipis
mendengarnya, benar-benar tidak tahu apa yang harus aku katakan.
“Dan...aku
ingin memberimu ini” ia mengeluarkan sebuah kalung dengan bandul seperti
permata berwarna putih, ia mengalungkannya di leherku,”Ini Holystone. Aku
mendapatkannya dari tambang saat Cora berhasil merebut chip dari dua bangsa
lain. Ini adalah simbol keberuntungan bagi Cora dan aku harap ini bisa membawa
keberuntungan pula bagimu” Ia terdiam dan menatapku beberapa detik lamanya lalu
menyambung kalimatnya lagi,”Kau cantik” dan itu sukses membuat wajahku memerah.
Sialan kau, Ice.
“Aku ingin
bertanya padamu tentang batu ini. Apa ini yang menjadi alasan Cora selama
bertahun-tahun lama berjuang dan mempertaruhkan nyawa mereka?” tanyaku sembari
menatap langsung ke matanya. Aku melihatnya tersenyum tipis,”Jadi kau bertarung
di medan perang hanya untuk mendapatkan ini? Apa kau pikir batu ini lebih
berharga daripada nyawamu sendiri? Apa yang membuat batu ini jadi begitu
istimewa untuk semuanya? Kenapa kita rela menumpahkan darah, berperang hanya
untuk sebuah batu seperti ini? Kenapa, Ice? Jangan bawa-bawa Decem untuk
menjawab pertanyaanku karena yang aku tahu keinginan Decem adalah menyatukan
alam semesta di bawah naungannya. Kita ada untuk menjaga keseimbangan. Aku
masih tak habis pikir, kenapa harus batu ini?” tiba-tiba saja aku menghujaninya
dengan pertanyaan yang bercampur dengan emosi sembari menggenggam erat-erat
bandul Holystone itu. Kenapa peperangan yang hanya memperebutkan batu putih ini
membawa nama Decem sebagai alasannya. Decem terlalu suci untuk dijadikan alasan
pertumpahan darah terjadi.
“Haruskah
aku menceritakan semua yang terjadi di medan perang padamu? Apa kau tahu kenapa
bangsa Accretia begitu membenci kita? Apa kau tahu alasan Bellato turut
memerangi kita? Semua yang dilakukan pendahulu kita pasti memiliki alasan. Aku
yakin mereka tidak berperang hanya karena alasan yang bodoh. Para pejuang
memang tidak diperbolehkan membawa apa yang kami temui di medan perang ke dalam
lingkungan warga sipil, meski aku tahu beberapa dari mereka menceritakan
tentang kekejaman perang dan apa yang mereka lihat. Tapi lebih dari itu, hanya
kami yang tahu. Jadi tolong mengerti alasan kami untuk berjuang. Ini bukan
hanya tentang sebuah batu yang kami perjuangkan, tapi apa yang bisa dibuat batu
ini untuk peradaban Cora di masa mendatang” ia menjelaskan dengan panjang
lebar, meskipun aku merasa ia tidak memberikan jawaban yang aku inginkan. Aku
menghela nafas panjang lalu memeluk Ice.
“Aku selalu
menunggumu kembali, Ice. Kalaupun aku berubah pikiran, berjanjilah padaku untuk
berjuang bersama mempertahankan kehidupan kita dan jika nanti aku memilih jalan
yang berbeda denganmu, berjanjilah untuk kembali ke hadapanku lagi dalam
keadaan hidup. Jangan buat aku kehilangan untuk yang kedua kalinya, Ice. Aku
benci kehilangan” mataku sebenarnya perih tapi aku tahan air mataku. Aku paling
tidak suka menangis.
Beberapa
saat kemudian kami hanya terdiam di pesisir. Hanya duduk memandangi lautan yang
masih berdesir. Yang aku pikirkan saat ini hanya agar tidak bertemu dengan
Varas. Karena aku tidak mau mati begitu saja sebelum aku melakukan sesuatu
untuk bangsaku. Terlebih aku tidak membawa senjataku, aku tidak mau mati bodoh
tanpa perlawanan. Aku melirik Hora Sword yang di bawa Ice. Itu pedang yang sama
dengan pedang Four, tapi kenapa rasanya milik Four lebih bersinar daripada
milik Ice?
“Ice,
kenapa Hora-mu terlihat berbeda dari milik sahabatku? Itu Hora Sword kan?” aku
menganalisa lagi pedang Ice.
“Lebih
bersinar?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Milik
sahabatku yang lebih bersinar” kataku.
“Sudah
berapa titik yang ia miliki di sini?” tanyanya sembari menunjukkan sebuah
tempat di dekat pangkal pedang. Aku melihat miliknya baru tiga titik.
“Oh, kalau
tidak salah enam” kataku singkat sembari mengingat. Wajahnya terlihat seperti
terkejut,”Kenapa?” tanyaku polos.
“Wow.
Sahabatmu hebat sekali dalam hal menempa. Titik-titik ini menunjukkan sudah
berapa kali pedang ini ditempa. Menempa berfungsi untuk menaikkan kemampuan
dari pedang ini sendiri. Kau bisa memilih efek yang akan kau upgrade untuk
pedangmu, contohnya seperti daya serang, rasio kritikal, akurasi serangan, defense
dan lain-lain. Itu semua sesuai dengan talic yang kau gunakan. Talic bisa kau
dapatkan dari mengolah Ore atau membunuh Scud Lava. Selain talic, kita
membutuhkan empat jenis Gem untuk menambah persen kemungkinan berhasil ketika
melakukan upgrade”
“Jadi
menempa tidak selalu berhasil ya? Memang tidak bisa minta tolong pada orang
lain?”
“Jika kau
gagal, pedangmu hancur. Hm, untuk minta bantuan sebenarnya bisa saja, apalagi
orang-orang yang memutuskan untuk mengambil job sebagai Artist punya kemungkinan
yang lebih besar dalam persen keberhasilan dari job lainnya tapi aku rasa
menempa tetap harus menggunakan keberuntunganmu sendiri. Jadi belum tentu para
Artist bisa berhasil meng-upgrade semua senjata menjadi enam titik. Kalau sudah
begitu, sama saja bukan, antara menempanya sendiri dengan meminta bantuan orang
lain? Aku lebih memilih percaya pada diriku sendiri untuk menempa daripada
orang lain, kalau pedangku patah, aku tidak harus kecewa pada orang lain kan?”
“Hm...jadi
menempa itu sulit ya? Aku kira itu hanya pekerjaan menempa pedang biasa saja.
Kalau begitu bisa menempanya sampai enam titik adalah sesuatu yang tidak umum
bukan? Tandanya sahabatku itu hebat sekali ya?”
“Iya,
jarang bisa menemukan orang yang mampu menempa hingga enam titik. Memang siapa
sahabatmu? Mungkin saja aku kenal”
“Namanya
Four Larryneth, kau kenal?”
“APA? Nona
Four? Kau serius dia sahabatmu?” tanyanya, kali ini lebih tidak percaya dari
sebelumnya. Aku mengangguk.
“Kenapa
semua orang memanggilnya dengan sebutan ‘Nona’? Itu terdengar aneh sekali di
telingaku. Itu sangat tidak cocok dengan sikapnya yang seperti itu”
“Ya Tuhan,
kau bahkan tidak tahu siapa sahabatmu di Markas. Kau tahu, ia adalah salah
seorang Perwira Tinggi Batalion Penyerangan yang dipercaya oleh Archon. Untuk
pejuang yang baru dua tahun berada di Markas, ia termasuk anak
super-duper-jenius. Aku yang sudah dua tahun berada lebih dulu di Markas bahkan
belum bisa mencapai ranking lima belas teratas pejuang terbaik. Dan setahuku,
ia perwira termuda saat ini. Hah...beruntung kau punya sahabat sepertinya
Valerie” katanya sembari melemparkan pandangannya jauh ke ujung lautan. Aku
menelan ludah. Four...seorang Perwira Tinggi? Usianya bahkan belum genap
sembilan belas tahun saat ini. Wow...kenapa ia tidak pernah menceritakannya
padaku? Ah, apa ia ingin terlihat biasa-biasa saja di depanku? Dasar Four.
“Aku bahkan
tidak menyangka ia bisa secepat itu mendahuluimu. Anak itu...kenapa ia selalu
memperlihatkan sikap konyolnya di depanku? Kenapa ia tidak menceritakan apa
saja yang sudah ia capai tiga tahun belakangan ini? Hah..dasar Four~” aku
mengacak-acak rambutku sendiri. Ice tertawa melihat kelakuanku.
“Kenapa kau
sampai seperti itu? Kau harusnya bangga pada sahabatmu itu”
“Tidak usah
kau nasehati pun aku tahu harus seperti apa. Hei, berapa lama masa jabatannya
sebagai seorang perwira tinggi?”
“Untuk
seorang perwira tinggi, masa jabatannya adalah enam bulan. Perwira tinggi
dipilih oleh Archon yang sedang menjabat dan wakilnya dipilih lewat voting
Markas. Kalau kau ingin tahu tentang Markas, aku sarankan kau untuk datang saja
ke sana. Kau bisa menanyakan banyak hal pada staff informasi Markas” katanya,
aku hanya tersenyum tipis. Dari kemarin, entah kenapa aku merasa banyak
‘serangan’ bertubi-tubi dari kedua orang sahabatku yang sedang berlibur dari
tugasnya ini. Mereka—sadar tak sadar—seperti sedang membujukku untuk ikut masuk
Markas. Ah, mereka makin membuatku goyah.
“Ice, aku
ingin bertanya padamu tentang sesuatu”
“Apa?”
“Apa kau
tau tentang Herodian? Apa itu bagian dari salah satu bangsa?” tanyaku. Ia
memiringkan kepalanya.
“Tau dari
mana kau tentang Herodian? Setahuku itu salah satu nama daratan yang terletak
di daerah kekuasaan Bellato. Kenapa? Kau ingin pergi ke sana?” katanya, aku
menggeleng cepat.
“Hm....aku hanya
sempat membacanya di sebuah buku”
“Buku
tentang apa? Setahuku semua buku yang berkenaan dengan bangsa lain tidak boleh
disebarluaskan di kalangan warga sipil”
“Ah, ini
buku kumpulan legenda. Ceritanya tentang bangsa Herodian yang menjadi asal
muasal dari pertumpahan darah yang ada. Aku pikir cerita itu seperti nyata,
makanya aku bertanya, mungkin memang benar ada bangsa bernama Herodian itu di
kehidupan nyata” kataku berkilah,“Lalu apa kau tahu tentang pan-Earth Union?
Aku pernah mendengarnya dari seseorang, mungkinkah itu sebuah aliansi dari
salah satu bangsa?” tanyaku lagi. Wajahnya seperti sanksi akan pernyataanku
tadi.
“Aku rasa
tidak. Di medan perang hanya ada Cora, Accretia dan Bellato. Tak ada aliansi
dengan siapapun. Kau tahu kan kalau sudah sejak ratusan tahun lalu planet Novus
tidak bisa melakukan komunikasi antar planet karena platform dirusak?”
“Aha...aku
tau itu. Kira-kira, siapa ya yang menghancurkan platform? Bukankah platform itu
berguna untuk komunikasi? Apa mereka yang menghancurkannya tidak berpikir
kalau-kalau nanti kita di sini sedang mengalami krisis sumberdaya, bukankah
akan lebih sulit untuk meminta bantuan dari planet lain? Apa ya alasan mereka
menghancurkannya? Mungkinkah ada sesuatu yang sangat mengancam planet ini jika
platform tidak dihancurkan?” aku masih menerka-nerka.
“Mungkin
saja, Vale. Mungkin saja ada bangsa penghancur yang akan datang sampai-sampai
para pendahulu menghancurkannya”
“Dan...pernahkan
kau bertanya-tanya tentang bagaimana kita—Cora—berada di planet yang sama
dengan dua bangsa yang berbeda? Hingga akhirnya terjadi peperangan seperti saat
ini. Ah, ini semua membingungkan” aku kembali mengacak-acak rambutku.
“Sudah
sudah...sepertinya kau terlalu banyak memiliki pertanyaan yang bahkan literatur
pun tidak memiliki jawabannya. Tidak ada gunanya kau memikirkan begitu banyak
hal tapi kau tak bisa menemukan jawabannya. Jangan melihat ke masa lalu karena
yang kita punya hanya saat ini. Jadi berusahalah sebaik mungkin untuk tidak kau
sesali keesokannya”
“Baiklah...Aku
pikir nasehat kalian—para pejuang—jadi begitu mematikan. Kalian jadi terlalu
serius menjalani hidup”
“Hei,
sekarang aku tanya kau, yang terlalu memiliki banyak pertanyaan aneh di otaknya
itu siapa, hah? Hah?” lagi-lagi ia menunjuk-nunjuk dahiku.
“Iya...iya...aku
bercanda~~” tawa kami pun pecah.
Sore
itu, setidaknya aku tahu satu hal tentang Herodian. Tapi itu masih belum cukup
untukku. Aku harus mencari tahu lagi tentang daratan itu sendiri. Tapi
sayangnya semua buku yang berkenaan tentang bangsa lain dan peperangan hanya
ada di perpustakaan Markas, sedangkan yang boleh memasukinya hanya prajurit dan
siswa akademi. Jadi...haruskah aku pergi ke sana? Tolong jangan buat aku
memutuskan secepat ini. Aku masih ingin hidupku normal seperti warga sipil lainnya.
Aku tidak ingin masuk Markas hanya karena ingin mencari tahu tentang hal ini
saja. Aku belum siap.....Next part:
[Rising Force] The Beginning to The New World part VI
disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO
*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition “RF Online Indonesia”
No comments:
Post a Comment