VIII.
Ibu
memberikan kabar tentang penerimaan siswa akademi baru untuk Biro Penelitian.
Aku melihatnya begitu semangat ketika membangunkanku pagi-pagi buta. Di
tangannya sudah ada selembar kertas form untuk diisi. Aku masih setengah sadar
saat Ibu menjelaskan apa-apa saja persyaratannya. Entah dari mana ia
mendapatkan info sepagi ini.
Belakangan
Ibu sibuk mempersiapkan persyaratan yang harus aku kirimkan. Sebenarnya, yang
akan ikut training itu aku atau Ibu? Kenapa jadi ia yang begitu berapi-api
mempersiapkan semuanya. Ia pun sudah menyuruhku mengepak barang dari jauh-jauh
hari. Aku hanya bisa menurut dan mengikuti apa yang Ibu inginkan. Lagipula aku
tidak memiliki pilihan lain—tidak diberikan kesempatan untuk memilih tepatnya.
Tapi aku terima saja, tujuanku adalah membuat Ibu bangga. Setidaknya saat ini
hanya aku yang memiliki potensi untuk masuk Biro Penelitian. Kedua adikku masih
meneruskan sekolahnya. Sepertinya mereka tidak memiliki niatan untuk bekerja di
pemerintahan, kalaupun iya, pasti bukan Biro Penelitian.
Tapi di
hari-hari terakhirku berada di dome, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Dan sebelum kepergianku, aku sempat datang ke Anta de Notre, hendak memberikan
hadiah untuk Tuan Shedir sekaligus berpamitan padanya.
Aku
mengetuk pintu luar Anta de Notre. Aku harap Tuan Shedir belum terlelap. Dan
beberapa saat kemudian pintu terbuka. Wajah tua dengan janggut keputihan itu
menyambutku dengan senyum.
“Oho, itu kau Valerie, masuklah...”
ia mempersilakanku masuk,”Ada apa kau datang malam-malam begini?” tanyanya. Ia
berjalan ke arah pintu yang membatasi perpustakaan dengan dome pribadinya, aku
pun mengikutinya. Masih terdiam.
“Baiklah. Pasti ada sesuatu. Kau
mau menceritakannya padaku?” tanyanya.
“Hm, sebenarnya saya hanya ingin
memberikan ini pada anda, Tuan. Jangan berpikir kalau hadiah ini adalah hadiah
perpisahan saya, karena saya tahu, saya belum tentu lolos ujian masuk akademi
Biro. Ini hanya sebagai ucapan terima kasih saya pada Tuan. Selama ini Tuan
Shedir sudah mengajarkan banyak hal pada saya dan...” aku mengeluarkan sesuatu
dari tasku; buku miliknya yang waktu itu ia pinjamkan padaku,”...saya hendak
mengembalikan ini pada anda. Berkat buku ini, ilmu saya bertambah. Terima kasih
sudah meminjamkannya pada saya, Tuan. Tapi sepertinya saya tidak akan
membutuhkannya lagi” kataku, sedikit berat mengembalikannya. Tuan Shedir hanya
terdiam melemparkan pandangannya pada buku besar tuanya dan padaku secara
bergantian.
“Ambil saja untukmu” katanya
sembari tersenyum. Ia berbalik dan pergi ke dapur.
“Tapi Tuan...” aku mengikutinya menuju dapur. Aku
melihatnya sedang membuat teh pucuk mawar kesukaan. Ia membuat dua gelas.
“Duduklah. Aku ingin bicara padamu”
ia duduk sembari menaruh kedua gelas itu di meja kayu oak-nya. Aku pun duduk di
seberang meja, berhadapan dengan Tuan Shedir. Ia menaruh sebuah gelas ke
dekatku lalu meminum miliknya. Aku hanya menatapnya takut—takut kalau ia
tersinggung dengan sikapku.
“Tuan, saya...”
“Kau tidak berbuat kesalahan,
Valerie. Jadi jangan minta maaf. Maaf hanya untuk orang yang bersalah” katanya
seakan tahu apa yang hendak aku katakan sambil masih asik menyesap tehnya. Aku
tertunduk, diam, “Kau tidak ingin pergi ke Biro Penelitian bukan?” tanyanya
lagi. Pertanyaan yang langsung pada inti masalah. Tapi aku masih terdiam, tidak
tahu apa yang harus aku katakan.
“Kau memiliki kemungkinan yang
besar untuk bisa masuk Biro Penelitian, aku tahu itu. Kau dan orang lain pun
tahu itu. Tapi hatimu yang berkata itu bukan tempatmu. Iya kan? Tolong jangan
puji aku jika tebakanku benar” ia terkekeh sembari mengusap-usap janggutnya.
Aku meringis.
“Valerie, semua yang diberikan
Decem kepadamu adalah anugerah. Semuanya bisa menjadi jalanmu untuk mewujudkan
apa yang Ia cita-citakan. Aku tahu kau sudah mengasah semua kemampuanmu itu.
Tapi lagi-lagi kita harus memilih jalan mana yang kita harus pilih. Ingat,
fokus. Dengan fokus, kita akan tahu apa tujuan dan apa yang harus kita lakukan.
Kita akan bersungguh-sungguh untuk itu” ia menghela napas lalu melanjutkannya
lagi,”Kau selalu memiliki pilihan untuk menjalani hidupmu. Bahkan pilihan untuk
tidak memilih pun ada untukmu, dan yang aku lihat sekarang kau sedang bimbang
untuk memilih sebuah pilihan atau tidak sama sekali”
“Saya hanya tidak ingin
mengecewakan Ibu saya. Saya juga ingin menjadi seperti Ayah saya, menghabiskan
sisa waktunya untuk mengabdi pada Decem hingga titik darah terakhirnya” mataku
mulai perih karena mengingat yang satu itu.
“Kalau kau ingin menangis,
menangislah. Kau bukan seorang Accretia yang tidak memiliki kelenjar air mata,
jadi selama kau memilikinya jangan takut untuk menggunakannya. Kau diciptakan
dengan hati yang bisa bersedih, bersyukurlah karenanya. Dilanda kebingungan
adalah hal yang wajar di dalam hidup, apalagi di usia sepertimu. Aku juga dulu
pernah seperti itu, kau tidak lupa kan kalau aku pernah muda?” ia sedikit
bercanda, terkekeh lagi. Aku pun tersenyum kali ini mendengarnya,”Tapi
ketahuilah, masalah mungkin saja datang dan menggerogotimu dari dalam tapi ia
ada untuk menguatkanmu. Kau tahu, ada penyair yang berkata bahwa seseorang yang
paling kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan beribu-ribu musuh di medan
perang, melainkan orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri, Valerie” diam
sesaat lalu ia menyesap tehnya.
“Mari kita buat ini jadi lebih
mudah untukmu. Hidupmu adalah hidupmu. Semua orang bisa saja jadi bagian di
dalamnya. Tapi yang mempunyai kendali terhadap hidupmu hanya dirimu sendiri.
Apapun yang kau ambil sekarang, baik atau buruk, kau yang akan menikmatinya
nanti. Jadi intinya...”
“Dengarkan hatiku” kataku
melanjutkan kata-katanya. Ia tersenyum,”Tepat sekali” ia mengacungkan
jempolnya.
“Apa kau pernah mencoba
berkomunikasi dengan Ibumu untuk masalah yang satu ini?” tanyanya. Aku
menggeleng.
“Aku tidak mau membuatnya marah.
Aku hanya mengiyakan apa yang ia kehendaki”
“Ah,mungkin di situ letak
kesalahanmu. Untuk menyampaikan apa yang kau rasakan saja segan. Kau melakukan
dua kesalahan sekaligus. Pertama, kau tidak jujur pada dirimu sendiri kedua kau
tidak jujur pada orang lain. Diam tidak selalu bisa menjadi jalan keluar,
Valerie” katanya lagi. Aku menghela napas.
“Sepertinya aku yang membuat
semuanya menjadi sulit. Hm, terima kasih Tuan Shedir” kataku mengangguk kecil.
“Ah, akhirnya kau sadar. Tapi
ingat, jangan menyalahkan dirimu secara berlebihan. Sekarang...minum tehmu
dulu. Itu sudah membeku” ia lagi-lagi mencoba membuatku tertawa, dan kali ini aku
memang tertawa.
“Malam ini habiskan waktumu untuk
berpikir dan keesokan hari kau bisa pergi ke mana kau harus pergi”
“Hm...Tuan Shedir, maukah kau
membantuku?”
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyanya
sembari mengusap-usap janggutnya. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam
tasku.
“Tolong isikan kolom persetujuan
wali untukku. Aku mohon. Aku tidak tahu harus memintanya pada siapa selain
kepadamu” aku menyodorkan selembar kertas kepadanya. Ia melirik kertas itu lalu
tersenyum.
“Apa kau sudah memikirkannya dengan
matang?” tanyanya. Aku menatap matanya.
“Iya, aku siap menanggung semuanya.
Karena ini pilihanku, Tuan Shedir” kataku mantap. Ia tersenyum lalu pergi ke
ruangannya mengambil sebuah pena. Aku melihat ia menulis sesuatu di sana.
“Ini....jaga baik-baik kertas ini”
ia menyerahkan kertas itu padaku, aku tidak membaca apa yang ia tulis. Aku
percaya padanya. Aku melipat dan memasukkannya ke dalam tas.
Aku pamit
undur diri dari hadapannya. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih untuk yang
kesekian kalinya. Di ambang pintu perbatasan dome dan Anta de Notre-nya, ia
menyuruhku menunggu untuk beberapa saat. Ia hendak memberikan sesuatu padaku.
Setelah
menunggu beberapa saat, ia kembali dari dalam
ruangannya. Ia memberikan sebuah kotak berkilau—yang sepertinya terbuat
dari permata—berwarna putih.
“Ini...adalah
barang peninggalan istriku. Jaga baik-baik. Aku tahu kau orang yang tepat untuk
ini. Karena jiwanya tersimpan dalam dirimu. Semoga ia turut menjagamu dengan
ini” ia menatap kotak berkilau yang ia taruh di tanganku. Tatapannya nanar tapi
aku lihat seulas senyum tulus di wajahnya.
“Tuan...”
aku melihat air matanya mulai jatuh. Ia terkekeh lalu memelukku.
“Tidak
apa-apa, Valerie. Aku baik-baik saja” lalu terdiam sejenak,”Kau... sudah aku
anggap sebagai anakku sendiri. Jaga dirimu baik-baik di sana. Dan berjanjilah
satu hal padaku” ia melepaskan pelukannya lalu menatapku lurus,”Tolong,
hiduplah lebih lama dari istriku. Aku tahu kau wanita yang kuat”
Mataku pun
mulai berkaca-kaca tapi aku menganggukkan kepala dengan mantap.
“Aku tidak
akan mengecewakan anda, Tuan Shedir”
Aku
pun melangkah menjauh dari Anta de Notre sementara Tuan Shedir masih menunggu
hingga bayang-bayangku hilang di kegelapan malam.Next part:
[Rising Force] The Beginning to The New World part VIII
disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO
*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition “RF Online Indonesia” “RF Online Indonesia”
bang ni cerita ada versi PDFnya g?? boleh dong kalo ada... buat baca2 j kok, g kira aku share. kl ada, kirim via email y... makasi mas bro... :)
ReplyDelete@dagip sementara baru dibuat versi word nya bang. Tunggu aja ya update-nya terus^^ btw emailnya apa ya masnya? -.-a
ReplyDelete