Saturday, August 25, 2012

[Rising Force] The Beginning to The New World part III




IV.
            Hari itu aku hendak menjenguk Ayah. Aku sudah lama tidak menemuinya. Tadinya aku hendak mengajak kedua adikku tapi aku urungkan karena tahu mereka paling malas untuk pergi menemui Ayah. Mungkin itu sebuah ungkapan rasa kesal mereka pada Ayah karena semasa hidupnya Ayah terlalu memikirkan pekerjaannya di Biro Penelitian. Ayahku adalah salah seorang peneliti lapangan di sana. Ayah sering sekali pergi ke tempat-tempat yang jauh. Bahkan karena penelitiannya tentang keefisiensian tower, ia pernah pergi ke medan perang untuk meng-upgrade semua tower yang ada, tentu saja dengan bantuan para  Artist dan teman-teman satu timnnya. Ayah di mataku adalah orang yang hebat, sama hebatnya dengan para pejuang Cora, tapi mungkin ia belum cukup hebat menjalankan tugasnya menjadi seorang Ayah. Mungkin itu satu hal yang aku sesali tentang Ayah.


            Bicara tentang Biro Penelitian, Ibu selalu menyuruhku untuk mengikuti training di sana. Ibu ingin aku bisa seperti Ayah. Mungkin untuk aku yang seperti ini—kurang suka dengan peperangan—Biro Penelitian memang cocok untukku. Apalagi aku memang senang membaca sedari kecil. Aku juga sering melakukan percobaan-percobaan sederhana yang berakhir pada kemarahan Ibu ketika aku masih kecil. Tapi entah kenapa, aku merasa Biro Penelitian bukan tempatku. Kalau ada pilihan untuk menjadi seorang petualang, aku akan memilih pilihan itu saja daripada hanya berkubang di dalam Laboratorium dan berkutat dengan banyak catatan ilmiah. Itu racun untukku.
            Sejauh ini bekerja part-time menjadi seorang pemburu untuk Biro Penelitian cukup menyenangkan. Aku masih punya banyak waktu luang untuk bermain di Padang Spire atau hanya untuk membaca di Anta de Notre. Tapi melakukan hal yang seperti ini saja sering membuatku bosan. Aku ingin belajar membunuh monster-monster yang lebih besar dan lebih kuat. Sampai saat ini batas monster terkuat dalam list-ku adalah Grumble. Aku tahu ini masih bukan apa-apa, tapi setidaknya aku belajar berburu sendiri. Bagiku itu merupakan sebuah prestasi yang patut untuk dibanggakan.
            Mari kita kembali kepada pembicaraan tentang Ayah. Saat ini—dan seterusnya—Ayah tinggal di semenanjung Spire, tidak jauh dari desaku. Ayah sebenarnya wafat di medan perang ketika sedang menyebarkan potion-potion adrenaline yang sudah diperbaiki dosisnya untuk para pejuang tapi saat itu Ayah kurang beruntung karena ia tertembak oleh seorang Hidden Soldier. Ya, Ayahku gugur di medan perang—sebagai seorang pahlawan. Tapi Ibu tidak mau memakamkan Ayah di makam para pahlawan yang gugur di medan perang karena Ayah sudah memesan tempat di antara para penduduk desa yang lainnya.
            Di perjalanan menuju semenanjung, aku tak lupa membeli makanan kesukaan Ayah; telur Ratmoth. Bagi kebanyakan orang itu adalah makanan yang menjijikan tapi Ayahku sangat suka dengan yang satu itu. Aku membeli beberapa butir di pasar tapi telur yang aku inginkan sudah dipesan oleh orang lain. Aku kecewa tiba-tiba...
            “Bibi, aku hendak mengambil pesanan telurnya” kata seorang wanita dari belakangku. Aku segera menoleh ke arah suara. Sepertinya itu orang yang sudah memesan semua telur Ratmoth.
            “Four?! Itu kau?” aku berusaha mengenali wanita itu lebih teliti dengan armornya. Wanita itu melirikku lalu senyumnya terkembang.
            “Ya Tuhan, Valerie!! Akhirnya aku bertemu denganmu. Aku rinduuuu!!!” ia tanpa pikir panjang segera memelukku. Four Larryneth, satu lagi sahabat kecilku yang baru kembali dari Markas. Dalam waktu sekitar seminggu saja aku sudah bertemu dua orang pejuang Cora. Aku bersyukur mereka kembali dalam keadaan yang utuh dan masih dengan senyum yang berseri.
            “Apa kabarmu, Erie? Tiga tahun sudah aku melewatkannya tanpamu. Huuuaaahhh, aku senang bisa bertemu denganmu!!” Ia kembali memelukku. Aku tertawa mendengarnya.
            “Hei..hei..pejuang Cora tidak pantas berlaku seperti ini. Nanti aura pejuangmu hilang, Four” kataku sembari melepaskan pelukkan.
            “Ah, masa bodoh. Di Markas mungkin aku seorang pejuang, di desaku aku seorang warga sipil. Aku rindu sahabatku!! Titik” ia mencubit pipiku kali ini. Aku mengaduh tapi sepertinya ia menikmati hal itu,”Apa kau sudah memutuskan akan meneruskan ke mana?” tanyanya dengan wajah yang ingin tahu. Aku memutar bola mataku.
            “Sebenarnya, belum. Heheh” aku hanya bisa tersenyum lebar lalu melihat wajahnya seperti dilipat kali ini.  Ia mencibir.
            “Padahal aku berharap kau akan mengambil keputusan yang sama denganku. Aku ingin bisa berjuang bersama sahabatku. Aku ingin melakukan banyak hal di Markas dan pergi ke tempat-tempat yang jauh itu bersamamu, Erieeee~” ia bergelayut di tanganku. Ia benar-benar tidak terlihat seperti seorang pejuang Cora. Benar-benar tidak cocok dengan armor marunnya yang terlihat gagah itu.
            “Hei, setelah ini kau akan pergi ke mana?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Kau mau pergi jalan-jalan denganku?” wajahnya terlihat sangat senang.
            “Hm...sebenarnya aku mau tapi..” kali ini raut wajahnya kembali menunjukkan kekecewaan,”...aku harus pergi ke makam Ayah. Kau mau menemaniku dulu?” tawarku.
            “Sebuah keistimewaan untukku, Nona! Four Larryneth akan menemanimu ke mana pun kau pergi” ia memberikan hormat padaku. Aku tertawa melihatnya. Anak yang satu ini ekspresif sekali. Aku pikir kehidupan di Markas dan medan perang bisa mengubahnya, ternyata aku salah. Ia masih sama seperti yang aku kenal, dan akan selalu seperti itu sepertinya.
            “Tapi sebelumnya, bolehkah aku meminta beberapa butir telurmu untuk aku taruh di makam Ayah?” tanyaku ragu, tidak enak padanya.
            “Ambil sebanyak yang kau mau, Erie” katanya padaku.
            Tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke makam. Beberapa menit kemudian aku sudah bersimpuh di depan makam Ayah bersama Four, menaruh dua butir telur di sebuah mangkuk yang aku letakkan di dekat nisannya. Aku tertegun sesaat melihat nisan Ayah.
            “Four...apa yang terlintas di kepalamu saat kau memutuskan untuk menjadi seorang pejuang Cora?” tanyaku tiba-tiba.
            “Hanya satu, yaitu keyakinanku akan keberadaanku untuk melindungi semua orang yang aku sayangi. Decem percaya bahwa aku bisa membantunya melindungi Cora”
            “Hanya itu?” tanyaku ragu, ia mengangguk. Kali ini aku melihat raut wajahnya lebih lembut, aku melihatnya seperti sedang memikirkan sesuatu sembari tersenyum.
            “Kau tahu, awalnya ini bukan keinginanku, tapi setelah aku mengambil keputusan dan menjalaninya...aku bersyukur waktu itu aku mengambil keputusan yang tepat. Ternyata menjadi seorang prajurit tidak melulu tentang perang atau membunuh. Ini tentang bagaimana kau berjuang merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu dan melindungi semua hal berharga yang kau punya. Setidaknya itu hal yang aku rasakan setelah aku tinggal di sana”
            “Tapi...apa tidak ada cara lain yang lebih manusiawi? Aku tidak pernah ingin melukai siapapun”
            “Hm, Valerie sayang, aku juga dulu sama sepertimu. Tapi dunia sudah seperti ini adanya, begitupun tabiat manusia yang tinggal di dalamnya. Yang menang, yang berkuasa. Kalau kau masih ingin hidup, kau harus berjuang mempertahankan hidupmu, karena di luaran sana selalu ada yang ingin merenggutnya darimu.Dan sangat mustahil bagi kita semua untuk menghindarinya; peperangan yang kita benci itu...ia akan selalu ada selama perbedaan tidak bisa ditolerir semua bangsa” Four melingkarkan tangannya di leherku,”Kau bisa lihat contohnya di depan matamu, salah satu orang yang kehidupannya direnggut paksa. Kau harus bisa hidup lebih lama darinya dan menjaga orang-orang yang kau sayangi dengan tanganmu sendiri” tiba-tiba saja aku merasakan suatu semangat yang meletup-letup setelah mendengar kalimat terakhir Four.
            “Hm...”aku menghela napas,”...jadi memang harga mati ya?”
            “Sedari kita dilahirkan pun kita tidak memiliki pilihan untuk tidak dilahirkan. Semua bagian dari hidupmu adalah harga mati, Erie” Four mengacak-acak rambutku. Sepersekian detik aku merasa Four jadi lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkinkah ini hasil tempaan medan perang?
            “Terima kasih untuk semuanya, Four” aku merangkulnya lalu menepuk pundaknya.
            “Aku tidak akan memaksamu untuk memilih jalan yang sama denganku, tapi lakukan yang terbaik yang bisa kau lakukan selagi kau masih memiliki semuanya. Jangan sampai kau menyesal setelah kau kehilangan” katanya lagi. Kali ini ia tersenyum lebar.
            “Ya...aku akan ingat kata-katamu”
            Aku tidak pernah menyadari bahwa pembicaraanku dengan Four sore itu akan menentukan akhir dari kehidupanku nantinya.


Next part :

[Rising Force] The Beginning to The New World part IV

disclaimer:

CCR INC Soul and Spirit
LYTO

*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition

“RF Online Indonesia”

No comments:

Post a Comment