Friday, August 31, 2012

[Rising Force] The Beginning to The New World part VII



VIII.
            Ibu memberikan kabar tentang penerimaan siswa akademi baru untuk Biro Penelitian. Aku melihatnya begitu semangat ketika membangunkanku pagi-pagi buta. Di tangannya sudah ada selembar kertas form untuk diisi. Aku masih setengah sadar saat Ibu menjelaskan apa-apa saja persyaratannya. Entah dari mana ia mendapatkan info sepagi ini.
            Belakangan Ibu sibuk mempersiapkan persyaratan yang harus aku kirimkan. Sebenarnya, yang akan ikut training itu aku atau Ibu? Kenapa jadi ia yang begitu berapi-api mempersiapkan semuanya. Ia pun sudah menyuruhku mengepak barang dari jauh-jauh hari. Aku hanya bisa menurut dan mengikuti apa yang Ibu inginkan. Lagipula aku tidak memiliki pilihan lain—tidak diberikan kesempatan untuk memilih tepatnya. Tapi aku terima saja, tujuanku adalah membuat Ibu bangga. Setidaknya saat ini hanya aku yang memiliki potensi untuk masuk Biro Penelitian. Kedua adikku masih meneruskan sekolahnya. Sepertinya mereka tidak memiliki niatan untuk bekerja di pemerintahan, kalaupun iya, pasti bukan Biro Penelitian.

            Tapi di hari-hari terakhirku berada di dome, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dan sebelum kepergianku, aku sempat datang ke Anta de Notre, hendak memberikan hadiah untuk Tuan Shedir sekaligus berpamitan padanya.
            Aku mengetuk pintu luar Anta de Notre. Aku harap Tuan Shedir belum terlelap. Dan beberapa saat kemudian pintu terbuka. Wajah tua dengan janggut keputihan itu menyambutku dengan senyum.
“Oho, itu kau Valerie, masuklah...” ia mempersilakanku masuk,”Ada apa kau datang malam-malam begini?” tanyanya. Ia berjalan ke arah pintu yang membatasi perpustakaan dengan dome pribadinya, aku pun mengikutinya. Masih terdiam.
“Baiklah. Pasti ada sesuatu. Kau mau menceritakannya padaku?” tanyanya.
“Hm, sebenarnya saya hanya ingin memberikan ini pada anda, Tuan. Jangan berpikir kalau hadiah ini adalah hadiah perpisahan saya, karena saya tahu, saya belum tentu lolos ujian masuk akademi Biro. Ini hanya sebagai ucapan terima kasih saya pada Tuan. Selama ini Tuan Shedir sudah mengajarkan banyak hal pada saya dan...” aku mengeluarkan sesuatu dari tasku; buku miliknya yang waktu itu ia pinjamkan padaku,”...saya hendak mengembalikan ini pada anda. Berkat buku ini, ilmu saya bertambah. Terima kasih sudah meminjamkannya pada saya, Tuan. Tapi sepertinya saya tidak akan membutuhkannya lagi” kataku, sedikit berat mengembalikannya. Tuan Shedir hanya terdiam melemparkan pandangannya pada buku besar tuanya dan padaku secara bergantian.
“Ambil saja untukmu” katanya sembari tersenyum. Ia berbalik dan pergi ke dapur.
“Tapi  Tuan...” aku mengikutinya menuju dapur. Aku melihatnya sedang membuat teh pucuk mawar kesukaan. Ia membuat dua gelas.
“Duduklah. Aku ingin bicara padamu” ia duduk sembari menaruh kedua gelas itu di meja kayu oak-nya. Aku pun duduk di seberang meja, berhadapan dengan Tuan Shedir. Ia menaruh sebuah gelas ke dekatku lalu meminum miliknya. Aku hanya menatapnya takut—takut kalau ia tersinggung dengan sikapku.
“Tuan, saya...”
“Kau tidak berbuat kesalahan, Valerie. Jadi jangan minta maaf. Maaf hanya untuk orang yang bersalah” katanya seakan tahu apa yang hendak aku katakan sambil masih asik menyesap tehnya. Aku tertunduk, diam, “Kau tidak ingin pergi ke Biro Penelitian bukan?” tanyanya lagi. Pertanyaan yang langsung pada inti masalah. Tapi aku masih terdiam, tidak tahu apa yang harus aku katakan.
“Kau memiliki kemungkinan yang besar untuk bisa masuk Biro Penelitian, aku tahu itu. Kau dan orang lain pun tahu itu. Tapi hatimu yang berkata itu bukan tempatmu. Iya kan? Tolong jangan puji aku jika tebakanku benar” ia terkekeh sembari mengusap-usap janggutnya. Aku meringis.
“Valerie, semua yang diberikan Decem kepadamu adalah anugerah. Semuanya bisa menjadi jalanmu untuk mewujudkan apa yang Ia cita-citakan. Aku tahu kau sudah mengasah semua kemampuanmu itu. Tapi lagi-lagi kita harus memilih jalan mana yang kita harus pilih. Ingat, fokus. Dengan fokus, kita akan tahu apa tujuan dan apa yang harus kita lakukan. Kita akan bersungguh-sungguh untuk itu” ia menghela napas lalu melanjutkannya lagi,”Kau selalu memiliki pilihan untuk menjalani hidupmu. Bahkan pilihan untuk tidak memilih pun ada untukmu, dan yang aku lihat sekarang kau sedang bimbang untuk memilih sebuah pilihan atau tidak sama sekali”
“Saya hanya tidak ingin mengecewakan Ibu saya. Saya juga ingin menjadi seperti Ayah saya, menghabiskan sisa waktunya untuk mengabdi pada Decem hingga titik darah terakhirnya” mataku mulai perih karena mengingat yang satu itu.
“Kalau kau ingin menangis, menangislah. Kau bukan seorang Accretia yang tidak memiliki kelenjar air mata, jadi selama kau memilikinya jangan takut untuk menggunakannya. Kau diciptakan dengan hati yang bisa bersedih, bersyukurlah karenanya. Dilanda kebingungan adalah hal yang wajar di dalam hidup, apalagi di usia sepertimu. Aku juga dulu pernah seperti itu, kau tidak lupa kan kalau aku pernah muda?” ia sedikit bercanda, terkekeh lagi. Aku pun tersenyum kali ini mendengarnya,”Tapi ketahuilah, masalah mungkin saja datang dan menggerogotimu dari dalam tapi ia ada untuk menguatkanmu. Kau tahu, ada penyair yang berkata bahwa seseorang yang paling kuat bukanlah orang yang bisa mengalahkan beribu-ribu musuh di medan perang, melainkan orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri, Valerie” diam sesaat lalu ia menyesap tehnya.
“Mari kita buat ini jadi lebih mudah untukmu. Hidupmu adalah hidupmu. Semua orang bisa saja jadi bagian di dalamnya. Tapi yang mempunyai kendali terhadap hidupmu hanya dirimu sendiri. Apapun yang kau ambil sekarang, baik atau buruk, kau yang akan menikmatinya nanti. Jadi intinya...”
“Dengarkan hatiku” kataku melanjutkan kata-katanya. Ia tersenyum,”Tepat sekali” ia mengacungkan jempolnya.
“Apa kau pernah mencoba berkomunikasi dengan Ibumu untuk masalah yang satu ini?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Aku tidak mau membuatnya marah. Aku hanya mengiyakan apa yang ia kehendaki”
“Ah,mungkin di situ letak kesalahanmu. Untuk menyampaikan apa yang kau rasakan saja segan. Kau melakukan dua kesalahan sekaligus. Pertama, kau tidak jujur pada dirimu sendiri kedua kau tidak jujur pada orang lain. Diam tidak selalu bisa menjadi jalan keluar, Valerie” katanya lagi. Aku menghela napas.
“Sepertinya aku yang membuat semuanya menjadi sulit. Hm, terima kasih Tuan Shedir” kataku mengangguk kecil.
“Ah, akhirnya kau sadar. Tapi ingat, jangan menyalahkan dirimu secara berlebihan. Sekarang...minum tehmu dulu. Itu sudah membeku” ia lagi-lagi mencoba membuatku tertawa, dan kali ini aku memang tertawa.
“Malam ini habiskan waktumu untuk berpikir dan keesokan hari kau bisa pergi ke mana kau harus pergi”
“Hm...Tuan Shedir, maukah kau membantuku?”
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyanya sembari mengusap-usap janggutnya. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasku.
“Tolong isikan kolom persetujuan wali untukku. Aku mohon. Aku tidak tahu harus memintanya pada siapa selain kepadamu” aku menyodorkan selembar kertas kepadanya. Ia melirik kertas itu lalu tersenyum.
“Apa kau sudah memikirkannya dengan matang?” tanyanya. Aku menatap matanya.
“Iya, aku siap menanggung semuanya. Karena ini pilihanku, Tuan Shedir” kataku mantap. Ia tersenyum lalu pergi ke ruangannya mengambil sebuah pena. Aku melihat ia menulis sesuatu di sana.
“Ini....jaga baik-baik kertas ini” ia menyerahkan kertas itu padaku, aku tidak membaca apa yang ia tulis. Aku percaya padanya. Aku melipat dan memasukkannya ke dalam tas.
            Aku pamit undur diri dari hadapannya. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya. Di ambang pintu perbatasan dome dan Anta de Notre-nya, ia menyuruhku menunggu untuk beberapa saat. Ia hendak memberikan sesuatu padaku.
            Setelah menunggu beberapa saat, ia kembali dari dalam  ruangannya. Ia memberikan sebuah kotak berkilau—yang sepertinya terbuat dari permata—berwarna putih.
            “Ini...adalah barang peninggalan istriku. Jaga baik-baik. Aku tahu kau orang yang tepat untuk ini. Karena jiwanya tersimpan dalam dirimu. Semoga ia turut menjagamu dengan ini” ia menatap kotak berkilau yang ia taruh di tanganku. Tatapannya nanar tapi aku lihat seulas senyum tulus di wajahnya.
            “Tuan...” aku melihat air matanya mulai jatuh. Ia terkekeh lalu memelukku.
            “Tidak apa-apa, Valerie. Aku baik-baik saja” lalu terdiam sejenak,”Kau... sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. Jaga dirimu baik-baik di sana. Dan berjanjilah satu hal padaku” ia melepaskan pelukannya lalu menatapku lurus,”Tolong, hiduplah lebih lama dari istriku. Aku tahu kau wanita yang kuat”
            Mataku pun mulai berkaca-kaca tapi aku menganggukkan kepala dengan mantap.
            “Aku tidak akan mengecewakan anda, Tuan Shedir”
            Aku pun melangkah menjauh dari Anta de Notre sementara Tuan Shedir masih menunggu hingga bayang-bayangku hilang di kegelapan malam.

Next part:
[Rising Force] The Beginning to The New World part VIII

disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO

*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition “RF Online Indonesia” “RF Online Indonesia”

2 comments:

  1. bang ni cerita ada versi PDFnya g?? boleh dong kalo ada... buat baca2 j kok, g kira aku share. kl ada, kirim via email y... makasi mas bro... :)

    ReplyDelete
  2. @dagip sementara baru dibuat versi word nya bang. Tunggu aja ya update-nya terus^^ btw emailnya apa ya masnya? -.-a

    ReplyDelete