Wednesday, August 28, 2013

Cerita di Suatu Dini Hari

Pembicaraan di suatu dini hari. Awalnya tidak hendak bersajak, tapi akhirnya kita malah mempermainkan kata sambil bercerita.

“Eh sesekali dengerin suara angin, enak loh. Apalagi pas hari terik :’)
Mungkin itu pertanda baik~"

"Dan dedaunan mulai berbisik. Membawa pilu barang sedetik”

“Lantas  apa yang kau dengar selain itu? Hanya pilu?”

“Dan genderang girang, yang saling bertalu. Mungkin saling bersahut. Seperti raja rimba yang kini terpagut. Yang tadinya tertawa. Bagai samudra yang menari-nari di bawah cakrawala”

“Ah,tapi tempatku menikmatinya tak seluas itu. Tak seramai itu pula. Ada pinus-pinus, terik matahari siang dan hari berangin yang ditata. Terik tapi tak sepanas yang kau kira. Teduh, sungguh. Seperti tanya ‘Bahagiamu sederhana bukan?’ Lalu keteduhan itu aku temukan pada sepasang mata. Seakan menjawab pertanyaan hari tadi”

"Maka biarkanlah bernyanyi. Bernyanyi hingga pagi enggan sepi. Bernyanyi hingga mentari berdansa dengan awan, bawa terbang ragammu ke tempat terindah. Ke tempat yang bahkan sukamu asing menginjaknya. Teriak sekencang-kencangnya. Hingga suaramu sendiri tak sanggup mendengarnya"

"Aku ucapkan selamat datang bahkan. Juga pada rindu-rindu yang mungkin mengintip dari sela ingatan, minta diucapkan. Senang bisa mensyukuri keberadaan seseorang dalam kesedehanaan sebuah pertemuan. Mungkin ada yang menculik jiwaku waktu itu. Bahkan aku tak sadar aku malu. Bodoh ya? Mungkin. Hanya saja hati tak pernah sejujur itu. Ah, aku bahkan tak lagi bisa bedakan mana kagum, senang, duka terbungkus cinta atau cinta yang sebenar-benarnya."

"Pembeda hanyalah fana yang membuat kita fana"

"Lantas apa? Tak perlu tahu itu apa?"

"Hanya bisa disadari. Tak mau dirasa"

"Antara takut atau bangga"

"Apa perlu kau tahu semesta ada di mana?"

"Aku rasa ada di mana-mana"

"Aku tak mau tahu"

"Aku punya. Kau juga punya. Kau tahu itu"

"Yang aku tahu aku punya semesta. Kau punya semesta. Kitalah semestanya"

"Hm, mungkinkah seperti rasa-rasa itu? Pada akhirnya melebur. Lantas mereka jadi apa kalau tak ada pembeda-beda? Tak ada yang sama bukan di dunia ini? Bahkan untuk sebuah rasa"

"Mereka hanya akan menjadi satu. Mereka akan jadi cinta. Kau mencintai rasa. Itu yang membuatmu bisa merasa"

"Tapi cinta itu warna-warni. Tak sama walau satu nama. Cinta tak punya satu makna. Dan aku tersesat di sana. Di antara rasa yang kau bilang aku rasa-rasa"

"Aku tahu jawabnya. Dan kau juga pasti tahu"

"Ah, aku tak tahu..........atau mungkin aku sedang pura-pura tidak tahu ya? Atau aku sengaja tersesat?"

"Tak mengapa. Cinta itu juga kerap pura-pura"

"Pura-pura seperti ingin tapi tak ingin? Mungkinkah karena sesuatu harus pura-pura? Mungkin karena tabiat manusia yang seringkali menikmati sensasi, atas diri sendiri. Termasuk saat ia tersesat dan berusaha untuk tak sadar. Tak ingin sadar, bahkan"

"Memang lebih baik seperti itu. Biarkan saja, jangan hentikan kesenangan itu"

"Makanya manusia senang mabuk, ya kan?"

"Ya. Karena mereka tak ingin sadar. Mereka tak ingin sadar kalau mereka mencintai hidupnya"

"Itu salah satu bentuk kebahagiaan bukan? Mungkin harus kita amini konsep 'Bahagia itu Sederhana'."

"Ya, aku setuju. Dan artinya, cinta juga sederhana"

"Harusnya"






Insan Kamalia R.

Tuesday, August 27, 2013

Teriak

KENAPA PERGI MENGHIBUR DIRI BISA TAPI MEMBIARKAN SAYA SENDIRI BEGITU SAJA?!

JADI CUMA PEDULI DENGAN DUNIAMU SENDIRI?

LANTAS AKU INI SIAPA?!

MENDENGARKAN PUN KAMU TIDAK, APALAGI MENGERTI?!

Mungkin nanti atau entah kapan, pelan-pelan aku pergi. Tanpa kamu sadari.



NB : kalau kamu terus begini.

Teduh dan Terik

Hari ini hari pertamanya masuk kuliah setelah sekian lama ia menikmati banyak waktu-waktu sendiri di dalam kamar. Hari ini hari pertamanya bertemu dengan teman-teman lagi serta junior yang tahun ajaran ini baru menyandang status sebagai 'Mahasiswa Baru'. Tapi bukan masalah itu yang hendak aku ceritakan tentangnya.

Ini tentang bagaimana ia mencuri dengar tentang kebahagiaan kecil yang akan ia dapatkan hari itu dan konsep kesederhanaan dalam bahagia itu sendiri.

Siang tadi.
Terik. Berangin. Semua campur satu. Antara panas dan teduh beradu, minta lebih unggul terhadap satu sama lain. Ia menunggu sahabatnya di depan sepetak tanah parkiran yang lebih mirip hutan karena banyak terdapat pohon pinus di sana. Orang-orang memanggilnya 'Parkiran Hutan'.

Hari itu memang panas. Tapi anginnya menyejukkan. Senangnya bisa menghirup udara setenang itu. Lalu.....wush~
Anginnya menerpa dedaunan pinus yang mulai bergemerisik. Orang biasa mungkin akan mendengarnya sebagai terpaan angin semata, tapi tidak dengan wanita itu. Ia mendengarkan sesuatu di sana, seperti bersenandung. Bukan sendu, hanya hal lain yang menenangkan, mungkinkah rindu? Ah, jangan bicara rindu sekarang.

"Kamu dengar itu?" tanyanya pada sahabatnya yang sedang susah payah mengeluarkan motornya dari parkiran yang jalannya berundak karena ada akar pinus di sana-sini.

"Apa?" sahabatnya mematikan motor, mencoba lebih awas akan pendengarannya,"Suara angin?"

"Bukan. Lebih dari itu. Aku dengar nyanyiannya bahkan" ia memejamkan mata barang sesaat. Mungkin sedang merasa-rasa akan sesuatu.

Aku pernah merasa seteduh ini. Dulu, waktu aku mengagumi seseorang.
'Kapan?
Dulu, sudah lama.
'Hm, bahagia sederhana kan?'
Mungkin...

"Temani aku dulu beli file holder. Lalu aku antar kamu pulang" kata sahabatnya mengusik tanya-jawabnya dengan diri sendiri.

"Tentu" ia naik ke jok belakang.

Tapi selalu ada saat di mana kita tidak bisa menentukan apa-apa saja yang harus kita lihat, rasa dan sesali.
Sepasang mata dari arah arus berlawanan menatap tepat pada matanya. Mata yang tak asing lagi untuknya. Mata yang dulu ia perhatikan dari jauh dalam jarak. Mata yang berdiam di balik kacamata bening yang memperlihatkan tatapannya yang masih sama.

Sepersekian detik ia sadar lalu buang muka begitu saja.

 Aha, mungkin hari sudah menjawabnya dengan lantang pertanyaan dirinya tadi.

'Bahagia sederhana kan?'

Aku tahu, saat itu juga ia ingin berteriak,"Ya"

Desauan tadi pertanda rupanya. Ia yang sudah membawa rindu-rindu yang terlupakan atas perasaan kagum yang pernah ada.

"Kamu lihat orang itu?" tanyanya setengah histeris pada sahabatnya,

"Siapa?"

Ia hendak mengatakan siapa. Tapi urung. Ah, sudahlah. Ia ingin menikmati bahagianya yang singkat itu dengan cara yang sederhana; merasa-rasa. Bahkan dulu, lelaki dengan tatapan itu pernah ada dalam hidupnya. Memberi sedikit teduh di harinya yang terik. Mungkin masih hingga kini. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya.

Tapi saat mereka berdua berlalu, aku lihat wanita itu masih terpaku. Tersenyum. Mungkin sedang mengamini, bahwa bahagia itu sederhana. Tatatapan mata yang bertemu. Ya, bahagianya sesederhana itu.



Insan Kamalia R

Monday, August 26, 2013

The Power of Admiring : Ketika Kamu Mengagumi

Saya pernah singgung mengenai hal ini sebelumnya : Mengagumi seseorang.

Mungkin orang lain yang tidak pernah tahu rasanya letupan-letupan perasaan semacam itu akan berkata, "Oh...itu" atau "Yak elah lu..."
Tapi, menjalaninya tidak semudah mengatakan "Oh...itu" atau "Yak elah lu...". Butuh usaha ekstra dan kesabaran tingkat dewa untuk bisa menjalaninnya, ditambah...beberapa skill untuk bisa berhasil menjadi seorang pengagum yang berbudi luhur tentunya. Dan yang paling utama adalah mental sekuat baja untuk bisa menerima kenyataan (yang seringnya) pahit.

Ada plus minus dari kegiatan yang satu ini.

Sisi positifnya jadi pengagum itu :
- Melatih rasa keingintahuan kita. Kita akan selalu ingin tahu mengenai sesuatu (apalagi tentang orang yang kita kagumi itu), seperti saat kita begitu ingin tahu tentang kehidupan orang yang kita kagumi. Kita bisa mencari tahunya lewat akun social media yang ia punya. Hanya dengan mengetik namanya di Google, kita bisa langsung mendapatkan data-data yang kita inginkan lewat social media yang ia ikuti (dengan sortir data terlebih dulu tentunya)

- Dengan meningkatkan keingintahuan akan sesuatu, kita akan menjadi lebih jeli dalam hal menganalisa. Apa-apa yang kita temukan dari data-data tadi, kita bisa simpulkan satu persatu dan membuat catatan sendiri mengenai seseorang yang kita sukai. Dari tanggal lahir sampai ukuran sepatu pun mungkin bisa didapatkan lewat hasil menganalisa. Bahkan kita bisa membuat timeline sendiri tentang kejadian-kejadian yang di alami orang yang kita kagumi itu.

- Kalau sudah berhasil membuat catatan dari hasil menganalisa, kita akan mampu mengkritisisasi kejadian di sekitar kita dan tidak bertindak semena-mena tanpa pikir panjang. Kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi lewat analisa kita pada data-data sebelumnya. Kita pun tidak akan semena-mena jika terjadi kabar miring tentang orang yang kita kagumi.

- Selain ketiga kemampuan di atas, kita juga bisa mengasah kemampuan berakting kita. Jika orang yang kita kagumi adalah seorang yang dekat dengan kita, kita bisa berpura-pura tidak memiliki perasaan apa-apa, meski nyatanya setengah mati kita senang berada di dekatnya. Tapi sebisa mungkin, kita ingin terlihat cool di depan orang itu dengan bertindak senatural mungkin, seapa-adanya diri kita sendiri (seperti pada saat tidak memiliki perasaan apapun pada siapapun).

Namun dari hal positif di atas, menjadi seorang pengagum pun memiliki sisi negatifnya seperti :
- Karena terlalu fokus dengan 'riset', kita bisa lupa terhadap diri sendiri. Kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk mencari kegemaran dan apapun yang berkaitan dengan orang yang kita kagumi, tapi di saat yang bersamaan kita mengabaikan diri sendiri untuk bahagia. Bahagia dalam arti kata benar-benar menyenangkan diri sendiri dengan membuat quality time atas diri sendiri. Sesekali kita bisa berhenti (bahkan butuh berhenti) demi menciptakan me-time dengan kualitas terbaik. Kita bisa menghargai diri sendiri atas usaha kita sejauh ini dengan sekotak besar es krim, mungkin?

- Karena terlalu banyak keingintahuan kita, kita bisa saja berkutat dalam jangka waktu yang lama dengan 'riset' tersebut. Ini sama saja dengan tidak produktif. Padahal, sebenarnya masih banyak hal di luaran sana yang butuh kita kerjakan dan kita perhatikan. Come on, kita punya dunia juga. Untuk apa menghabiskan waktu terlalu banyak untuk hal yang (bisa saja) sia-sia di lain waktu?

- Karena terlalu gigih dalam melakukan 'riset' kadang juga membuat impact yang sedikit 'ih' buat orang lain, (terutama) mungkin untuk mereka yang kita kagumi. Well, di sini kita harus pintar-pintar menempatkan diri. Kita memang pasti melakukan 'riset' secara terang-terangan tapi hormati ruang pribadi orang lain ya, guys. Sesuka apapun kita sama seseorang atau sekagum apapun itu, usahakan (sebisa mungkin) untuk menghormati ranah pribadi orang lain. Jangan sampai dicap psycho karena saking seriusnya melakukan 'riset'

Well, yeah...as you see. Selalu ada plus minus dari apa-apa yang kita kerjakan. Mungkin bagi kita hal itu sangat amat penting untuk dilakukan tapi mungkin tidak untuk orang lain. Lagi-lagi, kita harus pintar-pintar menempatkan diri. Mengagumi orang itu nggak salah kok, cuma kadang yang salah itu caranya. Sekali lagi, kita harus ingat-ingat bahwa orang lain pun butuh privasi. Jadi jangan terlalu ngudek-ngudek kalau orangnya tidak mengizinkan. Toh, informasi bisa kita dapatkan dari mana saja bukan?

Saya sendiri yakin, yang namanya pengagum itu pasti melakukan segala cara untuk meng-kepo-i orang yang ia kagumi. Selama masih dalam batas wajar, it's okay. Yang bahaya itu kalau sudah menganut paham 'menghalalkan segala cara'.

Jadi, kalau ada yang bertanya, "Lantas apa yang dimaksud dengan The Power of Admiring?"
Mungkin jawabannya ini :
Karena dengan mengagumi, kita bisa sampai melakukan hal-hal tersebut di atas. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita bisa membuka potensi diri kita tersebut untuk hal-hal lain yang lebih positif, seperti menuntut ilmu, menjalani hobi dan lain-lain. Bahkan sampai lupa diri sendiri pun bisa terjadi pada siapa saja karena alasan mengagumi seseorang. Padahal kita bisa melakukan hal itu (melakukan riset tentang apa yang orang lain suka dan tidak suka), kenapa tidak kita implementasikan pada diri kita sendiri terlebih dahulu? See...kita bisa melakukan banyak hal baik dari mengagumi.
Perasaan campur aduk macam ini yang membuat saya merasa senang melakukannya :) Selain itu, saya juga bisa belajar menyayangi seseorang dari jauh. Hal apa lagi yang lebih menyenangkan dari menikmati perasaan sayang dan bersyukur atas keberadaan seseorang yang kita kasihi? Yep, The Power of Admiring.

Selamat Mengagumi lebih jauh lagi. Selamat Bersyukur lebih banyak lagi atas diri sendiri!!


Insan Kamalia R.
For those admirers out there. We share the same spirit in ourself :') Keep loving, keep admiring. XOXO.


Sunday, August 25, 2013

Aku habisi hari ini dengan tenang tanpa harus memikirkan sesiapa akan 'mengganggu' hariku. Tapi hanya seorang saja yang buat aku rindu.

"Hai, kamu" sapaku lewat chat saat lihat namanya online.

"Kamu di tempat biasa?" ia menjawab sapaanku dengan pertanyaan. Aku tahu ia punya banyak pertanyaan tentang bagaimana aku bisa online di jejaring sosial ini saat aku tidak punya cukup modal untuk menghubunginya dan laptop adikku yang baru saja ia ambil kembali dariku.

"Iya. Kenapa?"

"Pulang jam berapa?" ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya.

"Kira-kira jam sepuluh. Kenapa?" tanyaku lagi.

"Ah, padahal aku mau telepon. Huh, gak jadi deh" rajuknya di sana.

"Ya sudah, besok pagi aja" kataku mencoba memberikan pilihan.

"Gak usah. Aku besok mulai kuliah" mungkin kalau ia bicara saat ini, aku tahu nada dan intonasi seperti apa yang ia gunakan.

"Aku juga besok ke kampus. Memang kenapa gak telepon besok aja?"

"Aku mau cerita sekarang. Ya sudahlah, aku cerita sama orang lain aja" aku merasa tidak bisa berada di tempat dan waktu yang tepat dengannya. Aku tahu, ia malas menggangguku saat di keramaian macam ini. Ia juga hafal betul aku bukan seorang multitasker sejati. Tapi aku juga tidak rela kalau ia punya tempat bercerita dan berkeluh kesah selain aku.

"Siapa?"

"Ya siapa aja yang bisa aku hubungi. Kamu gak ada dalam daftar" katanya nyinyir.

"Ih, kok gitu banget sih" aku mencibir.

"Ah, padahal aku harap kamu bisa jadi temen ngobrol aku sekarang. Tapi kamu begitu; selalu mematahkan ekspektasiku. Terima kasih banyak ya" lagi-lagi ia bicara dengan majas ironi.

"..."

"Ya sudah, nikmati saja sisa malammu ya. Selamat malam, Lelakiku" katanya, lalu offline. Aku menghela napas. Aku baru saja akan mengetik, "Maaf ya" tapi aku rasa ia sudah terlalu banyak makan maafku.

Lantas, malam ini aku habisi dengan menyesapi sedikit rasa bersalah. Tapi ah, mungkin perasaannya sedang kacau. Aku tahu ia selalu butuh waktu untuk meredakannya terlebih dulu sebelum nantinya menceracau panjang lebar padaku. Tentang apapun itu.

Andai ada satu kali pesan yang bisa aku kirimkan padanya saat ini :

Selamat malam, Wanitaku. Maaf ya aku tidak bisa meminjamkanmu telingaku. Aku tahu apa yang sebagian ingin kamu katakan. Iya, aku juga rindu.



Insan Kamalia R,

Friday, August 23, 2013

Jangan Ceritakan Lagi Tentang Ayah

Jangan ceritakan lagi tentang Ayah.

Aku sudah cukup  muak mendengarnya. Lagi-lagi sendu, lagi-lagi rindu. Hatiku bisa membusuk kalau isinya cuma rindu dan sendu. Aku ingin sekali-sekali merasakan tawa lagi tanpa yang lalu-lalu diingat-ingat lagi. Aku ingin ikhlas untuk hidup tanpa ada lagi hitung-hitungan dengan Tuhan tentang kehilangan. Aku memang merasa kehilangan. Tapi Ayah bukan milikku. Ayah hanya satu dari berjuta titipan Tuhan padaku.

Ibu mungkin wanita yang kuat. Tapi tidak sekuat ketika ditinggal Ayah.

Aku lihat Ibu menangis.

Seumur hidup, aku jarang melihat Ibu menangis. Tapi yang kali ini saja, yang buat Ibu terlihat bak Juliet yang ditinggal Romeonya. Seperti Bella yang kehilangan Edward-nya. Macam roman picisan yang aku tonton di depan mata. Aku tidak pernah suka cerita cinta macam itu.

Tapi aku belajar sesuatu yang baru tentang cinta ; Mereka mencintai dalam diam, cemburu dalam diam.

Aku tak pernah lihat Ayah Ibu saling memuji satu sama lain. Tak pernah semanis seperti yang di film-film roman yang aku tonton. Apalagi Ayah seperti itu, tak pernah bisa serius. Ada saja lelucon darinya. Dan aku tumbuh dengan lingkungan cinta yang seperti itu. Tanpa pujian. Aku sempat bertanya-tanya kenapa Ayah Ibu tak pernah mengatakan hal-hal semacam "Aku sayang kamu" sekalipun pada anak-anaknya di suatu kesempatan. Tak aja juga lontaran perasaan bangga. Hingga aku ragu mana yang harus aku hargai dan mana yang tidak.

Setelah Ayah pergi, Ibu baru banyak cerita tentang Ayah. Sesempurna apa Ayah di mata Ibu. Aku tahu, Ibu sangat menyayangi Ayah. Bahkan sampai Ayah meregang nyawa dengan sakitnya pun Ibu tetap disisinya. Aku rasa, cinta macam itu yang bisa disebut sejati. Sampai Ibu bilang, Ibu tidak ingin bertemu sesiapa lagi selain Ayah di surga-Nya. Ibu ingin bertemu Ayah di sana.
Dan belakangan pun aku tahu, Ayah sering cemburu pada Ibu.

Aku tidak pernah berpikir untuk mencari lelaki macam Ayah sebelumnya. Tapi aku baru sadar, kalau lelaki yang aku sukai akan memiliki jejak-jejak Ayah di dirinya. Dan akan selalu begitu. Karena sedari dulu, aku hanya terpaku pada satu lelaki, yaitu Ayah.


Sekarang, hanya ada aku, Ibu dan dua orang adik perempuan di rumah. Tanpa Ayah.

Ada banyak hal datang setelah kepergian Ayah. Aku yakin Ayah tahu apa yang kami alami setelah Ayah pergi. Ada yang mengolok kami, ada yang tiba-tiba baik pada kami. Tapi ah, persetan tentang itu semua. Yang penting kami masih bisa hidup dengan uang halal, sisa jerih payah Ayah selama ini. Ibu pun mati-matian banting tulang untuk aku dan adik-adik. Iya, kami tahu...Ayah mewarisi seorang malaikat penolong untuk kami. Wanita itu yang sekarang mati-matian menghidupi dan membela kami saat ada yang mencoba mengganggu kami.

Tangan tak terlihat Tuhan pun turut serta di dalamnya. Aku merasa semakin terlindungi. Apa Ayah titipkan kami pada Tuhan sebelum Ayah pergi? Mungkin. Tolong sampaikan saja rasa terima kasihku pada-Nya, karena sudah menjadikanmu seorang ayah bagiku dan Ibu sebagai wanita yang aku panggil 'Ibu' untukku. Dan tolong sampaikan juga pada Tuhan, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Dari sakit hati, luka-luka, tawa hingga suka cita yang ada. Itu sebagian bahagiaku dariNya. Apapun itu. Karena aku yakin, Tuhan ingin mendewasakanku untuk menjadi seorang wanita yang kuat seperti Ibu, bahkan lebih baik darinya lewat keadaan yang seringkali kami persalahkan.

Sudah. Jangan ceritakan lagi tentang Ayah.

Kepergian Ayah memang bukan akhir dari hidupku, hidup kami. Ini awal yang baru untukku. Nanti aku akan tumbuh jadi wanita yang tak lagi merajuk. Aku akan jadi wanita yang bisa mandiri tanpa Ayah. Iya, hidupku akan membaik seiring dengan mendewasanya aku oleh waktu.

Tapi asal Ayah tahu, semuanya tidak akan lagi sama. Baik aku, Ayah atau lingkungan di sekitar kita.

Iya, aku cukupkan.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti ada lagi sendu dan rindu-rindu lainnya dariku untuk Ayah.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti hatiku yang membusuk karena membiarkan lagi Ayah hidup, dipikiranku.
Jangan ceritakan lagi aku tentang Ayah, atau nanti aku makin rindu. Aku ingin bertemu.



Insan Kamalia R.
Terima kasih karena sudah menyisipkan namamu di akhir namaku. Biar aku bawa, sampai nanti, sampai mati.

Be The Light


I listen to this song lately. It always be my bestfriend when I'm writing. It sounds like; 

"Hey, you still have a God to wish for. So, why should you feel so sad like you have nothing left? Actually, something worse sometimes happen in our life path but It's not a reason to stop or to say it's our final. No, not yet. We always have choices, we can decide how to live in tomorrow."

Taka’s intro to Be The Light from Jinsei X Kimi



Just the thought of another day
How did we end up this way
What did we do wrong, God?

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

Always weighing on my shoulder
A time like no other
It all changed on that day
Sadness and so much pain

You can touch the sorrow here
I don’t know what to blame
I just watch and watch again

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

Even though the days go on
So far, so far away from
It seems so close

What did it leave behind?
What did it take from us and wash away?
It may be long
But with our hearts start a new
And keep it up and not give up
With our heads held high

You have seen hell and made it back again
How to forget? We can’t forget
The lives that were lost along the way
And then you realize that wherever you go
There you are
Time won’t stop
So we keep moving on

Yesterday’s night turns to light
Tomorrow’s night returns to light
Be the light

Always weighing on my shoulder
A time like no other
It all changed on that day
Sadness and so much pain

Anyone can close their eyes
Pretend that nothing is wrong
Open your eyes
And look for light

What did it leave behind?
What did it take from us and wash away?
It may be long
But with our hearts start a new
And keep it up and not give up
With our heads held high

You have seen hell and made it back again
How to forget? We can’t forget
The lives that were lost along the way
And then you realize that wherever you go
There you are
Time won’t stop
So we keep moving on

Yesterday’s night turns to light
Tomorrow’s night returns to light
Be the light

Some days just pass by and
Some days are unforgettable
We can’t choose the reason why
But we can choose what to do from the day after
So with that hope, with that determination
Let’s make tomorrow a brighter and better day


It gives such a spirit to move on. Thanks for the writer of this song. I'll let Valerie listen to this song too. Hope she like it.


Insan Kamalia R.
Wonder if Novus has such a song like this.

Dialog Malam

Aku berdialog dengan malam atas sepi-sepi yang selama ini aku alami. Mungkin kira-kira begini :

"Haruskah aku salahkan diri sendiri hingga sejauh ini?"

"Untuk apa?" ia menyesap kopinya agar tetap terjaga. Ia tahu, pagi belum saatnya datang.

"Karena selalu merasa sepi." aku memainkan pasir di bawah kakiku.

"Lantas kamu hendak menepi?" aku mendengarnya menghela nafas, hingga awan-awan yang menutupi bulannya berarak menjauh.

"Mungkin. Atau terlebih dulu pergi lalu kembali."

"Buang waktu kalau begitu kamu selama ini."

"Kenapa? Salah aku mencari tempat berpulang yang tepat?" aku sedikit meninggikan nadaku.

"Apakah 'tepat' yang kamu maksud itu untuk kamu sendiri? Wanita terkadang bisa bertindak seperti ia yang selalu kalah, nyatanya ia yang selalu memenangkan diri atas lelaki." lalu aku dengar ia tertawa sinis. Aku dengar malam bisa begitu sinis padaku. Apa ia  seorang lelaki?

"Nyatanya memang aku yang selalu diam. Mendengarkan lebih banyak. Daripada hanya sekedar berucap sepatah dua patah."

"Mari kita tilik ke dalam hatimu, sudahkah kamu mengikhlaskan diri?" ia menghela nafas lagi, hingga lagi-lagi awan berarak menjauhi bulannya. Aku merasa lebih terang sekarang.

"Ikhlas untuk apa maksudmu?"

"Ikhlas untuk benar-benar membagi diri. Sudahkah? Pernahkah kamu merunut satu-satu darinya lagi? Apa-apa yang sudah ia bagi..."

"..."

"Aku tahu kamu menangis paling banyak. Menyendiri paling lama dan menyakiti diri paling sering. Tapi kamu ingat kan frase, 'Apa-apa yang datangnya dari hati, pasti bisa menyentuh hati yang lainnya'. Sudahkah kamu membebaskan diri untuk mencintai lebih panjang lagi? Lebih dalam lagi?"

"Kamu tahu, nampaknya aku masih butuh waktu. Untuk diriku sendiri. Untuk mengenali yang mana yang harus aku beri atau aku simpan sendiri."

"Dari awal, kamu memang kurang dewasa dalam menyikapi hal ini."

"Tak berhakkah meminta seorang pendamping yang memahami?"

"Kamu sendiri belum memahami dirimu sendiri, Sayang. Sampai-sampai kamu belum tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Sudahlah...pikiranmu itu terlalu berakar dan merambat ke mana-mana. Bebaskan...bebaskan dirimu sendiri dalam mencintai. Di sakiti dalam hal ini adalah hal yang wajar. Yang penting kamu sudah mencintai sepenuhi hati, tanpa takut tersakiti.

"...kamu tahu, aku tahu. Kita tahu hal itu." kepalaku tertunduk dalam.

"Aku paham betul. Meyakini diri untuk mempercayai orang itu memang tidak mudah. Tapi tidak ada yang mengatakan itu tidak bisa dilakukan. Dirimu itu lebih kuat dari yang kamu pikir. Bahkan aku tidak pernah berpikir kalau kamu bisa menjalaninya hingga sejauh ini. Dengan siapapun itu"

"Sudah layakkah aku untuk berbagi?"

"Selama kamu punya cinta, kenapa tidak?" ia mengacak-acak rambutku.

"Jadi aku harus meyakini diriku terlebih dulu, lalu mencintai, begitu?"

"Seperti itu. Dan....jangan pernah takut untuk berbagi. Kamu tidak akan rugi sama sekali. Tuhan itu Maha Melihat. Ia tahu apa-apa yang sepadan bagi makhlukNya. Ia pun seorang pecinta ulung yang selalu mengasihi meski seringkali dicacimaki oleh makhluk yang Ia sayangi. Lantas kenapa kamu tak mampu?"

"Aku bukan Tuhan. Sabar berbatas"

"Bukan perkara sabar. Kamu itu diciptakan dari secuil Dirinya. Di dalam sana ada kasih Illahi yang ia turunkan lewatmu untuk dunia disekitarmu. Kenapa tak kamu gunakan itu?"

"..." aku tertawa miris.

"Hm....manusia memang tempatnya lupa. Aku tahu itu...ehm, kita tahu itu"

"Iya...kamu benar. Aku yang masih takut mencintai. Aku yang masih takut memberi sepenuh diri. Bukan karena takut merugi, melainkan takut tersakiti."

"Akhirnya kamu tahu masalahmu di mana"

"Jadi..." aku mendongak menatapnya.

"Mulailah mencintai, sepenuh hati. Sepenuh diri, atas dirimu sendiri terlebih dulu. Lalu kamu beri orang lain sama banyaknya dengan yang kamu beri pada dirimu. Mencintai tak pernah sesulit ini saat kamu mengikhlaskan diri. Semesta tahu apa yang kamu cari. Laki-laki itu ada, ia hidup di belahan dunia mana...hanya belum menemukanmu. Mungkin" malam mengakhirinya dengan senyum yang tersungging lewat bulannya.

"Dan aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Terjaga hingga pagi datang membutakan mata dengan mataharinya."

"Kamu, wanita malam kesayanganku....lekas tidur!" malam mengusirku dari ujung jemari waktunya," Jangan lupa..."

"Apa?"

"Aku sayang kamu." katanya lagi, kali ini dengan terang bulan yang memancar lembut menyunggingkan senyum yang lagi-lagi ingin aku kulum bulat-bulat.

"Andai saja kamu lelakiku..."

"Jangan. Nanti kita tidak bisa bersama seperti ini lagi. Nanti siapa yang menemaniku menunggu pagi?" tanyanya manja seperti takut kehilangan.

"Aku akan selalu bersamamu. Dalam lelap ataupun terjaga. Aku sayang kamu." aku balas tersenyum.


Dan aku berakhir di sini sekarang. Di atas ranjang. Sebenarnya, aku masih belum ingin berpisah. Aku masih ingin merasakan sendu pilu. Tapi malam urung membiarkanku. Tak apa. Aku tahu, ia ingin mengecupku dalam lelap seperti kemarin-kemarin. Kalau ada hujan saat ini, mungkin aku akan berbisik padanya; "Aku takut ada cinta segitiga antara kita, aku, kamu dan malam yang selalu merajam. Aku cinta kalian. Tapi kalian bukan milikku seorang."

Selamat, Malam. Kamu punya sebagian dari cintaku. Dan akan selalu begitu.


Wednesday, August 21, 2013

Mengagumi Seseorang itu....

Entah harus dimulai dari mana.

Tapi perasaan macam ketemu bintang idola lagi-lagi memenuhi sisa malam saya. Bahagia? Sejenis itu.

Saya belajar dari masa lalu; kalau kagum sama seseorang, SAY IT.
Perasaan macam ini yang sebenarnya perlu dibebaskan. Kalau cuma dipendam, perasaan itu cuma bersarang di benak dan berdebu nantinya. Orang yang kita kagumi pun ngga akan tahu apa-apa. Kita pun sebagai pengagum nggak akan terlihat. Cuma mau jadi secret admirer doang? Oh please, ini udah 2013....sebentar lagi ada monorail di Jakarta (well, emang ga nyambung) tapi bisa dilihat positifnya jadi 'pengagum yang terlihat'; kita bisa secara lantang bilang kalau kita punya perasaan kagum pada orang tersebut (entah karena apapun itu). Dan orang itu pun tahu apa yang membuatnya dihargai di mata kita which is orang lain.

Rasa kagum juga bisa merubah seseorang yang bukan siapa-siapa jadi apa-apa.
Mungkin bisa lihat contohnya Nam di film A Little Things Called Love(2010) yang awalnya cuma seorang secret admirer dari seorang kakak kelas kece bernama Shone. Nam bukan siapa-siapa di sekolahnya, bahkan termasuk ke dalam jajaran anak kurang gaul. Tapi karena perasaan macam itu, dia berubah jadi Nam yang baru. Nam yang bisa dilihat Shone dengan sendirinya karena Nam yang seperti itu. Dan ia membuat langkah awal untuk dilihat sejak awal. Cuma karena ingin menyampaikan satu dua rasa yang mungkin ingin disampaikan.

Saya sendiri punya banyak pengalaman dalam hal mengagumi seseorang. Jadi seorang secret admirer pun pernah dilakoni (atau bahkan 'masih'? Haha~).
Dan jujur saja, memang ada kesenangan tersendiri dengan menjadi seorang secret admirer itu. Mengagumi seseorang tanpa diketahui. Tentu mereka yang sudah makan asam garam menjadi seorang secret admirer sudah kenal betul (bahkan bersahabat) dengan yang namanya 'Jarak'. Tapi lagi-lagi, tak terlihat. Dengan sangat menyesal saya harus ulangi kata-kata itu.



Kalau diputar lagi,  (mungkin) ada enam orang lelaki yang saya kagumi sepanjang sejarah hidup saya. Dari yang diam-diam sampai yang terang-terangan. Mari kita sepakati untuk tidak menyebutkan nama keenam orang ini di sini. Saya akan membiarkan mereka sadar dengan sendirinya kalau-kalau ada salah satu dari mereka membaca tulisan ini. Cukup saya, mereka dan Tuhan yang tahu saya pernah (dan atau masih) mengagumi mereka sampai saat ini.

Di mulai dari yang pertama. Tentu saja saya akan bilang Ayah saya. Ia akan selalu jadi laki-laki nomor satu di hidup saya. Semasa hidupnya saya mungkin tidak pernah mengutarakan langsung kekaguman saya padanya. Tapi saya melihat dari dekat apa-apa saja yang sudah ia capai hingga nafas terakhirnya. Ia mungkin bukan siapa-siapa untuk dunia. Tapi ia 'seseorang'di dunia saya. Ia laki-laki pertama yang saya analogikan sebagai Hujan. Iya, kita tahu hujan seperti apa bukan? Dingin, tapi bagi saya Hujan punya kehangatannya sendiri. Ayah pun begitu. Mungkin orang lain melihatnya sebagai sosok yang menakutkan, tapi nyatanya Ayah adalah seorang yang hangat dan penuh canda. Ayah bahkan senang melucu. Karena sifatnya yang seperti itulah yang membuat Ayah mudah dicintai. Iya, Ayah is so lovable for me :'D

Kedua, adalah kakak kelas saya semasa SMP. Seorang senior di klub basket. Pemain favorit saya kala itu. Kemampuannya itu yang membuat saya menjadi seorang pemain yang lebih handal lagi. Bahkan sempat saya hendak ditarik untuk jadi tim inti, namun kurang dapat persetujuan dari Ibu saya -_- Tapi bisa dilihat, karena keinginan yang kuat untuk bisa menyamainya, saya jadi bisa (hampir) masuk ke tim inti.
Anehnya, ia selalu ada di tempat-tempat yang saya jejaki. Banyak kebetulan yang saya temui padanya. Entah kesamaan diri atau kesamaan hal yang disukai. Dan semua kesamaan itu ada tanpa dibuat-buat. Saya sendiri heran waktu itu. Tapi saya percaya, ketika kita mengagumi seseorang atau memiliki suatu perasaan padanya, kita akan berada di gelombang yang sama dengan orang itu hingga membuat terjadi banyak kebetulan di diri kita dan orang itu. Setidaknya saya masih mempercayai hal ini sampai sekarang dengan orang-orang yang saya kagumi dan sayangi. Orang ini juga yang membuat saya sadar bahwa di dunia ini perasaan memiliki itu tidak harus dipuaskan. Karena jarak bisa jauh lebih baik ketimbang berada di dekatnya. <<<< pikiran macam ini yang waktu itu membuat saya membusuk jadi seorang secret admirer. Hanya mampu memendam dan memberi perhatian diam-diam.Padahal apalah artinya itu kalau orang itu pun tidak menyadari diri kita?
Dan....karena perasaan pada orang ini juga saya mampu membuat sebuah lagu :')
Ah, masa-masa itu.....menyadarkan saya bahwa saya tidak muda lagi.

Ketiga, lagi-lagi kakak kelas saya. Hanya saja tingkatannya sudah SMA. Iya, dia kakak kelas saya. Seorang gitaris band sekolah beraliran jazz. Petikan gitarnya itu menyihir sekali. Saya selalu suka permainan gitarnya. Saya selalu berusaha berdiri paling depan kalau sudah waktunya ia tampil di acara-acara sekolah yang menampilkan band-nya sebagai pengisi acara. Dan karena orang ini, saya ingin bisa bermusik lebih baik lagi. Saya jadi mulai sering menulis lagu. Dan lagu tentang secret admirer itu baru rampung ketika saya melihat kakak kelas yang satu ini bermain musik dengan apiknya. Terimakasih untuknya atas petikan gitar yang bisa memberikan semangat berkarya.

Oh iya, saya baru meyadari bahwa kesamaan dari keduanya adalah keduanya adalah lelaki berkacamata. Semenjak itu saya sadar, tipe kesukaan saya yang semacam apa. Hahaha ^^a

Keempat, kali ini adalah adik kelas semasa SMA. Anak ini mirip artis Korea yang waktu itu tengah saya gandrungi. Tapi.....tak ada yang terlalu istimewa dari anak ini. Yang saya ingat, karena anak inilah saya jadi sempat perang dingin dengan teman saya karena punya perasaan yang sama. Well,  kita bisa ambil contoh yang satu ini. Bahwa mengagumi diam-diam pun kerap kali ingin memiliki sendiri. Jadi, intinya.....tak ada yang benar-benar tidak ingin memiliki, bukan? Sudah menjadi fitrah manusia kok, kalau ia diinginkan dan menginginkan sesuatu.

Dan yang terakhir adalah seorang penulis berkacamata yang selalu sendu. Ia seorang laki-laki yang gagal move-on. Setidaknya itu yang ada di dalam benak saya. Ironisnya, kata-katanya itu bisa dinikmati ketika ia sedang patah hati. Jadi, setiap hari ia mencoba untuk jatuh cinta dipagi hari dan patah hati ketika malamnya. Dan begitu terus setiap hari. Iya, saya mengerti, ia hanya bisa menulis ketika ia patah hati.Makanya ia menjaga perasaan itu tetap ada supaya bisa terus menulis.
Yang saya kagumi darinya adalah, ia berhasil mengirimkan emosi pada pembacanya. Ia sukses menyisipkan emosi dan pikirannya dalam kata-kata yang ia tulis. Menurut saya, seorang penulis bisa dikatakan sukses adalah ketika pembacanya bisa merasakan dan ikut masuk ke dalam semestanya...ke dalam dunia yang ia ciptakan lewat kata-kata. Karenanya, saya punya semangat untuk bisa menulis lebih bagus lagi. Syukur-syukur bisa lebih baik darinya.
Dan kamu tahu, mendapatkan dukungan dan semangat dari orang yang kita kagumi itu punya warna bahagianya sendiri. Seperti malam ini :')

Dua orang terakhir inilah yang sangat istimewa. Kenapa? Karena saya memberanikan diri untuk 'terlihat'...Meski caranya sedikit silly dan bodoh. Entahlah apa yang ada di benak mereka. Tapi yang saya tahu, saya kagum. That's all. Saya bahkan tidak mengharapkan lebih dari itu meski nyatanya seseorang dari mereka bahkan lebih dari itu saat ini. Mungkin sampai nanti. Entahlah.

Dan itulah pelajaran tentang mengagumi seseorang yang saya dapatkan dari pengalaman pribadi. Memang bodoh kalau diingat-ingat lagi. Tapi, itu saya. Saya yang waktu itulah yang mendewasakan diri saya yang sekarang. Meski nyatanya kita selalu ingin memiliki satu sama lain. Tapi saya sadar, berteman dengan jarak itu memang diperlukan. Apalagi dengan dimensi, ruang dan waktu yang berbeda. Mengagumi dalam jarak itu tidak mudah. Jauh lebih sulit dari mengungkapkanya.

Meski nyatanya, sekarang, saya masih manusia pengecut yang malu-malu untuk terlihat. Tapi saya sedang belajar bagaimana mengutarakan maksud hati saya dengan lantang dan lebih jelas lagi pada seseorang. Saya tidak ingin mengagumi dengan cara yang sulit lagi. Kalau kagum ; lari...hadapi...lalu nyatakan diri. Lalu kita akan terlihat. Kalau sudah setengah mati nyatakan diri tapi masih tak terlihat juga? Jangan salahkan diri sendiri, mungkin ada hal-hal dari orang itu yang tidak ingin atau tidak berkenan untuk dikagumi.

Jadi, sudah sampai mana rasa kagummu? Apakah berjarak? Lalu sepanjang apa rasa rindu yang disemai dari kagum itu? Well,  cuma kamu yang tahu.


Jangan berhenti mengagumi. Jangan berhenti mencintai dalam jarak yang membagi.




Insan Kamalia R
Terimakasih untuk RebelAssault atas semangatnya :')

Sunday, August 18, 2013

Talks About The Rain

I opened our last conversation box and wrote, "You know, I really love last rain today. I rode in the middle wohoooo~~. But I know, how hard I love it, it signs me for the sad moment after that instead. Perhaps,  that's why I love the rain... So I will know, after I face it...I'll be sad. Complicated, right? But I couldn't blame it"

Then you just gave me an " :'( "

"Should I runaway then?" I asked.

"No. Why should you run while the rain keep catching?" you said.

I smirked when read your answer," Oh yeah, like love, right? You can run, you can hide. But you can't escaped it. Wohoooo~ congratulation *clap*"

"Why escaping from those majestic feeling?"

"Like people said, sometimes it's hurt. Ah, well no-man's man. Thank you for the times that worth it" I tried to end this conversation.

But you sent me again, "When it feels hurt, then it isn't love"

" :'( . Then what?" I felt very lost.

"Perhaps, it is lust. A strong feeling to posses" you answered. I was speechless. I exhaled my breath.

"I let the rain come and go. Everytime. I know the rain is everyone's. Not only mine. But It gets me stuck in the middle. Falling in love with the raindrops. I got escaped. I wont run. It makes me falling in. Like today or the other day"

"Just enjoy it. Enjoy until you get use to it. Enjoy until you sick of it. Then you know how to stop. And let them evaporate into a new cloud then fall in the other place"

"I release all my feeling into it. I say it right away when it comes to me. And It answers the same. Like an echo" I stopped writing,".....Do I hear an echo? It's just an echo? It can be an echo in the middle of the rain?"

"Sometimes, rain echoing in certain places"

"Really?"

"Really"

"So that means I stand where the rain echoing?"

"Wherever you stand, you will be the best"

"I'm the best in falling, huh? Whatever 'falling' is..." I just wanted to write 'lol' after that, but you typed quickly.

"You know how best the rain fall. They will become a rainbow once they meet sunshine. Fine your shine"

"Rain's still falling. It makes me blind"

"At least you still have a heart. Use it to see right through them"

"Do I look like a loser?"

"You are a winner"

" :') " and I gave him,"Thank you. Do I bothering you, again?"

"Never felt..." you said.

" B) B) B) Then I'll bother you again and again"

"Feel free then.."

"Muhahahaha. Kidding~"

"Be my guest. The point is you feel better now"

"Ya, feel better, much better :) :) :)"

So...that is what I got from you. I learn something; that I should enjoy it after I got stuck of it and then I'll know how to stop. Well, let's see. 


Insan Kamalia R
Thanks Angga for listened to me.