Wednesday, August 28, 2013

Cerita di Suatu Dini Hari

Pembicaraan di suatu dini hari. Awalnya tidak hendak bersajak, tapi akhirnya kita malah mempermainkan kata sambil bercerita.

“Eh sesekali dengerin suara angin, enak loh. Apalagi pas hari terik :’)
Mungkin itu pertanda baik~"

"Dan dedaunan mulai berbisik. Membawa pilu barang sedetik”

“Lantas  apa yang kau dengar selain itu? Hanya pilu?”

“Dan genderang girang, yang saling bertalu. Mungkin saling bersahut. Seperti raja rimba yang kini terpagut. Yang tadinya tertawa. Bagai samudra yang menari-nari di bawah cakrawala”

“Ah,tapi tempatku menikmatinya tak seluas itu. Tak seramai itu pula. Ada pinus-pinus, terik matahari siang dan hari berangin yang ditata. Terik tapi tak sepanas yang kau kira. Teduh, sungguh. Seperti tanya ‘Bahagiamu sederhana bukan?’ Lalu keteduhan itu aku temukan pada sepasang mata. Seakan menjawab pertanyaan hari tadi”

"Maka biarkanlah bernyanyi. Bernyanyi hingga pagi enggan sepi. Bernyanyi hingga mentari berdansa dengan awan, bawa terbang ragammu ke tempat terindah. Ke tempat yang bahkan sukamu asing menginjaknya. Teriak sekencang-kencangnya. Hingga suaramu sendiri tak sanggup mendengarnya"

"Aku ucapkan selamat datang bahkan. Juga pada rindu-rindu yang mungkin mengintip dari sela ingatan, minta diucapkan. Senang bisa mensyukuri keberadaan seseorang dalam kesedehanaan sebuah pertemuan. Mungkin ada yang menculik jiwaku waktu itu. Bahkan aku tak sadar aku malu. Bodoh ya? Mungkin. Hanya saja hati tak pernah sejujur itu. Ah, aku bahkan tak lagi bisa bedakan mana kagum, senang, duka terbungkus cinta atau cinta yang sebenar-benarnya."

"Pembeda hanyalah fana yang membuat kita fana"

"Lantas apa? Tak perlu tahu itu apa?"

"Hanya bisa disadari. Tak mau dirasa"

"Antara takut atau bangga"

"Apa perlu kau tahu semesta ada di mana?"

"Aku rasa ada di mana-mana"

"Aku tak mau tahu"

"Aku punya. Kau juga punya. Kau tahu itu"

"Yang aku tahu aku punya semesta. Kau punya semesta. Kitalah semestanya"

"Hm, mungkinkah seperti rasa-rasa itu? Pada akhirnya melebur. Lantas mereka jadi apa kalau tak ada pembeda-beda? Tak ada yang sama bukan di dunia ini? Bahkan untuk sebuah rasa"

"Mereka hanya akan menjadi satu. Mereka akan jadi cinta. Kau mencintai rasa. Itu yang membuatmu bisa merasa"

"Tapi cinta itu warna-warni. Tak sama walau satu nama. Cinta tak punya satu makna. Dan aku tersesat di sana. Di antara rasa yang kau bilang aku rasa-rasa"

"Aku tahu jawabnya. Dan kau juga pasti tahu"

"Ah, aku tak tahu..........atau mungkin aku sedang pura-pura tidak tahu ya? Atau aku sengaja tersesat?"

"Tak mengapa. Cinta itu juga kerap pura-pura"

"Pura-pura seperti ingin tapi tak ingin? Mungkinkah karena sesuatu harus pura-pura? Mungkin karena tabiat manusia yang seringkali menikmati sensasi, atas diri sendiri. Termasuk saat ia tersesat dan berusaha untuk tak sadar. Tak ingin sadar, bahkan"

"Memang lebih baik seperti itu. Biarkan saja, jangan hentikan kesenangan itu"

"Makanya manusia senang mabuk, ya kan?"

"Ya. Karena mereka tak ingin sadar. Mereka tak ingin sadar kalau mereka mencintai hidupnya"

"Itu salah satu bentuk kebahagiaan bukan? Mungkin harus kita amini konsep 'Bahagia itu Sederhana'."

"Ya, aku setuju. Dan artinya, cinta juga sederhana"

"Harusnya"






Insan Kamalia R.

No comments:

Post a Comment