Wednesday, October 16, 2013

Kopi, Hujan dan Kamu

Hujan akhirnya turun, gumamku dalam hati. Aku tersenyum menatap jendela yang sudah mulai basah, terkena percik hujan di luar. Bulir-bulirnya membiaskan cahaya sisa senja di luar. Aku mengaduk kopi panasku berlawanan dengan arah jarum jam. Aku tersenyum seketika. Aku ingat kita yang selalu adu argumen perihal kecil mengaduk kopi.

“Kopi itu akan terasa lebih nikmat kalau diaduk searah jarum jam, Sayang”

“Tidak...tidak....semuanya sama saja. Nikmat tidaknya itu saat kamu memutuskan untuk menikmatinya atau tidak”

“Ah, sini...sini...kemarikan cangkirmu” lantas kamu menarik cangkirku, kemudian mengaduk kopiku searah jarum jam. Sambil tersenyum lembut kamu menyerahkan lagi cangkir itu padaku. Itu senyum kemenanganmu karena sudah mengalahkanku dengan caramu yang sederhana. Selalu sesederhana itu.


Kilat menyambar sesekali di luar. Hujan makin jelas terdengar di luar. Aku menghirup udara di sekitarku dalam-dalam. Bau hujan, gumamku lagi. Aku kembali tersenyum saat kilasan kisah kita di antara hujan kembali diputar ulang di otakku.

“Jangan hujan-hujanan, Sayang!” teriakku dari dalam rumah. Kamu lantas berlari begitu saja keluar. Lari ke sana kemari seperti bocah yang baru saja menemukan mainan kesayangannya. Girang.

“Kemari, aku tunjukkan kebahagiaan padamu!!” kamu menyuruhku untuk bergabung dengannya. Aku menggeleng. Tapi kamu segera menarik tanganku untuk ikut tenggelam dalam duniamu. Di antara hujan kamu menari. Berlari ke sana kemari. Aku hanya menatapmu dari tempatku berdiri, sembari menahan diri untuk tetap basah dikeroyok hujan.

“Tunggu apa lagi? Bermainlah” kamu tersenyum. Tanganmu menarikku untuk menari. Dan ya, aku ikut menari bersamamu di antara hujan. Berteriak pada langit kegirangan atas hujan yang sudah dinubuatkan untuk manusia sepertiku. Seperti kita. Aku lihat tawa bahagiamu, tawa yang menyadarkanku kalau kamu bahagia dengan cara yang sederhana. Yang tak pernah terlintas di benakku bisa semembahagiakan ini.


Aku menyesap kopiku. Secangkir kopi memang selalu meneduhkan, apalagi saat hujan seperti ini. Terdengar petir menyambar di luar sana. Tapi kali ini aku tidak bisa tersenyum, saat ingatan terakhir tentangmu menyambangi waktu minum kopiku. Ini tentang soneta yang kamu buat waktu itu, tentang hujan dan aku.

“Aku buat lagu untukmu”

“Aku ingin dengar”

“Kemari, duduk di sini bersamaku” katamu sembari berlari ke arah piano, menyisakan setengah dari bangku yang kamu duduki untukku. Aku pun duduk di sana.

“Ini tentang kamu dan hujan. Dua hal yang aku suka. Dua hal yang aku cinta.”

“Tidakkah ini terlalu rumit?”

“Tidak, Sayang. Aku sengaja. Ini mungkin bisa aku mainkan sendiri. Tapi akan lebih sempurna jika kamu disampingku, bermain denganku.”

Aku ingat senyum itu. Senyum yang sama dengan yang terakhir aku lihat saat kamu meninggalkanku.

Kini partitur lagumu itu berdebu dan tak sempurna. Jelas. Karena tak ada lagi yang menemaniku bermain lagumu. Karena katamu dengan bersama, lagumu akan terdengar lebih indah. Karena dengan bersama, kita sempurna, Sayang. Dan lagu ini tak akan pernah sempurna lagi, karena kamu tak ada lagi di sisiku.



2013
Insan Kamalia R

Thursday, September 12, 2013

Di Bawah Hujan

Kita berdua menyaksikan perubahan langit yang biru jadi kelabu sedaritadi. Kita berdua masih terpaku di bangku taman itu.

"Hujan..." katamu sembari menengadahkan tangan.

"Lantas, kamu mau pulang?" tanyaku padamu, kamu tersenyum.

"Aku ingin menikmati hujan kali ini denganmu"

"Tapi?"

"Tak ada tapi. Aku hanya ingin kamu saja saat ini. Jangan disangkal-sangkal lagi."

"Tapi bagaimana dengan anak-anakmu? Ini waktu mereka pulang sekolah kan? Bagaimana kalau mereka kehujanan?"

"Ah, masih ada Ayah mereka untuk menjemput. Ini kan hari Sabtu, kamu lupa ya?" ia mulai mendekapku.

"Ah, iya...lantas kalau mereka menanyakanmu?"

"Aku sudah bilang aku hendak menikmati hariku sendiri di taman, tanpa ada yang mengganggu"

"Iya, tak ada yang mengganggumu. Aku tak akan biarkan siapapun mengganggumu hari ini. Kamu hanya milikku saja. Begitupun aku, hanya milikmu saja"

Dibawah hujan, kami bercumbu.


Aku Menginginkanmu untuk Jadi Cintaku, Sayang

Aku masih senang seperti ini; mengenang semua tentang dirimu. Senyummu, tawamu yang renyah, caramu menatap hujan kesukaanmu...semua darimu itu. Sembari merasa-rasa hujan di luar jendela kamarku, aku senang bisa menatapmu dari tempatku berada. Kamu tahu aku selalu jadi pengagummu. Awalnya berjarak, namun perlahan tapi pasti aku mencoba menyentuhmu lewat bagian-bagian kecil dari hidupmu. Waktu itu kita sempat bicara tentang bagaimana membunuh rindu, kamu ingat? Biar aku segarkan lagi ingatanmu.

"Aku tidak bisa lari dari perasaan macam ini, rindu-rindu yang selalu memburuku. Ini semua karena kamu"

"Tak usah lari. Rasakan saja sepenuh hatimu. Tak usah berusaha dihilangkan. Perasaan macam itu harus dipenuhi"

"Kamu yang selalu lari dariku."

"Aku tak pernah lari. Kamu yang tidak bisa menyentuhku"

"Apa yang harus aku lakukan untuk bisa menyentuhmu? Untuk bisa memasuki sebagian relungmu?"

"Kamu tahu jawabannya : tidak ada. Kamu dan aku tahu, kita berbeda dalam cinta. Tak ada yang memaksa, tak ada yang dipaksa dalam cinta. Aku maupun kamu. Aku tak pernah memaksamu untuk merasa-rasa perasaan itu. Begitupun kamu, seharusnya"

"Kamu tahu aku sudah setengah gila menahan-nahan perasaan sekian lama. Aku cinta kamu, tak tertahankan. Kamu yang memaksaku untuk mematikannya"

"Aku tidak pernah memaksamu untuk merasakannya kan? Aku tidak memaksamu pula untuk mematikannya. Aku hanya ingin kamu tahu, bukan kamu yang memenuhi relungku. Orang lain datang lebih dulu. Jangan salahkan waktu karena membawamu padaku terlambat"

"Lantas harus aku apakan rindu-rindu dan perasaan cintaku?"

"Kamu bisa menggantungnya di kamarmu. Kamu taruh di bingkai untuk mengindahkan ruanganmu. Cinta itu bisa memberikan energi positif untukmu. Mungkin dengan adanya cinta di sekitaranmu, kamu bisa berhenti mendamba apa yang tidak bisa kamu miliki"

"Tapi kamu cintaku!"

"Bukan. Tilik lagi hatimu. Kamu hanya belum bisa melihat cinta itu lebih jelas"

"Hm....lantas kalau aku sudah menemukannya dan bagaimana kalau itu kamu?"

"Yakin?"

"Bagaimana kalau itu kamu?"

"Kamu bisa berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkanku"

"Baiklah."

Semenjak itu aku berusaha memahami arti cinta sebenar-benarnya darimu. Lantas apa aku menemukannya? Tentu. Dua tahun sudah aku bersedih karena mencari-cari di mana cinta yang kamu maksud itu berada. Aku merindu amat sangat akan cintaku. Saat ini ia ada di depan mataku. Seperti yang kamu bilang waktu itu, aku harus menggantungnya di kamarku, menaruhnya di bingkai. Dan benar saja, aku bisa merasakan energi positif didiriku setelah menemukan cintaku yang sebenar-benarnya. Dan sampai saat ini aku masih senang seperti ini; mengagumimu dari tempatku berada. Tapi kini kita tak berjarak seperti dulu. Karena kamu milikku, Cintaku.

Aku senang bisa menatap bingkai dengan isi kepalamu di sana. Dan gantungan tubuhmu itu....indah sekali, Sayang.