Wednesday, April 11, 2012

[Another Story of Us] The Stranded Ship and The Letter Box part II


[PRESENT]

Kapal itu masih karam di tempatnya. Namun tetap tegar berdiri. Semuanya masih sama dengan terakhir kali Valeriana meninggalkan tempat itu untuk selamanya, namun hutan yang dulu ia jelajahi kini sudah berubah menjadi sebuah pemukiman nelayan.
Kisah tentang Valeriana dan Glorious pun menjadi cerita turun temurun di kalangan penduduk sekitar pantai. Namun mitos hanyalah mitos. Tidak pernah ada yang menyentuh kotak surat dan kapal karamnya. Bagi mereka,tempat itu ialah tempat yang angker. Namun, bagiku itu adalah tempat yang indah. Tak jarang aku menghabiskan senjaku di sana bersama kawan-kawan yang lain. Terkadang aku sendiri di sana. Menatap kotak itu,mencoba melukis siluet dari kapal dan kotak suratnya. Kotak yang konon bisa mempertemukan jodoh mereka yang menaruh surat di dalamnya. Ada pula yang bilang bahwa kotak ini bisa mengirimkan surat pada orang yang jauh di sana, yang tidak kau kenal. Tapi sampai saat ini, semua hanya bilang ‘katanya’ tanpa mereka buktikan sendiri cerita yang mereka percaya itu.
Donghwa percaya dengan legenda kotak surat ini. Namun berbeda denganku. Andai saja memang ada cara semudah itu untuk mendapatkan pasangan. Hanya dengan mengirimkan sebuah surat, bukan berarti (dan belum tentu) cinta akan datang. Bukan sebuah kotak pos yang menentukan kita akan jatuh cinta atau tidaknya. Hanya hati kita yang mampu, setidaknya itulah yang aku percayai hingga kini.

Another story already begin…
I miss you
I miss you so bad
I don’t forget you
Oh It’s so sad
 [Donghae POV]
Aku melipat surat di tanganku. Aku memasukkannya ke dalam laci kamarku. Lalu mengeluarkan selembar kertas kosong lalu menulis :
Dear,
Jika kau sendiri di sana, jangan pernah takut sendiri.Aku juga pernah merasakan hal yang sama denganmu. Tak punya teman dan terasingkan. Menyedihkan memang. Tapi aku yakin, Tuhan akan selalu menjagamu. Sedang apa kau di sana?

Laut yang Kau Sentuh

                Aku tersenyum miris. Kenyataan itu terlalu sulit untuk aku terima. Kini aku berada sangat jauh dengannya, dan tak tahu kapan lagi bisa menemuinya. Saehee, apa kabarmu?

The day you slipped away
Was the day I found
It won’t be the same

Hari-hari sibukku kembali di mulai. Liburan yang singkat itu tidak terasa, liburan tiga bulan lalu. Dan kini aku dan teman-teman akan mempersiapkan penampilan untuk acara pentas seni fakultas kami. Tiap tahun ini di adakan sebagai ajang kreatifitas siswa, sekaligus evalusasi bagi tiap jurusan.
After the happening day…
Acaranya sukses. Dan teman-teman dari jurusan lain bilang penampilan dari kelompokku bagus. Senang sekali mendengarnya. Namun kesenangan itu harus berakhir dengan cepat ketika Donghwa meneleponku.
                “Yeobseiyo”
                “Donghae-ya, pulanglah …” suaranya serak.
                “Hyung, waeyo?”
                “Appa, ia sudah pergi..”
                “Hah? Ah, hyung bercanda saja”
                “Donghae, untuk apa aku mempermainkan hidup dan matinya Appa?”
                TUT. Aku memutus panggilan itu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku katakan. Appa, ia satu-satunya orang yang membuat aku semangat untuk meneruskan impiannya. Karenanya aku berusaha untuk mencapai Seoul dan mewujudkan semua impian itu di sini. Namun sekarang, siapa lagi yang akan tersenyum padaku karena impiannya itu sudah tercapai? Appa,benarkah ini? Apa aku bermimpi.
                “Yeobseiyo?”
                “Yeobseiyo. Donghae, ada apa?”
                “Aku izin untuk beberapa hari ke depan, Hyukjae. Appa …”
                “Appa, ada apa dengan beliau?”
                “Ia, sudah tidak ada..”
                “Donghae-ya?”
                “Appa …” aku tidak kuat menahan air mataku.
                “Donghae-ya, tegarkan dirimu. Aku yakin Appa sudah tersenyum sekarang. Ia sudah tenang di sisi-Nya sekarang, Donghae-ya” suaranya mencoba menenangkanku.
Namun, duka ini tak kuasa aku tahan. Aku tak peduli apa kata orang melihatku dengan keadaan sekacau ini, itu tidak akan sebanding dengan kehilangan orang yang aku cintai. Kehilangan orang yang aku cintai? Apa ini sebentuk hadiah Tuhan untukku? Appa yang sering sekali menyanyikan lagu Nam Jin subae untukku, Appa yang hangat dengan tawanya, Appa yang bagaikan sahabat untukku … kini ia tidak di sisiku lagi? Aku tidak percaya ini semua. Andaikan ada jalan untuk memutar balikkan semua waktu, aku ingin berada di sisi Appa di saat-saat terakhirnya. Appa, kenapa kau pergi ketika aku belum bisa membawakanmu sebuah impian yang nyata? Apa tidak ada sedikit lagi waktu untukku untuk membuktikannya padamu?

Tuesday, March 20, 2012

[Another Story of Us] A Letter for The Past part II


*
Tak terasa persahabatan itu mulai terjalin antara aku dan Saehee . Ia anak yang baik , pintar dan … cantik . Meski ia hidup di balik jendela itu , tapi ia tetap mengikuti apa yang terjadi di dunia luar . Ia pernah bercerita padaku tentang kapal karam dan kotak pos yang ada di pantai. Legenda itu … aku tak menyangka ia mempercayai legenda itu . Ia ingin sekali mengirimkan sebuah surat yang sudah ia tulis untuk orang yang amat ia cintai . Tapi tak pernah sempat dan tak pernah bisa untuk melakukannya . Saehee sangatlah lemah , aku tahu dari gerak-geriknya . Tetapi ia sering memaksakan diri untuk dapat bicara denganku setiap ada kesempatan .
Ketika aku tidak bisa datang ke rumahnya , karena suatu hal , aku menyempatkan untuk melewati jalan di depan rumahnya . Untuk melihat kamar dengan tirai hijau kuning yang membangkitkan semangat itu . Dimana biasanya Saehee menatap jalanan dengan tatapan kosongnya . Tapi aku tidak pernah melihat Saehee duduk di tempat biasanya , di belakang jendela itu untuk melihat dunia luar kecuali ketika aku datang .
Apa kedatanganku mengganggunya ? Mungkin dari kemarin aku terus mengganggu istirahatnya , tapi aku berjanji minggu ini adalah minggu terakhir aku mengganggunya . Setelah itu aku akan kembali ke dorm .

Wednesday, February 29, 2012

[Another Story of Us] The Stranded Ship and The Letter Box part I


[INTRO]
Kapal itu sudah tua dan karam. Rapuh namun masih tegar berdiri di pantai berpasir putih itu. Dan sebuah kotak surat setia menemani waktunya di sana. Dikala hujan, senja, badai … kapal itu tetap tegar, seakan menunggu sesuatu yang tak pasti di sana. Apa yang ia tunggu? Sebuah suratkah?
Mungkin aku akan menceritakannya lagi, legenda itu. Legenda kapal karam dan kotak suratnya.
Konon, hiduplah sepasang sahabat yang hidup di zaman pertengahan. Kita sebut saja mereka sebagai Glorious dan Valeriana. Glorious selalu bermimpi untuk bisa menjelajahi samudra bersama dengan sang Ayah yang seorang penjelajah samudra. Ia percaya di suatu tempat di bumi ini ada sebuah keajaiban yang terletak di suatu tempat. Ia ingin sekali pergi ke tempat ajaib itu. Sedangkan Valeriana, yang ia percaya hanyalah Glorious bisa menemukan tempat itu suatu hari nanti. Hanya Valeriana yang percaya dengan semua cerita Glorious akan tempat-tempat ajaib itu.
Ketika Glorious beranjak remaja, ia ikut dengan sang Ayah yang saat itu tengah kembali pulang ke kampung halaman.
                “Berjanjilah untuk terus menceritakan apa yang kau lihat, rasa dan dengar di laut sana” kata Valeriana di detik pelepasan sahabatnya itu.
                “Tenang saja, meski aku berpisah denganmu, aku akan datang padamu dalam bentuk sebuah surat. Aku sudah mempersiapkan itu semua, Valeri” katanya sembari mengangkat lengannya, tiba-tiba seekor burung dara hinggap di lengannya. Seekor burung pos. Valeriana tersenyum.
Hari demi hari Glorious habiskan di lautan yang tak pernah bisa di tebak. Ia sedang belajar menjadi seorang petualang sejati. Namun bagaimana dengan keadaan sahabat kita yang lainnya? Valeriana dengan setia menunggu surat darinya yang menceritakan tempat ajaib yang waktu itu Glorious ceritakan padanya. Mereka berdua memang pengkhayal.
Dan dari perpisahan itu, mereka belajar bahwa sebuah surat itu mampu menghubungkan mereka berdua yang bermil-mil jauh jaraknya. Dan Valeriana membuatkan sebuah kotak di depan jendela kamarnya untuk si burung pos untuk menaruh surat dari sahabatnya yang sedang melaut itu. Valeriana percaya kotak surat itu juga sebuah benda yang ajaib karena dari kotak suratnya itulah cerita-cerita sahabatnya bisa ia baca. Cerita tentang tempat yang belum pernah ia lihat, dengar atau pun rasakan.
“Suatu hari aku akan membawamu bersamaku, Valeriana. Aku akan membawamu melihat keindahan yang belum pernah kau lihat di daratan”
“Glorious, aku akan menunggumu di sini, dengan kotak surat yang selalu siap menerimamu kembali pulang ”
Suatu hari, Glorious pun pulang. Tapi bukan karena rindu kampung halaman, melainkan untuk menikahi sahabatnya, Valeriana. Dan memenuhi janjinya untuk mengajak Valeri melihat keindahan yang tak pernah mereka temukan di daratan. Keinginan Valeri untuk menemukan tempat-tempat ajaib itu pun akhirnya dapat terealisasikan. Valeriana pun tak lupa membawa sebuah benda ajaibnya : sebuah kotak surat yang ia buat untuk menerima surat-surat Glorious.
Valeri menikmati petualangannya bersama Glorious. Dan ia benar-benar menepati janjinya, menunjukkan tempat-tempat ajaib yang dulu pernah ia ceritakan pada Valeriana.
Namun, di suatu hari yang cerah, cuaca tiba-tiba saja tidak berkawan. Valeriana sangat suka hujan.
                “Valeri, kau mungkin suka hujan. Tapi tidak ketika kita berada di laut. Semua pertanda hujan, bisa jadi pertanda badai. Dan kita harus waspada”
                “Bukankah kau sudah berkawan dengannya? Kau sudah menemuinya beribu kali bukan selama ini?” teriak Valeri, karena angin yang berderu sangat kencang.
                “Valeri, badai yang mengambil Ayahku. Dan aku tidak ingin terjadi yang kedua kalinya pada orang yang aku sayang, pada dirimu. Berjanjilah untuk terus bersamaku” kata Glorious menatap lekat mata Valeri yang coklat muda. Valeriana mengangguk.
Semua awak bersiap-siap dengan kedatangan badai. Mereka memang sudah berkali-kali menemui hal yang seperti ini, tapi badai tetaplah musuh bagi para pelaut. Laut tak pernah bisa kita tebak. Kadang ia menjanjikan sesuatu yang tak pernah kita kira, namun bisa merenggut segalanya begitu saja seketika itu juga.
Namun keadaan memburuk, dan ini bukan keadaan yang biasa mereka temui. Laut bergolak terlalu liar dan mereka hanya bisa mengikuti apa keinginan laut, hanya berharap kalau-kalau badai segera berakhir dan tak ada yang terenggut olehnya. Tapi sepertinya Tuhan berkata lain kali ini, badai menghempaskan kapal pesiar itu ke arah karang besar yang menjulang di tengah laut. Mengoyak kapal itu. Mengoyak segala isinya beserta harapan yang mereka punya …
Hingga suatu pagi, Valeriana terbangun di dalam kabin, dekat dengan kotak suratnya. Ia pikir semuanya sudah usai. Ya, badai sudah usai tapi ia tidak mempercayai matanya ketika keluar dari kabin kapal … Kapalnya karam di sebuah pantai. Dan ia tidak menemukan seorang awak pun di sana, termasuk Glorious. Ia turun dari kapal, mencari ke dalam hutan di dekat pantai itu kalau-kalau para awak yang selamat sedang mencari makan. Namun nihil. Dan ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar sendiri di pantai itu. Ini petualangan pertamanya tapi kenapa harus karam begitu saja. Ia belum menginjakkan kakinya di semua tempat ajaib itu. Kenapa harus di pulau tak berpenghuni ini hidupnya akan berakhir, tanpa siapa pun?
Hari demi hari ia rajut menjadi bulan. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Ia selalu menepis bahwa Glorious meninggalkannya. Hingga ia tak sadar bahwa waktu semakin mengikis dirinya. Mengikis jiwa dan raganya yang kian renta. Mengikis keyakinannya untuk terus menunggu. Meski begitu, ia tetap tak mau pasrah akan takdir. Ia percaya tak ada yang tak mungkin di dunia ini, dan lagi-lagi meski sebenarnya ia lelah untuk terus menunggu.
Satu demi satu ingatannya melepaskan diri dari cerebrumnya. Berlarian ke sana-kemari memenuhi udara di sekitarnya. Tiap kali hujan datang, ia selalu mengingat Glorious. Karena itu adalah detik-detik terakhir ia bersama dengan Glorious. Hujan. Apakah ia sekejam itu merenggut Glorious darinya? Bukan, itu perbuatan badai, Bukan hujan. Dan aku tidak ingin terjadi yang kedua kalinya pada orang yang aku sayang, pada dirimu. Berjanjilah untuk terus bersamaku, kata-kata itu masih teringat di ingatannya. Itu adalah sebuah janji bukan, Glorious? Aku menantimu.
Ia menancapkan sebatang kayu yang ia dapat di hutan, memakunya dengan kotak surat yang ia punya di samping kapalnya. Dan jadilah sebuah kotak surat di samping kapal yang karam. Tenang saja, meski aku berpisah denganmu, aku akan datang padamu dalam bentuk sebuah  surat. Valeriana selalu ingat kata-kata itu,meskipun sudah bertahu-tahun lamanya kata-kata itu terucap dari bibir Glorius. Tapi ia percaya Glorious tidak akan mengingkari janjinya.
Mungkin itu adalah hal yang bodoh yang pernah ia lakukan. Tapi ia percaya pada Glorious. Ia berharap dengan adanya kotak pos itu, Glorious tak usah bersusah payah menemukan ke mana ia harus datang (dalam bentuk sebuah surat). Setidaknya, jika nanti ia sudah tidak bisa bergerak lagi untuk menyambut kedatangan suaminya, Glorious bisa menemukan jalannya pulang ke rumah. Ke sebuah rumah kapal yang karam. Tepatnya sebuah kotak surat yang Valeriana buat untuknya, di samping kapal karam mereka.
Glorious, aku membuat rumah untukmu datang
Jika aku tak lagi mampu memelukmu maka hanya dengan kotak ini kita akan terhubung
Aku tidak menunggu balasan darimu, aku menunggumu

Valeriana


NB:
Fanfic untuk Farah Arinda yang sudah lama sekali tapi belum di share :') maaf yaaaa...

Monday, February 6, 2012

[Another Story of Us] A Letter for The Past part I


“Hidup tanpa teman bagaikan kematian tanpa saksi.” 
-Pepatah Spanyol-

I scraped my knees while I was praying
And found a demon in my safest heaven
Seems like it’s getting harder to believe in anything
Than just to get lost in all my selfish thoughts
I wanna know what it’d be like
To find perfection in my pride
To see nothing in the light
I’ll turn it off, in all my spite
In all my spite, I’ll turn it off

*
Bisakah kita menyatukan serpihan ingatan yang tak lagi melekat di bagian cerebrum kita ? Bisakah kita membalikkan lagi waktu yang sempat terlewat sia-sia ?
Bisakah kita menemukan diri kita yang lain di suatu tempat ketika kita mati nanti ?
Dan sampai kapan aku akan bertanya “bisakah” pada diriku sendiri , sementara tak ada jawaban yang aku tau , ataupun orang lain yang akan menjawab ?

Aku ingin kembali ke tiga tahun yang lalu . Ketika semuanya adalah kehidupan . Kehidupan nyata yang waras , menurutku . Dan kini aku hanya bisa menunggu kapan Tuhan akan mengirimkan lentera itu ke dalam gelapku …