Friday, August 23, 2013

Dialog Malam

Aku berdialog dengan malam atas sepi-sepi yang selama ini aku alami. Mungkin kira-kira begini :

"Haruskah aku salahkan diri sendiri hingga sejauh ini?"

"Untuk apa?" ia menyesap kopinya agar tetap terjaga. Ia tahu, pagi belum saatnya datang.

"Karena selalu merasa sepi." aku memainkan pasir di bawah kakiku.

"Lantas kamu hendak menepi?" aku mendengarnya menghela nafas, hingga awan-awan yang menutupi bulannya berarak menjauh.

"Mungkin. Atau terlebih dulu pergi lalu kembali."

"Buang waktu kalau begitu kamu selama ini."

"Kenapa? Salah aku mencari tempat berpulang yang tepat?" aku sedikit meninggikan nadaku.

"Apakah 'tepat' yang kamu maksud itu untuk kamu sendiri? Wanita terkadang bisa bertindak seperti ia yang selalu kalah, nyatanya ia yang selalu memenangkan diri atas lelaki." lalu aku dengar ia tertawa sinis. Aku dengar malam bisa begitu sinis padaku. Apa ia  seorang lelaki?

"Nyatanya memang aku yang selalu diam. Mendengarkan lebih banyak. Daripada hanya sekedar berucap sepatah dua patah."

"Mari kita tilik ke dalam hatimu, sudahkah kamu mengikhlaskan diri?" ia menghela nafas lagi, hingga lagi-lagi awan berarak menjauhi bulannya. Aku merasa lebih terang sekarang.

"Ikhlas untuk apa maksudmu?"

"Ikhlas untuk benar-benar membagi diri. Sudahkah? Pernahkah kamu merunut satu-satu darinya lagi? Apa-apa yang sudah ia bagi..."

"..."

"Aku tahu kamu menangis paling banyak. Menyendiri paling lama dan menyakiti diri paling sering. Tapi kamu ingat kan frase, 'Apa-apa yang datangnya dari hati, pasti bisa menyentuh hati yang lainnya'. Sudahkah kamu membebaskan diri untuk mencintai lebih panjang lagi? Lebih dalam lagi?"

"Kamu tahu, nampaknya aku masih butuh waktu. Untuk diriku sendiri. Untuk mengenali yang mana yang harus aku beri atau aku simpan sendiri."

"Dari awal, kamu memang kurang dewasa dalam menyikapi hal ini."

"Tak berhakkah meminta seorang pendamping yang memahami?"

"Kamu sendiri belum memahami dirimu sendiri, Sayang. Sampai-sampai kamu belum tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Sudahlah...pikiranmu itu terlalu berakar dan merambat ke mana-mana. Bebaskan...bebaskan dirimu sendiri dalam mencintai. Di sakiti dalam hal ini adalah hal yang wajar. Yang penting kamu sudah mencintai sepenuhi hati, tanpa takut tersakiti.

"...kamu tahu, aku tahu. Kita tahu hal itu." kepalaku tertunduk dalam.

"Aku paham betul. Meyakini diri untuk mempercayai orang itu memang tidak mudah. Tapi tidak ada yang mengatakan itu tidak bisa dilakukan. Dirimu itu lebih kuat dari yang kamu pikir. Bahkan aku tidak pernah berpikir kalau kamu bisa menjalaninya hingga sejauh ini. Dengan siapapun itu"

"Sudah layakkah aku untuk berbagi?"

"Selama kamu punya cinta, kenapa tidak?" ia mengacak-acak rambutku.

"Jadi aku harus meyakini diriku terlebih dulu, lalu mencintai, begitu?"

"Seperti itu. Dan....jangan pernah takut untuk berbagi. Kamu tidak akan rugi sama sekali. Tuhan itu Maha Melihat. Ia tahu apa-apa yang sepadan bagi makhlukNya. Ia pun seorang pecinta ulung yang selalu mengasihi meski seringkali dicacimaki oleh makhluk yang Ia sayangi. Lantas kenapa kamu tak mampu?"

"Aku bukan Tuhan. Sabar berbatas"

"Bukan perkara sabar. Kamu itu diciptakan dari secuil Dirinya. Di dalam sana ada kasih Illahi yang ia turunkan lewatmu untuk dunia disekitarmu. Kenapa tak kamu gunakan itu?"

"..." aku tertawa miris.

"Hm....manusia memang tempatnya lupa. Aku tahu itu...ehm, kita tahu itu"

"Iya...kamu benar. Aku yang masih takut mencintai. Aku yang masih takut memberi sepenuh diri. Bukan karena takut merugi, melainkan takut tersakiti."

"Akhirnya kamu tahu masalahmu di mana"

"Jadi..." aku mendongak menatapnya.

"Mulailah mencintai, sepenuh hati. Sepenuh diri, atas dirimu sendiri terlebih dulu. Lalu kamu beri orang lain sama banyaknya dengan yang kamu beri pada dirimu. Mencintai tak pernah sesulit ini saat kamu mengikhlaskan diri. Semesta tahu apa yang kamu cari. Laki-laki itu ada, ia hidup di belahan dunia mana...hanya belum menemukanmu. Mungkin" malam mengakhirinya dengan senyum yang tersungging lewat bulannya.

"Dan aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Terjaga hingga pagi datang membutakan mata dengan mataharinya."

"Kamu, wanita malam kesayanganku....lekas tidur!" malam mengusirku dari ujung jemari waktunya," Jangan lupa..."

"Apa?"

"Aku sayang kamu." katanya lagi, kali ini dengan terang bulan yang memancar lembut menyunggingkan senyum yang lagi-lagi ingin aku kulum bulat-bulat.

"Andai saja kamu lelakiku..."

"Jangan. Nanti kita tidak bisa bersama seperti ini lagi. Nanti siapa yang menemaniku menunggu pagi?" tanyanya manja seperti takut kehilangan.

"Aku akan selalu bersamamu. Dalam lelap ataupun terjaga. Aku sayang kamu." aku balas tersenyum.


Dan aku berakhir di sini sekarang. Di atas ranjang. Sebenarnya, aku masih belum ingin berpisah. Aku masih ingin merasakan sendu pilu. Tapi malam urung membiarkanku. Tak apa. Aku tahu, ia ingin mengecupku dalam lelap seperti kemarin-kemarin. Kalau ada hujan saat ini, mungkin aku akan berbisik padanya; "Aku takut ada cinta segitiga antara kita, aku, kamu dan malam yang selalu merajam. Aku cinta kalian. Tapi kalian bukan milikku seorang."

Selamat, Malam. Kamu punya sebagian dari cintaku. Dan akan selalu begitu.


No comments:

Post a Comment