Wednesday, August 22, 2012

[Rising Force] The Beginning to The New World part II




III.
                Pandanganku masih kosong ke langit siang itu. Pikiranku mengawang jauh ke medan perang dan daerah-daerah konflik. Di belahan dunia ini pasti ada saudara-saudaraku yang sedang bertahan dari gempuran bangsa lain. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Daratan Spire—desaku—menjadi daerah konflik karena perang.
                Aku ingat cerita para pejuang selamat yang kembali ke desa ini, mereka membawa cerita dari medan perang untuk dibagi, meski bagiku beberapa cacat yang mereka alami sudah cukup bercerita banyak tentang kekejaman perang merenggut semuanya. Andai saja ada cara lain untuk bisa mewujudkan keinginan Decem, aku ingin memilih pilihan lain jika pilihan itu ada. Tapi jika memang harus, aku akan pasang badan untuk melindungi mereka yang aku sayangi. Keluargaku, desaku dan bangsaku. Ini tanah kelahiranku, aku tidak akan menyerahkannya pada siapapun—meski itu nyawa taruhannya.
Angin berhembus. Ini seperti alam menyambutku. Semoga...semoga saja aku bisa melakukan hal yang terbaik yang bisa aku lakukan. Tapi sebisa mungkin aku tidak ingin membunuh siapapun. Tidak seorang pun. Sebisa mungkin.
                Tiba-tiba sebuah pesawat kertas mengenai dahiku. Aku membuka pesawat kertas itu lalu menemukan sebuah tulisan : Angin yang membawaku, dan takdir yang membawa angin untukmu. Ah, itu kata-kata dalam kitab Decem : bangsa itu  yang membawamu, dan takdirKu yang membawa bangsa itu  untuk alam semesta. Aku mencari seseorang yang menerbangkan pesawat kertas ini, lalu aku menemukan seseorang. Ia tersenyum sembari melambaikan tangannya.
                “Ice!!!” aku bangkit dari posisi telentangku, berdiri menyambutnya.
                “Apa kabar, Wanitaku?” ia merentangkan tangannya, aku pun menyambutnya dengan suka cita.
                “Lama sekali aku tidak bertemu denganmu. Kau jahat, tidak pernah memberiku kabar” aku merajuk. Ia tertawa.
                “Kau masih sama rupanya seperti Valerie yang dulu, hah. Rupanya selain buah dadamu, tidak ada lagi yang berkembang” ia menunjuk-nunjuk dahiku.
                “Kurang ajar kau, Ice!” aku hendak menendang tulang keringnya, tapi gagal karena kakiku pun ditendangnya,”Aw!”
                “Kali ini bisa aku baca. Gerakanmu pun tidak ada yang berubah, Vale” katanya sembari melipat tangan.
                “Aku tak pernah berubah, tentu saja. Masih seperti ini saja; melihat langit di padang Spire dan memikirkan banyak hal” aku melihat jauh ke ujung padang hijau Spire.
                “Apa masih selalu memikirkanku?” tanyanya dengan tatapan menggoda. Aku meliriknya lalu tertawa.
                “Otakku sudah terlalu penuh untuk menyisipkanmu di antara pikiranku, Ice. Tolong berhentilah bermimpi” aku meninju pundaknya pelan.
                “Tapi...kalau aku masih berharap tentang apa yang aku utarakan dulu, apa kau masih mau menerimanya?” tanyanya, kali ini tatapannya serius. Ah, aku benci berada di keadaan seperti ini.
                “Mungkin lain kali aku akan menjawabnya. Yang jelas...aku rindu kau, Brengsek!!” aku meninjunya berkali-kali,”Aku harap kau mau membagi kisahmu selama berada di sana. Kau berhutang banyak cerita padaku. Ingat itu!!!” kami berdua tertawa.
                “Hei...apa kau punya keinginan untuk pergi ke medan perang?” tiba-tiba saja aku merasa pembicaraan ini berubah ke arah yang lebih serius.
                “Entahlah. Aku merasa hidupku saat ini baik-baik saja. Kau tahu, dari dulu aku benci dengan perseteruan” aku duduk kembali di tanah Spire yang hijau karena rerumputannya. Angin semilir masih menerpaku—kami berdua tepatnya.
                “Tapi hanya dengan ini kita semua bisa mewujudkan apa yang Decem inginkan”
                “Tapi menurutku, pengabdian pada Decem tidak hanya dengan menghunuskan pedangmu dan pergi ke medan perang semata. Lagipula, apa kau tahu alasan yang membuat perang terus terjadi? Apa kau tidak pernah berpikir ada hal lain yang menjadi latar belakang dari semua perseteruan ini?”
                “Tentu saja ada tapi semua itu kembali pada satu hal”
                “Apa?”
                “Semua yang berawal dan memiliki akhir adalah milik Decem semata. Perang ini pun seperti itu, kalau kau urutkan dari awal, semua berawal dari keinginan Decem. Karena Decem, kita semua ada untuk berjuang. Dan semua alasan yang melatarbelakangi pun selalu berakhir pada alasan bahwa Cora ada untuk Decem. Titik. Dan itu harga mati untuk kita semua”
                “Tapi aku yakin Decem menginginkan kita semua bersatu untuk satu hal. Kita semua. Novus dan jagat raya. Tapi aku masih belum menemukan alasan untuk itu”
                “Kau masih sama ya. Masih sama idealisnya seperti yang dulu. Masih terlalu munafik dan naif, Valerie” katanya, melirikku. Aku meringis.
                “Aku anggap kata-katamu itu sebagai pujian untukku, Ice. Dan selalu ingatkan dirimu kalau wanita ini tak akan pernah berubah. Kalaupun suatu hari aku berubah, mungkin aku sudah memiliki alasan untuk itu. Kalaupun aku harus berubah, itu pasti karena sesuatu yang sangat berharga bagiku”
                “Apa aku bukan alasan yang cukup kuat untukmu berubah? Apa kau tidak ingin pergi ke medan perang bersamaku? Kita akan berjuang bersama untuk tanah kelahiran kita. Untuk bangsa kita, Valerie” kali ini ia menatapku lebih lekat dari sebelumnya.
                Aku ingat tatapan itu, tatapan yang sama seperti tatapan lima tahun yang lalu saat ia memutuskan untuk menjadi seorang pejuang di usia yang amat belia. Mungkin karena ia berasal dari keluarga prajurit, yang mana menjadi seorang pejuang Cora adalah suatu kewajiban sebagai wujud pengabdian. Ia sempat menanyakan hal yang sama padaku untuk pergi ke medan perang bersamanya sebelum ia pergi. Untuk berjuang bersama dengannya. Tapi aku tidak pernah menjawab pertanyaan itu, karena untuk melihat punggungnya pergi menjauh pun aku tidak mampu. Lelaki ini, yang saat ini ada di sampingku adalah sahabat kecilku sekaligus cinta pertamaku. Ia alasan kenapa aku harus hidup lebih lama, aku ingin bisa hidup dengannya, lebih lama lagi. Sampai-sampai aku berpikir untuk menunggunya sampai kapanpun. Dan kini ia kembali. Aku senang, tapi entah kenapa hanya sebuah perasaan senang, tak ada yang lain. Mungkinkah perasaan bisa memudar seiring dengan jalannya waktu? Mungkinkah perasaanku padanya tertiup angin? Lalu ke mana sisa-sisa perasaanku sekarang? Kalau ada yang bertanya apakah aku masih menunggunya, aku akan mengatakan ‘Ya’ karena aku memang masih menunggunya. Tapi entah kenapa, meski ia ada di hadapanku, aku selalu merasa dirinya jauh. Tanganku mungkin bisa menyentuhnya, tapi hatiku tidak. Aku pikir ada yang salah dengan perasaanku. Tapi apa? Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan saat ini padanya.
                “Mungkin belum saatnya aku untuk berubah, Ice. Dan belum saatnya aku pergi bersamamu ke medan perang. Tapi yakinlah, aku selalu berdoa untuk kembalimu. Aku berdoa agar kita bisa berjuang bersama membela bangsa kita, tanah kelahiran kita. Percayalah, suatu hari aku akan menjemputmu di sana. Di medan perang” aku ragu mengakhiri kalimatku dengan kata itu. Tapi semoga saja, Ice, semoga aku bisa berjuang di tanah yang sama denganmu.

Next part :
[Rising Force] The Beginning to The New World part III

disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO

*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition “RF Online Indonesia”

No comments:

Post a Comment