“Aku pulang.”
“Nii-chan!!!!!!”
dari arah ruang tengah, kedua adik kembarku yang masih kecil—Moa dan Yui—berlari
lantas memelukku. BRUK! Pendaratan yang kurang sempurna dari Moa. Ia tersandung
kakinya sendiri.
“HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH” tangisnya meledak dan
terdengar hampir ke seluruh penjuru rumah.
“Taro? Ada apa dengan adikmu?” dari dapur Ibu berteriak
menanyakan perihal suara tangis Moa dari pintu depan.
“Tersandung, Bu” kataku sembari menaruh sepatu lantas menggendong
Moa yang terjatuh. Sementara Yui masih bergelayut di kakiku.
“Hei, hei....Moa-chan,
anak manis kalau menangis nanti manisnya hilang.” Kataku sambil susah payah
berjalan ke ruang tengah karena ada Yui sedang bergelayut di kakiku.
“Iya. Aku berhenti menangis.” Kata Moa sembari mengusap air
matanya sendiri tapi masih
sesenggukan.
“Nii-chan, tadi
aku menggambar pesawat terbang di sekolah. Kata Ibu Guru, pesawat buatanku
bagus. Nii-chan mau lihat tidak?”
“Moa juga! Aku buat kue ulang tahun dan kata Ibu Guru gambar
kuenya bagus.”
“Oh ya? Coba mana gambar kalian? Aku ingin melihatnya.” Keduanya
berlari menuju kamar untuk mengambil gambarnya.
Aku, Taro Fujiwara, usia delapan belas tahun lebih sembilan
bulan. Hidup dengan kedua orang tua serta ketiga adikku. Sepasang anak kembar
tadi adalah dua adik bungsuku. Mereka berdua selalu menyambut kedatanganku seperti
tadi. Entah ditambah dengan rengekan minta sesuatu atau cerita yang mereka alami
di sekolah. Mereka juga senang meniru. Salah satunya meniru adik pertamaku.
Namanya.......
“AAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHHHHHHH!!!!!!!“ dari
lantai dua terdengar suara teriakan Suzuka yang melengking.
“Su-chan! Ada apa?!” aku segera berlari ke kamar Suzuka.
Membuka pintu tanpa mengetuk. Takut kalau-kalau terjadi sesuatu terhadapnya.
Aku menemukannya tengah berguling ke sana kemari dari sudut
kamar yang satu ke sudut kamar yang lainnya seperti sedang kesurupan. Kamarnya
jadi semacam kapal pecah. Tidak ada barang yang berada di tempatnya yang
sesuai.
“Dame dame dame dame
dame dame dame dameeeeeeeeeeeeee!!!!!!!!!!!!”
teriaknya lagi. Kali ini sambil mengacak-acak rambutnya.
“Nee-chan,
kenapa?” tanya Moa dan Yui yang baru kembali dari kamar mereka.
“Nii-chan! Bantu
aku!!” ia bergelayut di kakiku. Air matanya mengalir deras dan membuat
maskaranya rusak. Dia jadi terlihat seperti setan salah make-up.
“K-kau...ada apa dengan mukamu?!” aku kaget dengan
reaksinya.
“Aku tidak bisa berpikir jernih lagi!!
AAAAAAAAAAAAARRRRGGGGHHHH!!!” lagi-lagi ia berguling ke sana kemari. Moa dan
Yui menaruh gambarnya dekat kakiku lantas ikut berguling di lantai—lengkap
dengan lengkingan mereka berdua. Aku menutup telinga, takut kalau-kalau gendang
telingaku rusak mendengar suara mereka bertiga.
“Suzuka, Moa, Yui....ada apa di atas?” tanya ibu dari bawah.
Aku tahu ibu sedang repot di dapur, memasak untuk enam kepala malam ini seperti
biasanya.
“Bukan apa-apa, Bu. Biar aku yang membantu mereka.” Jawabku dari
sini.”Suzuka, Moa, Yui...hentikan!” teriakku. Moa dan Yui tiba-tiba berhenti
berguling menirukan Suzuka. Tapi Suzuka masih berguling dan menangis.
“Nii-chan, Nee-chan belum berhenti.” Kata Moa
dengan polosnya sambil menunjuk ke arah Suzuka.
“Hei, Kepala Labu, sadarkan dirimu.” Aku menghentikan
tubuhnya yang sedang berguling dengan kakiku.
“Nii-chan~” ia
terkulai lemas.
“Kau ini kenapa, hah?”
“Iya, Nee-chan
kenapa?” tanya Moa dan Yui bersamaan.
“Aku....aku.... HUAAAAAAAAAAAAAAAHHH.” Ia kembali menangis.
Aku memijit kepalaku yang mulai pusing. Kenapa
para wanita selalu begini sih? Sulit sekali bicara kalau ada masalah. Aku mana
tahu masalahnya kalau begini.
“Moa, Yui ayo kita ke bawah. Biar Nee-chan menenangkan diri dulu.” Ajakku pada kedua anak kembar itu yang masih bingung dengan
tingkah kakak perempuannya,” Ambil gambar kalian. Kalian tidak mau kan gambar
bagus kalian dihancurkan Nee-chan?”
Moa dan Yui segera menggambil gambar mereka masing-masing lalu keluar kamar
Suzuka.
“Tenangkan dirimu dulu. Nanti aku kembali lagi.” Aku menutup
pintu kamarnya dan menggiring si kembar ke bawah. Aku tidak tahu bagaimana
kalau si kembar sudah sebesar Suzuka, akan jadi perempuan macam apa mereka
berdua.
Setelah meladeni si kembar, aku kembali ke kamar, mandi
lantas menemui Suzuka di kamarnya. Aku mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk..” jawabnya lesu dari dalam kamar.
“Sudah puas menangisnya?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.
“Kenapa menangis seperti orang kesurupan begitu Su-chan?”
“Taroooooooooo, aku jelek ya?”
“Hah?” kepalaku serasa dipukul palu dengan pertanyaan macam
begitu.
“Jawab yang jujur, Nii-chan~~~~~”
ia sesenggukan.
“Hm.....biasa saja.”
“Tuh kan! Kau saja bilang aku jeleeeeeeeeeeeeeeeekk!!!
Huaaaaahh.” Ia membenamkan wajahnya ke bantal.
“Sebenarnya apa sih masalahmu? Jangan buat aku bingung.”
“Aku stress, Taro. Aku butuh asupan gizi untuk sekresi serotonin
di otakku. Tapi aku takut genduuuuttttt. Sedangkan pesta kelulusanku tinggal
dua hari lagi. Bagaimana kalau aku terlihat gendut ketika maju ke depan podium?”
“Hah?” aku makin merasa bodoh bicara dengan adikku yang satu
ini. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirnya.
“Aku ingin coklaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat!!!!!!!!!!!!!!!!!”
“Jadi....kau menangis sedaritadi karena ingin coklat?”
“Iya, Nii-chan~~”
katanya sembari menggigit ujung bantalnya.”Aku ingin sekaliiii. Aku merasa gila
karena memikirnya sedaritadi. AAAAAAAAAAAAARRGGGGHHH.”
“Kau bisa pergi ke supermarket terdekat bukan? Lantas apa
yang harus kau tangisi?”
“Aku takut
genduuuuuuuuuuuuuuuuuuttt!!!!! Bagaimana ini? Bantu aku.”
“Astaga, Su-chan.” Lagi-lagi aku memijit-mijit kepalaku yang
makin pusing dibuatnya.”Kalau takut gendut jangan makan coklat.”
“Tapi aku ingin coklat. Ingin sekaliiiiiiiiiiiii!!!! Aku
harus bagaimana, Nii-chan???!!!” ia
mengguncang-guncang tubuhku. Tatapanku datar padanya. Pantas saja teman-temanku selalu mengeluhkan perihal ketidakmengertian
mereka dengan jalan pikir kekasih mereka. Jadi, seabsurd ini jalan pikir para
perempuan?
“Aku bingung dengan keinginanmu, Su-chan. Jadi, kau ingin
coklat atau ingin gendut?”
“Aku ingin coklat, Nii-chaaaaaann!!!! Tapi aku takut
gendut!!! Nanti aku jadi jeleeeeeeeeekk~~~~” ia mengguncang-guncang tubuhku
lagi.
“Ya sudah. Aku belikan coklat untukmu. Berhenti menangisnya!”
aku beranjak dari tempat tidurnya.
“Tunggu, Nii-chan!”
“Apalagi?” aku berbalik.
“Tapi bagaimana kalau aku gendut? Aku sudah cukup gendut.
Timbanganku sudah di atas angka empat puluh lima kilo, Tarooooo.” Ia tiba-tiba
bergelayut di kakiku lagi.
“Ah persetan dengan berat badan atau menjadi gendut, hanya
makan beberapa batang saja tidak akan membuatmu jadi bulat seperti babi.”
“Nii-chan~ ” ia merosot seperti es yang meleleh.
“Suzuka, dengarkan aku.” Aku memaksanya menatapku langsung,”Jangan
terlalu terperangkap dengan mindset kebanyakan orang tentang kecantikan yang
dipandang hanya dari tubuhmu saja. Cantik bukan di tubuhmu saja. Kau harus
pintar gunakan ini juga.” Aku mengetuk-ngetuk tempurung kepalanya.”Lagipula kau
itu masih dalam masa pertumbuhan. Jadi wajar kalau tubuhmu melebar, tapi itu
bukan berarti kau akan selamanya begitu. Ini hanya fase, Su-chan~ Selagi bisa,
bersenang-senang saja dengan apa yang kau suka.” Aku mengacak-acak rambutnya.”Mengerti?”
Matanya berkaca-kaca.
“Nii-chan,
kata-katamu sungguh menentramkan hatiku. Terimakasih.” Ia memelukku. Astaga, perempuan~
“Jadi, masih ingin coklat?” tanyaku. Ia mengangguk cepat.
“Coklaaaaaaaaaaaaaaat~ Aku suka coklaaaaaaat.”
Malam itu berakhir dengan perebutan sebatang coklat terakhir
antara ketiga adikku—Moa,Yui dan Suzuka. Meski sudah lima belas tahun, tapi
untuk urusan yang satu ini Suzuka tidak bisa mengalah. Haduh. Tapi tak apa, aku senang dengan keadaan meja makan yang
meriah seperti ini. Semoga kalian tumbuh jadi perempuan yang tidak terperangkap
dalam pendapat orang lain tentang tubuh kalian. Itu tubuh kalian, semesta
kalian. Lakukan apa yang kalian suka.
Selagi bisa, bersenang-senanglah dengan apa yang kalian
suka.
Inspired Song by
Babymetal – Gimme Chocolate
Requested by
Akhsani Taqwim
NB : kesamaan nama tokoh hanyalah kebetulan semata.
No comments:
Post a Comment