Wednesday, March 11, 2015

Balada Orang Dewasa

Sudah lama sekali tidak curhat menulis. Jadi kangen dengan waktu-waktu senggang.

Rasanya semakin angka usia bertambah dan waktu hidupnya berkurang, waktu-waktu senggangnya pun semakin langka. Entah karena kinerja fisik dan psikis yang semakin menurun atau karena sugesti diri kalau kita tidak punya banyak waktu untuk dinikmati lagi. Mungkin semakin tua kita, semakin payah juga kita dalam menikmati hidup. Sampai-sampai kita lupa kalau sebenarnya waktu kita masih sama. Hanya saja semakin tua kita, kita akan lebih terpaku dengan masalah yang kita punya. Alih-alih cari jalan keluar paling efektif, kita seringnya masih mengeluh ini-itu. Jadi mungkin wajar kalau semakin tua kita, kita akan merasa lebih sedikit waktu yang kita punya.


Saya yang baru dua tahun kemarin memasuki usia pasca-remaja merasa kalau usia dua dasawarsa itu sudah terlalu tua. Entah. Mungkin karena sudah punya KTP sendiri. (Hehehe~) Atau mungkin karena di usia tersebut satu demi satu masalah yang tingkat kesulitannya lebih tinggi mulai diberikan oleh Allah untuk saya. Satu per satu manusia yang saya percaya kian berkurang. Adanya skeptisme pada manusia baru yang dikenal. Dan mulai muncul pertanyaan tentang masa depan. Masa depan macam apa yang hendak saya tapaki nanti? Bagaimana cara saya bahagia dengan apa yang saya punya nanti? Apa yang harus saya lakukan untuk membantu Ibu selaku anak pertama? Apa mimpi-mimpi saya berhasil bermetamorfosis menjadi kenyataan? Dan....bagaimana saya jatuh cinta pada satu laki-laki saja di sisa hidup saya? Siapa ia? Yah, pertanyaan-pertanyaan macam itu. Saya sebenarnya masih ndak siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu-satu. Tapi semakin berkurangnya waktu sewa saya di dunia, bayang-bayang akan jawaban pertanyaan-pertanyaan tadi itu semakin mengejar-ngejar saya. Saya semakin kepo dengan jawabannya (yang mana cuma saya yang tahu jawaban dari pertanyaan itu semua) dan mau gak mau saya harus cari jawaban pertanyaan itu sendiri. Iyalah, hidup-hidup saya. Masa jawaban dari pertanyaan hidup sendiri nyontek? Yang buat jawabannya itu baik atau buruk, cuma diri saya sendiri. Saya sadar dan paham betul hal itu.

Dulu, waktu masih kecil, saya selalu berandai-andai gimana rasanya jadi orang dewasa. Dulu sih mikir enaknya jadi orang dewasa bisa banyak uang jadi bisa beli makanan yang banyak. (BHAHAHAHAHAHK!) terus bisa naik semua wahana di Dufan tanpa perlu khawatir umur atau tinggi badan. Dan waktu kecil pernah juga pingin ngerasain tinggal jauh dari keluarga. Pasti seru. Tapi semakin bertumbuh saya jadi anak manusia yang kian menua dan menuju dewasa, jadi ada banyak sekali faktor yang saya takutkan dari bertumbuh, dewasa dan semakin tua. Bukan, bukan karena saya pobhia orang tua atau nenek-nenek atau keriputan. Bukan itu. Tapi karena akhirnya saya sadar, ketika saya semakin tua, akan semakin banyak orang-orang yang saya sayang pergi satu-satu dari sisi saya. Entah karena mereka memulai hidup barunya sendiri di lingkungan yang baru dan membuatnya berjauh-jauhan dengan saya, atau entah karena Allah yang sudah sangat sayang dengan orang itu. Dua-duanya sama-sama terasa berat untuk dilepas meski untuk kebaikan.

Lantas saya sadar, kalau ternyata menjadi dewasa bukan berarti menjadi tua semata, melainkan belajar dari banyak luka-luka. Entah karena ditinggalkan selamanya, atau banyak yang mengkhianati kepercayaan kita. Atau mungkin karena beberapa ekspektasi hidup yang pada akhirnya tak pernah ada sama sekali untuk kita. Kecewa, sedih, marah....campur satu. Tapi nyatanya Allah selalu punya rencana yang tidak pernah kita tahu di lain waktu. Kebanyakan dari kita seringnya begitu. Alih-alih bersyukur dengan semua yang diberi, malah mengeluhi masalah. Malah menyalahkanNya atas kesedihan yang tidak kunjung ada akhirnya. Padahal Allah sedang menaikkan derajat kemanusiaan kita dengan cobaan-cobaanNya. Sayang, manusia sering lupa dan melewatkan waktunya menabung pahala.

Tapi saya akui, beberapa teman saya survived dari masa-masa transisi ini. Masa-masa ketakutan mereka akan jati diri dan pertanyaan-pertanyaan lebih jauh tentang hidup. Beberapa sangat radikal hebat untuk mengambil langkah besar dalam hidupnya; seperti menikah muda dan memiliki anak. Padahal beberapa teman yang lain masih mempertanyakan masa depan mereka sendiri. Termasuk saya. Sebenarnya ada perasaan iri sekaligus takut mengenai keputusan besar ini. Iri karena mereka sudah berani mengambil keputusan besar macam itu dan di waktu yang bersamaan takut kalau-kalau belum memiliki bekal yang cukup untuk memutuskan hal itu. Selain fisik dan mental, perlu modal materi untuk keputusan besar semacam itu.

Ah, untuk yang itu mungkin harus ditaruh di daftar kesekian pencapaian dulu. Saya masih punya keluarga yang harus dijaga. Saya masih belum siap jauh dari Ibu dan adik-adik saya. Karena yang Allah pinjamkan untuk saya jaga di keluarga tinggal mereka. Allah percayakan mereka kepada saya. Apalagi saya masih belum, bahkan jauh dari kata membahagiakan orang tua saya satu-satunya itu. Saya belum bisa bagi fokus saya kepada orang lain kalau saya belum bisa nyenengin ibu sendiri.

Kalau bisa minta ke Allah, saya mau punya waktu lebih lama untuk bisa ada di sekitar orang-orang yang saya sayang. Saya harus membuat banyak kenangan dulu dengan mereka, supaya kelak, entah ketika saya atau mereka yang pergi, kami masih bisa saling memiliki di hati dan kepala masing-masing. Saya mau mereka yang saya sayang jadi satu bagian dari episode hidup saya yang gak akan saya lupa. Saya gak mau lupa. Saya akan terus belajar dari mereka. Saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk jaga mereka. Karena mereka alasan saya hidup sebagai manusia sampai sekarang. Karena saya yakin Allah punya alasan yang baik menghadirkan mereka ke dalam hidup saya. Yang cepat atau lambat bakal (dan pasti) pergi nantinya.

Saya mau, sebelum saya benar-benar jadi orang dewasa dan menua seutuhnya, menikmati waktu-waktu yang singkat itu jadi lebih lama. Lebih lama. Karena saya masih belum siap dengan perpisahan. Belum. Tapi kelak saya akan siap. Nanti. Pasti.

Iya, saya sedang memasuki tahap kenaikan level saya sebagai manusia seutuhnya.

Terimakasih untuk warna-warni hidupnya.



Rumah Biru, 2015
Insan Kamalia



No comments:

Post a Comment