Friday, December 28, 2012

[Rising Force] The Beginning to The New World part XIII


Tiba-tiba panggilan private masuk ke MC-ku. Itu Neo.
"Valerie, dimana kau sekarang?
"Di bilikku. Kenapa?"
"Aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan sebuah quest"
"Aku? Kau serius, Neo?"
"Ayolah, Vale. Kau pasti akan dapat bagiannya nanti. Kita harus segera menyelesaikannya."
"Aish...memang quest apa yang kau dapat?”
"Kau segera datang ke portal, aku, Viren dan Homoco menunggu. Cepat, Valerie. Kita sedang dikejar deadline
Aku segera bergegas ke tempat yang Neo maksud. Aku melihat ia di sana bersama teman-teman seangkatannya; Viren dan Homoco.
“Memang quest seperti apa yang kau ambil?”
“Lima puluh hati Red Haired Splinter, Vale. Deadline-nya tiga hari lagi” tukas Viren. Aku terbelalak melihat ke arah Viren lalu melemparkan pandangan ke Neo. Neo bodoh mengajakku pergi ke sarang Red Haired Splinter.
“Oh sial. Neo, apa kau benar-benar yakin aku yang akan kau ajak? Bahkan aku belum mampu mengalahkan seekor Assasin Builder A”
“Hm…aku rasa aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku punya pilihan lain yang lebih baik darimu, jelas aku akan langsung mencoret namamu dari daftar pilihan”
“Ew…itu terdengar jahat sekali, Neo” Homoco menimpali. Tapi tatapannya mengejek padaku. Aku memicingkan mata ke arahnya.
“Heh, apa maksudmu?” aku menunjuk wajah Neo.
“Sudah…sudah…yang jelas saat ini yang kita punya hanya Valerie, Neo. Kita butuh disena, dan sebaiknya kita cepat. Tiga hari lagi dan perjalanan menuju daratan Outcast itu butuh waktu minimal tiga hari lamanya, ingat itu” Viren menepuk pundak Neo,” Valerie, nanti di sana jangan pergi jauh-jauh dari kami bertiga atau kau mati muda” aku sedikit bergidik mendengar kata-kata terakhir Viren. Itu bukan pilihan yang bagus sama sekali.
Kami pun segera pergi menuju tempat yang dimaksud di mana sarang Red Haired Splinter berada.
Ini perjalanan pertamaku melakukan sebuah quest di daerah yang jauh. Jujur aku belum pernah menjejakkan kakiku di tanah Outcast yang—katanya—gersang dan berdebu itu. Untuk bisa sampai ke Outcast, kami harus melewati banyak tempat yang rawan ditemukan oleh bangsa lain, karena itu bukan daerah kekuasaan bangsa Cora. Dari Padang Sette, Volcanic Couldron, Hutan Buas dan berakhir di daratan Outcast. Ketika berada di Padang Sette, kami bertemu dengan pedagang yang hendak pergi ke Hutan Buas. Ia meminta perlindungan dari kami dan dengan imbalannya kami bisa ikut menumpang di keretanyahingga Hutan Buas. Setidaknya ini bisa menghemat waktu kami menuju daratan Outcast.Meski begitu, ini tetap tidak mudah bagiku yang notabene wanita satu-satunya di kelompok ini. Dan bagian mandi serta buang air adalah yang tersulit karena aku harus benar-benar memastikan bahwa aku aman dari penglihatan para lelaki itu.
Tempat-tempat itu bukan tempat yang familiar dan jauh lebih buruk dari bayanganku sebelumnya. Aku jadi rindu Spire. Lighthalzen. Aku rindu doom, Ibu dan adik-adikku.
“Hidupmu bukan sebuah permainan dimana kau bisa hidup kembali di tempat kau melakukan binding location terakhirmu. Perang bukanlah sebuah permainan. Ini tentang hidup dan mati. Kalau kau kurang cermat dengan lingkunganmu, bersiaplah untuk mati detik itu juga di tangan orang lain. Ingat, kau sudah memilih bagaimana cara kau mati. Sebelum kau mau untuk itu, pertahankan hidupmu sebisamu. Sekuat tenagamu. Karena Alliance belum tentu mengingat orang-orang yang sudah mengorbankan nyawanya demi mereka. Kau bisa saja berjuang bersama Alliance—atas nama Alliance—tapi kau akan mati sendiri. Jadi tolong jangan main-main dengan hidupmu”
Tiba-tiba saja aku teringat kata-kata Reginsha—adik pertamaku—di surat pertamanya untukku. Ya, tempat-tempat yang aku lewati selama melakukan perjalanan ini memang jauh dari Spire. Jauh lebih mengerikan dan lebih mencekam. Kemungkinan untuk ditangkap di tengah jalan selalu ada. Belum lagi ancaman akan para monster yang berkeliaran.
Tepat di hari ketiga, kami sudah menjejaki dataran Outcast. Tapi waktu yang kami miliki sangatlah singkat karena kami harus sudah berada di Markas sebelum besok pagi untuk menyerahkan apa yang Muni minta. Kalau apa yang ia inginkan belum ada sampai besok, bisa-bisa bayarannya pun turun sangat jauh dari apa yang dijanjikan. Dini hari kami sudah menyusuri daratan Outcast, menuju ke tempat di mana RHS berada.
“Neo, kau saja yang melakukan debuff. Kami akan menunggumu di sini” kata Viren sembari mencari RHS terdekat yang bisa di-debuff.
“Kau serius, satu lawan empat? Apa tidak akan makan waktu? Sebaiknya satu ekor dua orang, itu akan lebih menghemat waktu”
“Aku tidak begitu mahir dalam melakukan debuff” kata Viren,”Aku juga” tambah Homoco. Lalu tatapan terakhir mereka mengarah ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum lebar,”Maaf..” hanya itu yang keluar dari mulutku. Mereka bertiga menghela nafas panjang.
“Sebaiknya salah satu dari kalian ada yang harus mulai belajar melakukan debuff dengan  baik. Valerie, kau ikut aku. Ingat, jangan jauh-jauh dariku” kata Neo. Kami pun berpencar mencari RHS terdekat yang bisa di-debuff.
“Kau sudah belajar melakukan summon?” tanya Neo melirik tongkat di tanganku.
“Aha, aku pakai Hecate” kataku.
”Wah, sudah diajarkan mengeluarkan Hecate? Waktu itu, aku baru diajarkan mengeluarkan Inana di bulan kedelapanku, tapi kau sudah bisa melakukan summon Hecate di bulan kedelapanmu?? Sinting”
“Ha-ha, jangan remehkan aku wahai senior” aku merasa lebih hebat darinya. Aku mengeluarkan Hecate-ku. Aku belum memberikan nama pada Hecate-ku sejauh ini seperti yang dilakukan Tuan Shedir pada Inana-nya.
“Tunggu di sini, usahakan berada jauh dari RHS yang mendekat” kata Neo sembari menjauh dariku. Ia hendak melakukan debuff pada RHS yang terlihat dari sini.
“Vale, bersiaplah. RHS-nya mendekat. Jangan lakukan skill area, lakukan single hit” Neo datang diikuti seekor RHS yang dimaksud. Wow, makhluk itu besar sekali. Aku pun mengeluarkan force yang aku ingat secara random; Blaze Pearl, Chain Lightning, Meteor Swarm, Poison Breath, Frost Nova dan Rock Blade secara berturut-turut. Sementara Hecate-ku pun ikut melakukan serangan.
“Hoi, jangan gunakan skill area, Bodoh!!” teriak Neo sembari terus melakukan skill pada RHS itu.
“Memang iya? Aku menggunakan force yang aku hafal saja Neo”
“Sampah! Single hit, Valerie!! Prism Beam, Electric Bolt, Ice Beam, Vain Fall…” kini Neo yang menjadi pusat serangan RHS itu,”Cepat lakukan!!!”
Astaga, semua itu skill Basic. Aku lupa itu semua. Sebentar, Neo, sebentar. Aku akan mengingat-ingatnya dulu.
“VALERIIEEE!!!! AKU SUDAH TERKENA DEBUFF MAKHLUK SIALAN INI!! APA YANG KAU TUNGGU??!!!” Neo berteriak—aku bahkan tidak bisa membedakan itu sebuah teriakan atau jeritan. Aku bergegas melakukan serangan dari belakang. Aku melakukan semua yang Neo katakan tadi, dan itu membuat makhluk itu memusatkan serangannya padaku. Sial, aku tidak bisa melakukan keempat force ini saja secara berturut-turut. Aku melirik Neo tidak bergerak.
“Neo, apa yang kau lakukan?!” kataku sembari terus focus pada RHS di depanku.
“Lakukan Flame Arrow, Electric Bolt, Frost Arrow, Rock Blade, Blaze Pearl dan Rage of Wave!!! Sekarang!!!” teriaknya. Ah itu Force Elite. Aku masih ingat itu semua. Tanpa pikir panjang aku langsung menyerang makhluk itu secara bertubi-tubi,”Jangan berhenti atau kau akan terkena debuff-nya!!!” teriak Neo lagi. Jujur saja, aku kewalahan mengalahkan makhluk ini tanpa Neo. Staminaku sepertinya mulai berkurang dan tentu saja kekuatanku untuk mengeluarkan Force ikut berpengaruh. Semua force yang aku keluarkan semakin melemah kekuatannya, kecepatannya pun berkurang. Sial.
“Neo, kekuatanku!!! Aku butuh potion!!” dan di saat itu pula Hecate-ku menghilang pertanda ia pun sudah kehilangan kekuatannya untuk terus melakukan serangan. Sial, sekarang aku benar-benar sendiri.
“Cepat, ambil potion-mu!!!” Neo kembali melakukan serangan untuk mengalihkan perhatian makhluk itu. Aku sedikit menjauh, meminum semua potion yang aku punya. Sebelum aku kembali menyerang, aku melakukan Force support pada Neo dan melakukan Heal Animus pada semua Animusku.
“Sepertinya ada yang sedang kewalahan” Homoco dan Viren datang dan membantu kami menghabisi RHS yang satu itu.
“Kami pikir mengalahkan satu RHS bersama-sama akan lebih menghemat waktu” teriak Homoco. Viren mengangguk,”Kita bisa saling melakukan cover jika ada yang terkena debuff”
Setengah jam kemudian, kami sudah menghabisi sepuluh ekor RHS. Kami tidak punya banyak waktu untuk memburu empat puluh ekor sisanya. Sepertinya dengan melakukan ini bersama-sama memang lebih menghemat waktu. Dan aku merasa tidak berguna dalam kelompok ini.
“Sepertinya aku tidak terlalu berguna di sini” kataku pada panggilan private MC pada Viren. Aku melihatnya tersenyum sembari masih terus melakukan serangan pada RHS yang baru saja Neo kenakan debuff.
“Ini salah satu yang bisa menaikkan hunting experience-mu, Vale. Bertahanlah. Lakukan sebisamu”
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara dentuman keras.
“Suara apa itu?” teriakku. Fokus kami semua mulai berkurang pada RHS yang berada di depan kami.
“Sial. Itu Accretia. Cepat, minta bantuan!!” kata Neo. Aku menjauh dari mereka semua dan membiarkan hanya Hecate-ku yang melakukan serangan.
“Ada sekitar lima ekor—ehm, apapun itu—Accretia di daerah Threat’s Passage!! Tolong kami, kami sedang dalam pertarungan!!” aku hampir menjerit histeris pada operator, panik.
“Kalian seorang siswa akademi?”
“Iyaaa!!! Cepatlah, Nona!! Kami tidak ingin mati muda di sini!!”
“Bantuan segera datang” aku segera kembali membantu mereka semua. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja tiga orang prajurit muncul, melakukan teleportasi ke tempatku. Aku hampir saja memukulkan tongkat ke arah prajurit muda yang tepat berada di sampingku.
“Mana Para Mesin Bobrok itu?” tanya prajurit muda di sampingku itu. Wajah mereka rasanya familiar untukku. Dua orang dari mereka segera membantu mengalahkan RHS itu hanya dengan satu kali serangan. Sial. Mereka kelewat hebat kalau begini caranya.
“Di sana, Tuan. Sepertinya tadi mereka menghabisi seorang Bellato dengan MAU-nya” ucap Homoco sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Sepertinya kita memang harus melakukan cover untuk anak-anak ini” kata seorang wanita sembari melipat tangannya.
“Quest apa yang sedang kalian jalani?” tanya seorang lelaki yang lain lagi. Dibandingkan dengan lelaki yang satunya, sepertinya usia lelaki berkacamata ini lebih tua. Hm, sekitar…tigapuluhan mungkin?
“Lima puluh hati RHS, dan deadline kami besok pagi di Markas, Tuan” kata Viren.
“Kenapa kalian mengambil quest dengan deadline mepet seperti itu, hah!!” kata prajurit muda tadi. Aku melihat ketiga temanku itu hanya tertunduk, sepertinya ragu untuk menjawab. Aku hendak menjadi penyambung lidah untuk mereka tapi aku pun ragu—kalau-kalau aku salah bicara.
“Hm…aku mengerti. Sepertinya masalah disena” kata si wanita. Yes, akhirnya ada yang mengerti kami tanpa perlu kami katakan,”Sudah berapa buah yang kalian dapatkan?” tanyanya lagi.
“Dengan yang satu ini jadi dua belas buah, Nona” kini Neo yang angkat bicara.
“Biar aku yang mengambil hatinya, Neo” kata Homoco sembari melakukan ‘pembedahan’ pada perut RHS dengan pisaunya.
“Sisa waktu kurang dari dua setengah jam, dan masih harus membunuh tiga puluh delapan ekor lagi. Hm, tugas kalian sepertinya berat” kata lelaki berkacamata.
“Sebaiknya cepat, karena bisa saja Para Mesin Bobrok itu menemukan kita semua”
“Haruskah kita memanggil dua orang lagi agar man-to-man?” kata si wanita.
“Tidak usah, aku yakin anak-anak ini bisa diandalkan” kata lelaki berkacamata itu. Entah kenapa lelaki berkacamata itu terlihat lebih keren setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Sangat berwibawa. Sementara aku masih bertanya-tanya siapa orang-orang ini sebenarnya. Aku melirik ketiga temanku, wajah mereka juga terlihat lebih cerah setelah mendengar perkataan prajurit berkacamata itu. Bayangkan saja, kami yang masih menjadi siswa akademi dipercaya untuk mengalahkan bangsa lain. Itu sesuatu sekali—seperti kata biduan terkenal asal Spire, Syahar Aini.
“Aku dan Hervy akan melakukan patroli. Kau bantu mereka menyelesaikan quest” kedua orang itu pergi dari hadapan kami.
“Baik. Ayo, biar aku yang tarik RHS itu untuk kalian” Prajurit muda itu pergi menjauhi kami untuk mengenai debuff pada RHS, tapi ia kembali dengan dua ekor RHS yang mengikutinya,”Ahahaha, dua ekor tidak masalah kan untuk kalian?” tanyanya sembari tertawa. Orang itu aneh, aku rasa tidak ada yang harus ditertawakan. Neo, Viren dan Homoco sudah melakukan kuda-kuda untuk melakukan serangan, begitu pun aku dengan Hecate-ku.
Sejam kemudian kami sudah mengumpulkan lima puluh hati RHS. Beruntung prajurit muda ini membantu kami.
“Hosh…hosh…akhirnya, sudah lima puluh…” Neo terengah-engah. Begitu juga yang lain. Aku mengusap peluh yang sedaritadi merambati wajahku. Aku tidak menyangka membunuh RHS bisa sebegini melelahkannya. Wajar Valerie, kau bahkan belum lulus dari akademi.
Tiba-tiba, dentuman terdengar lagi beberapa meter jauhnya dari tempat kami berkumpul.
“Sial!! Itu para Accretia!!”

Next part:

disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO

*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition
“RF Online Indonesia”

No comments:

Post a Comment