Saturday, December 29, 2012

[Rising Force] The Beginning to The New World part XIV


            
            Kami berhamburan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Aku lari ke arah Hutan Buas. Aku diam sejenak di antara lebat belukar dan kelakar pepohonan di sana. Aku sendiri di sini, itu masalahnya, terlebih aku tidak tahu di mana tepatnya aku berada sekarang. Tiba-tiba sebuah tembakan dari sebuah launcher mengenai pepohonan di sisiku. Sial, aku masih di kejar. Yang ada dipikiranku saat ini hanya 'jangan sampai tertangkap dan tetap bertahan hidup, apapun caranya'.
            “Tolong aku!! Aku sedang dikejar oleh Accretia di daerah Hutan Buas"
            “Ada berapa Accretia yang mengejarmu?"
            “Sekitar empat buah. Cepatlaaaahhh!!! Aku belum bisa melawan merekaaa!!!" aku hampir saja berteriak pada operator Markas.
            “Vale, kau di mana?" tanya Viren.
            “Empat buah Besi Bernyawa itu mengejarku. Menembakiku dengan membabi butaaaaa!!! Aaaarrrgggghhh!!!" dan tembakan yang terakhir meleset namun tepat membakar tangan kananku. Sial. Aku lebih memilih tanganku digigit oleh Villain Cannibal daripada tertembak seperti ini.
            “Kau baik-baik saja, Vale?"

            “Aku rasa kau tahu jawabaannya, Viren; sangat tidak baik sekali" aku benci menjawab pertanyaan macam itu. Tiba-tiba aku terperosok dan sukses terguling di tanah yang landai. Tak usah tanya apa itu sakit atau tidak, terlebih tanganku terkena serangan launcher. Dan akhirnya berhenti, tepat di sisi sebuah jurang. Itu hampir saja. Tubuhku rasanya tak berbentuk lagi. Aku bahkan lupa kalau aku masih bisa bergerak. Aku telentang begitu saja di sana. Aku mencoba menghububungi Markas tapi—ini hal yang paling kubenci—MC-ku rusak. Harapanku hanya satu, yaitu agar mereka tidak menemukanku—baik dalam keadaan hidup atau mati. Aku menengok ke bawah jurang; ada sebuah sungai yang mengalir dan pepohonan lainnya yang rimbun menutupi apa yang ada di bawahnya. Jurang itu memang tidak terlalu dalam—mungkin setinggi bangunan dua atau tiga lantai—tapi cukup untuk bisa meremukkan tubuh bila terjatuh. Aku merasakan dahaga saat melihat aliraan sungai tapi ini bukan saatnya untuk memikirkan air. Aku mencoba menikmati rasa sakit dan nyeri yang aku alami saat ini, tapi gagal. Ini benar-benar bukan hal yang bisa aku nikmati. Sial. Aku terdiam. Hening. Hanya ada suara jangkrik dan cicit burung senja. Aku bersiul dengan memainkan sebuah nada. Lalu terdengar suara siulan yang sama. Ah, itu pasti Mocking Bird—burung yang bisa menirukan nada yang didengarnya. Setahuku para pendahulu menggunakannya sebagai alat untuk mengetahui adanya bahaya atau musuh di dekat perbatasan. Burung itu bisa menjadi alat komunikasi dalam peperangan.
            “Ke mana lagi kita harus mencarinya? Ia menghilang membawa semua data penting kita" aku mendengar suara seseorang dari bawah sana. Aku menengok ke bawah. Ah, itu orang-orang dari Markas. Entah kenapa rasanya harapanku untuk tetap hidup lebih lama makin besar semenjak melihat orang-orang itu. Baru saja aku hendak berteriak untuk meminta bantuan, aku melihat dua buah Accretia mendekati mereka. Aku hampir saja berteriak untuk memperingati mereka sebelum akhirnya aku tahu kedua Accretia itu malah berbicara dengan mereka. Pemandangan itu cukup janggal untukku.
            “Iya, kita harus menemukannya sebelum tengah malam. Tuan Keavy membutuhkan data itu secepatnya" kata seorang Cora yang lainnya. Aku memang tidak bisa mengerti bahasa para Accretia itu tapi dari apa yang aku dengar sepertinya ada sesuatu yang dicari oleh kedua ras itu. Tuan Keavy? Rasanya aku baru mendengar nama itu. Apa ia salah seorang Panglima Besar? Apa kedua Accretia itu salah satu mata-mata Cora? Ada yang janggal dari ini semua.
            “#%&@#&@&*@*##&*%*#!%&"
            “Ada seorang Cora di sekitar sini?" tanya seseorang dengan nada tidak percaya.
            “Jangan-jangan Markas mengirimkan orang untuk membuntuti kita" kata seorang yang lain.
“%@!&*@%&#*#&*#/@#*%@&"
            “Armor itu dipakai oleh siswa akademi. Jangan sampai ia menemukan kita disini. Ayo cepat, kita harus kembali ke Markas"
            “Kalau kalian menemukan siswa itu, bunuh saja. Siswa akademi tidak ada yang berguna untuk dibawa ke Markas" yang lain menambahkan. Seketika itu pula harapanku untuk hidup kembali menyusut bahkan berkurang hingga titik nol persen. Jantungku berdegup makin kencang dari sebelumnya. Mereka mata-mata Accretia. Dan kali ini rasanya makin sesak nafasku.
            “Hei.." seseorang tiba-tiba saja ada di sampingku. Aku sudah berteriak kalau saja ia tidak membungkam mulutku,"Sssttt...kau harus diam kalau masih ingin hidup" katanya sembari setengah berbisik padaku. Ia menengok ke bawah, melihat keadaan di sana.
            “Kau mendengar semuanya?" tanyanya. Aku melihat mata orang itu. Aku berpikir apa yang harus aku katakan. Rasanya saat ini aku tidak bisa mempercayai orang lain. Bisa saja kan prajurit muda ini salah satu dari mereka lalu membunuhku begitu saja jika aku bilang 'ya'.
            “Sebentar, kau tidak mengira kalau aku bagian dari mereka kan?" ia melepaskan bungkaman tangannya. Aku masih mencari-cari kebohongan di matanya.
            “Siapa saja, saat ini bisa membunuhku kan?"
            “Aaarrgghh...sudah aku bilang..."
            KKKRRRAAAKK. Dari atas sana terdengar suara kayu yang patah. Lelaki itu segera membantuku untuk bersembunyi di sebuah celah yang berasal dari kayu pohon yg sudah tua. Celah itu tidak terlalu besar untuk kami berdua dan dengan susah payah kami duduk bertumpuk disana. Aku sedikit risih dengan posisi seperti ini; aku duduk di atas pangkuannya. Sial. Awas saja kalau ia macam-macam.
            Aku masih merintih kesakitan. Aku baru sadar kalau kakiku juga patah. Lagi-lagi ia membungkamku tapi kali ini aku menggigit tangannya—aku butuh sesuatu untuk menahan rasa sakit. Kali ini ia yang mengaduh tapi (hampir) tak bersuara.
            “Kau wanita tak tahu diri. Baru kali ini aku menemukan orang yang aku tolong malah menyakitiku. Sial" ia menatap tangannya yang merah dan ada bekas gigitanku disana.
            “Sakit..." aku masih merintih, kali ini aku menggigit bibirku sendiri.
            “Hei...jangan gigit bibirmu, Bodoh. Sudah cedera malah menambah luka lainnya. Idiot sekali kau!" Ia menyentil dahiku.
            “@#%*@&#&@*#*!@&@%%&"
            “@%*#&@%*%&" terdengar suara gemeresak dedaunan yang diinjak di atas celah dimana kami bersembunyi.
            “Ssssttt..mereka sedang mencarimu. Tahanlah sebentar rasa sakit itu, aku mohon. Kau tidak ingin mati muda kan?" bisiknya dekat di telingaku. Aku menahan nafasku.
            “@#!?%&*@?%&#*%!@%?&"
            “@%?*%*@!%&*%?!&%"
            Lalu hening beberapa saat.
            “Sudah..mereka sudah pergi" katanya, masih berbisik. Aku pun menghembuskan nafas lega,"Sebentar, biar aku yang periksa" ia keluar untuk melihat keadaan sekitar apakah sudah aman atau belum,“Kemarikan tanganmu, aku bantu kau keluar" Ia menarik tubuhku dengan susah payah lalu mengambilkan tongkatku. Ia menekan sesuatu di alat navigasinya lalu aku melihat ia mengeluarkan alat navigasi khusus—itu alat untuk mengetahui keberadaan bangsa lain di sekitar sini.
            “Hei..hei..apa yang kau lakukan?" tiba-tiba ia membopong tubuhku.
            “Jangan cerewet. Pegang tongkatmu dengan benar"
            Ia membawaku ke tempat di mana pepohonan tidak terlalu rimbun, lalu aku melihat sebuah pesawat mendarat dari celah-celah pepohonan itu. Ia membantuku untuk naik ke sana dengan susah payah. Pesawat itu adalah pesawat dengan hanya dua awak saja.
            “Kau mau membawaku ke mana?” tanyaku.
            “Kau mau aku membawamu ke mana, hah?” tanyanya.
            “Kau…prajurit Markas bukan?” tanyaku takut-takut. Aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
            “Suntikkan cairan ini ke kakimu. Ini akan mengurangi rasa sakitmu untuk sementara” Kemudian ia membuka bagasi pesawatnya yang berada tepat di belakang tempat dudukku. Ia mencari-cari sesuatu di sana,”Ah, ini dia” Sebuah papan kayu dan perban. Ia membalut kakiku dengan papan kayu itu terselip di antara balutan perban dan kakiku,”Ini akan membuat tulangmu tidak terlalu bergeser dari tempat seharusnya. Aku harap kau bisa bertahan sementara dengan ini. Dan…tanganmu, apa kau bisa tahan? Aku tidak memiliki perban lebih” ia jelas melihat darah masih bercucuran dari tangan kananku. Aku mengangguk perlahan, menahan tangis karena kesakitan. Aku tidak ingin menyusahkan orang lebih jauh dari ini, bisa ditolong dan ditemukan laki-laki ini saja aku sudah beruntung.
            “Baiklah, yang ini biar aku yang menyuntikkannya” ia mengeluarkan lagi sebuah pope lalu menyuntikkannya di tangan kananku.
            Selama di perjalanan kembali ke Markas, tidak ada yang memulai pembicaraan di  antara kami. Yang aku perhatikan hanya punggung bidangnya dari kursi penumpang di belakangnya. Dan…langit yang berada di luar jendela pesawat, ini lebih luas dari yang aku pikir selama ini. Untuk pertama kalinya aku melakukan perjalanan dengan sebuah pesawat. Entah aku harus bersyukur atau meratapi apa yang aku alami hari ini.
            Malamnya, kami sudah sampai di Markas. Ia membawaku ke rumah sakit—tentu saja yang ada di dalam Markas. Ini memang tidak sebesar dorm prajurit tapi cukup besar untuk rumah sakit yang dibangun di bawah tanah. Selama perjalanan menuju rumah sakit, kami berdua jadi objek menarik yang bisa dilihat.
            “Turunkan aku..." bisikku.
            “Kalau aku mau, aku sudah melemparmu dari tadi. Hanya saja...mana mungkin aku membiarkan wanita terluka dengan kaki patah pergi sendiri ke rumah sakit dengan darah bercucuran. Markas bisa kotor oleh darahmu" katanya tanpa memandangku. Aku pikir ia hendak berkata layaknya seorang pria yang hendak melindungi seorang wanita. Ternyata...ergh.

Next part:

disclaimer:
CCR INC Soul and Spirit
LYTO


*berpartisipasi dalam "RF ONLINE" Competition
“RF Online Indonesia”

No comments:

Post a Comment