Wednesday, September 18, 2013

[Monolog] Lelaki Hujan

[Melihat keluar jendela] Aku selalu hafal perasaan seperti ini. Perasaan sunyi, hampa dengan atmosfer dingin seperti saat ini.[Menengadahkan tangan] Hujan, kau selalu mengingatkanku akan sesuatu. Dengan sepotong masa lalu yang masih sering mendatangiku. Kau mengingatkanku pada seseorang yang begitu mirip denganmu, ia menyukaimu.

Ia selalu bilang padaku kalau hujan punya kehangatannya sendiri, dan aku tidak akan bisa merasakannya dengan tanganku melainkan hatiku. Hm... [Merasakan rintik yang jatuh ke tangan] Tapi sekarang aku tahu apa maksudnya, aku merasakannya.

Ia lelaki yang begitu aku cintai. Lelaki dingin yang sebenarnya memiliki hati yang begitu hangat, lebih hangat dari musim panas. Ia selalu tahu kapan aku ingin menangis dan tahu kalau aku malu untuk mengeluarkan air mataku di depan orang lain, makanya ia pun selalu meminjamkan punggungnya. Tapi karena punggung itulah aku selalu menangis. Karena aku sadar, suatu hari nanti, cepat atau lambat aku akan melihat punggung itu pergi menjauh dariku. Meninggalkanku. Aku takut kehilangan lelaki itu.

Aku ingat, ketika ia seperti mendung yang tak lagi mampu menurunkan hujan—menyedihkan. Sepanjang hari ia habiskan di ranjang kesayangannya, dan tak pernah bangkit lagi dari sana. Aku selalu menyempatkan diri untuk duduk disisinya, mengusap telapak tangannya yang kasar. Dan berharap ia tahu bahwa aku ada di sisinya, menemaninya selagi aku masih punya waktu untuk itu. Aku tidak ingin kehilangan momen-momen berharga bersamanya. Aku tidak ingin menyesal karena meninggalkannya sendiri, karena dulu ia tidak pernah meninggalkan aku sendiri.

Dan sekarang, hujan kembali membawaku ke detik-detik mengharukan itu, saat seseorang meneleponku dan berteriak histeris memanggil namaku.
 “Pulang, Nak!!! Pulang!!!”

“Ada apa, Bu? Katakan!!”

“Ikhlaskan ia, Nak. Ia sudah pergi meninggalkan kita semua”

Waktu itu, aku jatuh terduduk ke atas tumpukan salju yang dingin. Aku seperti dimakan perasaan pedih yang begitu buas di dalam diriku sendiri.

“AYAH, KENAPA KAU LAKUKAN INI PADAKU? KENAPA KAU TIDAK MENUNGGUKU? KENAPA KAU PERGI KETIKA AKU TIDAK ADA DI SISIMU? KENAPA KAU MENINGGALKANKU TERLALU CEPAT? KAU BAHKAN BELUM MEMBUKTIKAN BAHWA SUATU HARI AKU BISA BAHAGIA TANPA ADA DIRIMU DISISIKU!!! MANA?? INI MENYAKITKAN. APA KALI INI KAU TIDAK INGIN MEMINJAMKAN PUNGGUNGMU HINGGA KAU PERGI BEGITU SAJA KETIKA AKU TIDAK ADA DI DEKATMU? APA KARENA ITU? BAIK, AKU TIDAK AKAN MEMINJAM PUNGGUNGMU LAGI. TAPI JANGAN PERGI!! KEMBALILAH!! AKU MASIH MEMBUTUHKANMU!! TUHAN, DENGAR AKU! KENAPA KAU MERENGGUTNYA DARIKU BEGITU SAJA? AKU BELUM JADI ANAK YANG BERBAKTI PADANYA. AKU BELUM SEMPAT MENGATAKAN KALAU AKU BANGGA MEMILIKI AYAH SEPERTINYA. AKU BEGITU MENCINTAI LELAKI ITU, TUHAN. LELAKI HUJAN ITU...AKU BEGITU MENCINTAINYA. TOLONG BAWA IA KEMBALI PADAKU, AKU MOHON”

Air mataku pun menetes saat itu. Aku menangis, tapi untuk pertama kalinya, tidak di punggung lelaki itu.
Saat ini, hanya ada aku dan dirimu, Hujan [Menengadahkan kepala ke atas] Aku merasa dunia tidak lagi menarik di mataku setelah kepergian lelaki hujan itu, sampai akhirnya aku bertemu seorang lelaki yang begitu mirip dengannya. Ia seperti berada di tubuh yang berbeda, di masa yang berbeda. Aku selalu ingin menangis ketika melihat lelaki itu, tapi tak bisa, karena tak ada lagi yang meminjamkan punggungnya untukku menangis.

Ayah, aku menemukan lelaki yang begitu mirip denganmu. Mungkin rasanya tidak sama seperti ketika aku bersamamu tapi tak apa, aku tidak mengharapkan apapun melainkan yang terbaik, untukmu juga tentunya. Jangan lupakan apapun tentangku, karena aku juga selalu ingat kata-katamu bahwa tak selamanya cerita itu berakhir bahagia, kadang ini butuh akhir yang menyedihkan untuk mengakhirinya. Tapi, masih adakah awal yang sama jika kesempatan hidup terulang?

Hujan, kalau kau ada waktu, tolong sampaikan ini padanya:

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus di sini. Entah kenapa.

Insan Kamalia R
ex XII IPA 3

NB : kalimat terakhir ialah petikan dari buku Supernova : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh milik Dewi Lestari.
Ini monolog pertama saya, yang kemudian jadi kenyataan.

1 comment: