Thursday, January 1, 2015

Hari ke 3

Pada sebuah akhir tahun yang hanya menghitung detik dari saat ini, saat di mana kita dipertemukan entah untuk terakhir atau pertama kalinya.

Aku melihatmu di antara keramaian yang riuh, di antara lalu lalang yang begitu cepat. Waktu di sekitarku tiba-tiba melambat. Tak ada lagi keriuhan terdengar di telingaku. Tak ada lagi lalu lalang padat di depanku. Hanya kamu. Seseorang yang sedang menatap ratusan lampion yang sedang dinyalakan di tangan para manusia malam yang ikut serta merayakan detik-detik berakhirnya satu lagi revolusi bumi yang kesekian. Aku bahkan tak peduli jika nyatanya kamu duduk di sebuah kursi roda. Yang aku tahu, matamu sama cemerlangnya dengan langit malam ini. Kamu terlihat seperti yang paling bersinar di antara yang lainnya. Mungkin Langit sedang menjelma menjadi dirimu. Mungkin Langit hendak merayakan keberhasilan Bumi berevolusi dengan para manusia, makanya ia menjelma menjadi kamu karena ingin ikut bersuka cita.


Tawa manusia lain buncah di sana sini, menyisakan kehampaan padaku yang sendiri. Tapi hanya dengan melihatmu, duniaku tak sama lagi dengan sedetik yang lalu. Rasanya lebih berwarna. Mungkin pupilku mengecil karena melihat cahaya yang datang darimu.

Aku berlari ke arahmu, membawakan sebuah lampion putih untukmu.

“Ini. Kamu belum dapat kan?” aku mengulurkan sebuah lampion ke depanmu. Kamu ternyum.

“Terima kasih.” Katamu. Rasanya jantungku berhenti. Lihat, matamu indah. Mungkin cahaya Sirius[1] terperangkap di dalam sana.

“Mau coba menghidupkannya sendiri?” tanyaku lagi sembari menjulurkan sebuah korek api.

“Boleh. Terimakasih lagi.” Kamu mengambil korek api itu dari tanganku. Lengkap dengan senyuman yang tersungging di wajahmu.

Kamu mengambil sebuah pena dari kantung jaketmu. Menuliskan sesuatu di lampionmu yang sudah kamu sulut apinya. Aku memperhatikannya. Ada bahagia tersirat di wajahmu.

“Kamu mau tulis juga?” katanya tiba-tiba.

“E..b-boleh” aku menerima pena itu darimu, “Hm....ngomong-ngomong, apa ya yang aku harus tulis?” aku merasa sedikit bodoh dengan pertanyaan itu. Kamu terkikik.

“Apa saja. Cita-cita. Permohonan. Barangkali Tuhan membacanya lantas mengabulkannya.”

“Baiklah.” Aku menuliskan sesuatu di sana. Lalu aku mengembalikan pena itu padamu lantas berterimakasih. Berterimakasih atas kehadiranmu malam itu lebih tepatnya.

Hening di antara kita berdua untuk sesaat. Tiba-tiba aku merasa aku harus lebih memilih diam dan menatapmu saja dari sini. Tanpa perlu kata-kata untuk diamini.

“Langit malam ini bagus ya. Sedang cerah.” Kamu menatap langit. Tapi aku lebih memilih menatapmu. Entah sampai kapan.

“Iya. Cemerlang seperti kamu.” Lantas aku sadar aku kelepasan.

“Apa?”

“Maksudku langitnya terang, banyak bintang” aku cepat-cepat berkilah. Kamu tersenyum lagi.

“Kalau harus mati hari ini, rasanya aku lebih memilih untuk ditelan langit saja.”

Aku sudah mati daritadi. Jantungku rasanya berhenti. Kamu di depanku, dan kamu tidak tahu kalau kamu cantik sekali, kataku dalam hati.

“Mungkin kalau kamu mati kamu akan jadi sebuah bintang”

“Mana ada bintang yang tak bisa berjalan. Bagaimana ia berevolusi nantinya?” perempuan di depanku ini mulai terlihat melayu.

“Siapa bilang? Kamu tahu kalau matahari itu bintang? Ia pusat revolusi Bumi. Ia berdiri tegak di pusat tata surya. Di kelilingi planet-planet yang jatuh cinta karena gravitasinya.” Seperti aku yang jatuh cinta karena gravitasimu.

“Terimakasih atas kata-katanya.” Ia mendongak ke atas, menatap langit lagi. “Dari dulu, aku ingin bisa berlari. Ingin bisa lihat bintang-bintang lebih jauh lagi. Mungkin dari ujung bintang Polaris[2] sampai rasi Crux[3]. Pasti menyenangkan bisa menikmati langit seluas itu sambil berlari.”

“Mari kita hitung mundur menuju awal tahun yang baru. Sepuluh...sembilan...” seorang MC di depan sana mulai menginstruksikan untuk berhitung mundur bersama dengan sumringahnya.

“Hei, ayo bersiap menerbangkan lampionnya.” Kamu membuyarkan fokusku pada ceritamu.

“Lima...empat...tiga...dua...satu...” terdengar suara mereka yang ikut perayaan tahun baru ini ikut berhitung mundur. Perempuan di depanku ini juga ikut berhitung sambil menatap lampion putih di tangannya yang masih ia pegang. Cahaya lampion di antara kita ini makin memperjelas senyummu yang manis itu.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan kembang api di langit. Cahaya warna warni, percikannya seperti berkelip lantas hilang ditelan gelap malam. Pupil matamu membesar. Aku melihat indahnya percikan warna warni kembang api itu di sana. Aku seperti ditelan gravitasi yang sungguh hebat dari sebuah supernova[4], rasanya gravitasi ini hendak mencabik-cabik seluruh tubuhku. Kelenjar adrenal[5]ku seperti ikut berpesta pora dengan manusia-manusia Bumi ini. Sekresi hormon adrenalin[6]nya makin menggila. Rima jantung dan aliran darahku makin tak teratur. Tapi tak apa, aku rela jika aku tertarik kepadamu. Aku rela jatuh pada gravitasimu. Aku rela ditelan bintang paling terang semacam kamu. Iya, aku rela.

Percikan api warna warni mewarnai langit malam ini. Tahun sudah berganti. Revolusi Bumi tepat dimulai lagi dari detik ini. Dan aku di sini, masih terpaku padamu yang begitu indah. Aku bisa lihat pipimu memerah. Mungkin karena saking bahagianya.

Hening lagi-lagi ada di antara kita. Tapi tak apa, aku lebih memilih terpana padamu tanpa kata. Aku tak peduli lagi seberapa indah langit malam ini dengan percikan cahaya kembang apinya. Yang jelas aku di sini, masih terpana.

Kalau aku harus mati, aku ingin ditelan Langit. Aku ingin jadi bagian darimu, jadi serpihan yang akan berevolusi dengan kamu sebagai pusatnya.

Dan entah pertemuan ini ada untuk jadi yang pertama atau sekaligus jadi yang terakhir kalinya untuk kita. Tapi aku bahagia, aku bisa bertemu  dengan bintang paling terang yang dipunya Langit untukku. Mungkin Langit sedang menjelma menjadi dirimu. Selamat datang Tahun Baru. Aku jatuh cinta pada perempuan di depanku. Iya, aku jatuh cinta padamu. Semoga perasaanku diamini waktu.  

Inspired Song by
Coldplay - A Sky Full of Stars
Requested by
Annisa Auditya








[1] adalah bintang paling terang di langit malam, dengan magnitudo tampak−1.47. Bintang ini terletak di rasi Canis Major dan merupakan sistem bintang ganda dengan komponen primer bintang deret utama kelas A dan komponen sekunder sebuah katai putih.
[2] (kadang disebut juga sebagai Bintang Utara atau Bintang Kutub) adalah bintang paling terang di rasi Ursa Minor. Bintang ini terletak sangat dekat dengan kutub langit utara.
[3] yang umumnya dikenal sebagai Salib Selatan. dua bintang pada rasi Crux ini (Alfa dan Gamma, yang disebut Acrux dan Gacrux) seringkali dipakai untuk menentukan kutub selatan.
[4]  ledakan dari suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi lebih banyak dari nova. Peristiwa supernova ini menandai berakhirnya riwayat suatu bintang. Bintang yang mengalami supernova akan tampak sangat cemerlang dan bahkan kecemerlangannya bisa mencapai ratusan juta kali cahaya bintang tersebut semula, beberapa minggu atau bulan sebelum suatu bintang mengalami supernova bintang tersebut akan melepaskan energi setara dengan energi matahari yang dilepaskan matahari seumur hidupnya. Setelah inti bintang yang sudah tua berhenti menghasilkan energi, maka bintang tersebut akan mengalami keruntuhan gravitasi, secara tiba-tiba menjadi lubang hitam atau bintang neutron, dan melepaskan energi potensial gravitasi yang memanaskan dan menghancurkan lapisan terluar bintang.
[5] Kelenjar ini bertanggung jawab pada respon stress pada sintesis kortikosteroid dan katekolamin, termasuk kortisol dan hormon adrenalin.
[6]  hormon yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Reaksi yang kita sering rasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan.

No comments:

Post a Comment