Friday, January 2, 2015

Hari ke 4

“Aku pulang.”
Nii-chan[1]!!!!!!” dari arah ruang tengah, kedua adik kembarku yang masih kecil—Moa dan Yui—berlari lantas memelukku. BRUK! Pendaratan yang kurang sempurna dari Moa. Ia tersandung kakinya sendiri.
“HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH” tangisnya meledak dan terdengar hampir ke seluruh penjuru rumah.
“Taro? Ada apa dengan adikmu?” dari dapur Ibu berteriak menanyakan perihal suara tangis Moa dari pintu depan.
“Tersandung, Bu” kataku sembari menaruh sepatu lantas menggendong Moa yang terjatuh. Sementara Yui masih bergelayut di kakiku.
“Hei, hei....Moa-chan, anak manis kalau menangis nanti manisnya hilang.” Kataku sambil susah payah berjalan ke ruang tengah karena ada Yui sedang bergelayut di kakiku.
“Iya. Aku berhenti menangis.” Kata Moa sembari mengusap air matanya sendiri tapi masih 
sesenggukan.
“Nii-chan, tadi aku menggambar pesawat terbang di sekolah. Kata Ibu Guru, pesawat buatanku bagus. Nii-chan mau lihat tidak?”
“Moa juga! Aku buat kue ulang tahun dan kata Ibu Guru gambar kuenya bagus.”
“Oh ya? Coba mana gambar kalian? Aku ingin melihatnya.” Keduanya berlari menuju kamar untuk mengambil gambarnya.
Aku, Taro Fujiwara, usia delapan belas tahun lebih sembilan bulan. Hidup dengan kedua orang tua serta ketiga adikku. Sepasang anak kembar tadi adalah dua adik bungsuku. Mereka berdua selalu menyambut kedatanganku seperti tadi. Entah ditambah dengan rengekan minta sesuatu atau cerita yang mereka alami di sekolah. Mereka juga senang meniru. Salah satunya meniru adik pertamaku. Namanya.......


“AAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHHHHHHH!!!!!!!“ dari lantai dua terdengar suara teriakan Suzuka yang melengking.
“Su-chan! Ada apa?!” aku segera berlari ke kamar Suzuka. Membuka pintu tanpa mengetuk. Takut kalau-kalau terjadi sesuatu terhadapnya.
Aku menemukannya tengah berguling ke sana kemari dari sudut kamar yang satu ke sudut kamar yang lainnya seperti sedang kesurupan. Kamarnya jadi semacam kapal pecah. Tidak ada barang yang berada di tempatnya yang sesuai.
Dame dame dame dame dame dame dame dameeeeeeeeeeeeee[2]!!!!!!!!!!!!” teriaknya lagi. Kali ini sambil mengacak-acak rambutnya.
Nee-chan[3], kenapa?” tanya Moa dan Yui yang baru kembali dari kamar mereka.
Nii-chan! Bantu aku!!” ia bergelayut di kakiku. Air matanya mengalir deras dan membuat maskaranya rusak. Dia jadi terlihat seperti setan salah make-up.
“K-kau...ada apa dengan mukamu?!” aku kaget dengan reaksinya.
“Aku tidak bisa berpikir jernih lagi!! AAAAAAAAAAAAARRRRGGGGHHHH!!!” lagi-lagi ia berguling ke sana kemari. Moa dan Yui menaruh gambarnya dekat kakiku lantas ikut berguling di lantai—lengkap dengan lengkingan mereka berdua. Aku menutup telinga, takut kalau-kalau gendang telingaku rusak mendengar suara mereka bertiga.
“Suzuka, Moa, Yui....ada apa di atas?” tanya ibu dari bawah. Aku tahu ibu sedang repot di dapur, memasak untuk enam kepala malam ini seperti biasanya.
“Bukan apa-apa, Bu. Biar aku yang membantu mereka.” Jawabku dari sini.”Suzuka, Moa, Yui...hentikan!” teriakku. Moa dan Yui tiba-tiba berhenti berguling menirukan Suzuka. Tapi Suzuka masih berguling dan menangis.
Nii-chan, Nee-chan belum berhenti.” Kata Moa dengan polosnya sambil menunjuk ke arah Suzuka.
“Hei, Kepala Labu, sadarkan dirimu.” Aku menghentikan tubuhnya yang sedang berguling dengan kakiku.
Nii-chan~” ia terkulai lemas.
“Kau ini kenapa, hah?”
“Iya, Nee-chan kenapa?” tanya Moa dan Yui bersamaan.
“Aku....aku.... HUAAAAAAAAAAAAAAAHHH.” Ia kembali menangis. Aku memijit kepalaku yang mulai pusing. Kenapa para wanita selalu begini sih? Sulit sekali bicara kalau ada masalah. Aku mana tahu masalahnya kalau begini.
“Moa, Yui ayo kita ke bawah. Biar Nee-chan menenangkan diri dulu.” Ajakku pada kedua  anak kembar itu yang masih bingung dengan tingkah kakak perempuannya,” Ambil gambar kalian. Kalian tidak mau kan gambar bagus kalian dihancurkan Nee-chan?” Moa dan Yui segera menggambil gambar mereka masing-masing lalu keluar kamar Suzuka.
“Tenangkan dirimu dulu. Nanti aku kembali lagi.” Aku menutup pintu kamarnya dan menggiring si kembar ke bawah. Aku tidak tahu bagaimana kalau si kembar sudah sebesar Suzuka, akan jadi perempuan macam apa mereka berdua.
Setelah meladeni si kembar, aku kembali ke kamar, mandi lantas menemui Suzuka di kamarnya. Aku mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk..” jawabnya lesu dari dalam kamar.
“Sudah puas menangisnya?” tanyaku sembari duduk di sampingnya. “Kenapa menangis seperti orang kesurupan begitu Su-chan?”
“Taroooooooooo, aku jelek ya?”
“Hah?” kepalaku serasa dipukul palu dengan pertanyaan macam begitu.
“Jawab yang jujur, Nii-chan~~~~~” ia sesenggukan.
“Hm.....biasa saja.”
“Tuh kan! Kau saja bilang aku jeleeeeeeeeeeeeeeeekk!!! Huaaaaahh.” Ia membenamkan wajahnya ke bantal.
“Sebenarnya apa sih masalahmu? Jangan buat aku bingung.”
“Aku stress, Taro. Aku butuh asupan gizi untuk sekresi serotonin di otakku. Tapi aku takut genduuuuttttt. Sedangkan pesta kelulusanku tinggal dua hari lagi. Bagaimana kalau aku terlihat gendut ketika maju ke depan podium?”
“Hah?” aku makin merasa bodoh bicara dengan adikku yang satu ini. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirnya.
“Aku ingin coklaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat!!!!!!!!!!!!!!!!!”
“Jadi....kau menangis sedaritadi karena ingin coklat?”
“Iya, Nii-chan~~” katanya sembari menggigit ujung bantalnya.”Aku ingin sekaliiii. Aku merasa gila karena memikirnya sedaritadi. AAAAAAAAAAAAARRGGGGHHH.”
“Kau bisa pergi ke supermarket terdekat bukan? Lantas apa yang harus kau tangisi?”
 “Aku takut genduuuuuuuuuuuuuuuuuuttt!!!!! Bagaimana ini? Bantu aku.”
“Astaga, Su-chan.” Lagi-lagi aku memijit-mijit kepalaku yang makin pusing dibuatnya.”Kalau takut gendut jangan makan coklat.”
“Tapi aku ingin coklat. Ingin sekaliiiiiiiiiiiii!!!! Aku harus bagaimana, Nii-chan???!!!” ia mengguncang-guncang tubuhku. Tatapanku datar padanya. Pantas saja teman-temanku selalu mengeluhkan perihal ketidakmengertian mereka dengan jalan pikir kekasih mereka. Jadi, seabsurd ini jalan pikir para perempuan?
“Aku bingung dengan keinginanmu, Su-chan. Jadi, kau ingin coklat atau ingin gendut?”
“Aku ingin coklat, Nii-chaaaaaann!!!! Tapi aku takut gendut!!! Nanti aku jadi jeleeeeeeeeekk~~~~” ia mengguncang-guncang tubuhku lagi.
“Ya sudah. Aku belikan coklat untukmu. Berhenti menangisnya!” aku beranjak dari tempat tidurnya.
“Tunggu, Nii-chan!”
“Apalagi?” aku berbalik.
“Tapi bagaimana kalau aku gendut? Aku sudah cukup gendut. Timbanganku sudah di atas angka empat puluh lima kilo, Tarooooo.” Ia tiba-tiba bergelayut di kakiku lagi.
“Ah persetan dengan berat badan atau menjadi gendut, hanya makan beberapa batang saja tidak akan membuatmu jadi bulat seperti babi.”
“Nii-chan~ ” ia merosot seperti es yang meleleh.
“Suzuka, dengarkan aku.” Aku memaksanya menatapku langsung,”Jangan terlalu terperangkap dengan mindset kebanyakan orang tentang kecantikan yang dipandang hanya dari tubuhmu saja. Cantik bukan di tubuhmu saja. Kau harus pintar gunakan ini juga.” Aku mengetuk-ngetuk tempurung kepalanya.”Lagipula kau itu masih dalam masa pertumbuhan. Jadi wajar kalau tubuhmu melebar, tapi itu bukan berarti kau akan selamanya begitu. Ini hanya fase, Su-chan~ Selagi bisa, bersenang-senang saja dengan apa yang kau suka.” Aku mengacak-acak rambutnya.”Mengerti?”
Matanya berkaca-kaca.
Nii-chan, kata-katamu sungguh menentramkan hatiku. Terimakasih.” Ia memelukku. Astaga, perempuan~
“Jadi, masih ingin coklat?” tanyaku. Ia mengangguk cepat.
“Coklaaaaaaaaaaaaaaat~ Aku suka coklaaaaaaat.”
Malam itu berakhir dengan perebutan sebatang coklat terakhir antara ketiga adikku—Moa,Yui dan Suzuka. Meski sudah lima belas tahun, tapi untuk urusan yang satu ini Suzuka tidak bisa mengalah. Haduh. Tapi tak apa, aku senang dengan keadaan meja makan yang meriah seperti ini. Semoga kalian tumbuh jadi perempuan yang tidak terperangkap dalam pendapat orang lain tentang tubuh kalian. Itu tubuh kalian, semesta kalian. Lakukan apa yang kalian suka.
Selagi bisa, bersenang-senanglah dengan apa yang kalian suka.


Inspired Song by
Babymetal – Gimme Chocolate
Requested by
Akhsani Taqwim


NB : kesamaan nama tokoh hanyalah kebetulan semata.


[1] Panggilan untuk kakak laki-laki kandung
[2] Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidaaaaaaak!
[3] Panggilan untuk kakak perempuan kandung

No comments:

Post a Comment